logo blog

Penjelasan MUI tentang Fatwa nomor 56 tahun 2016

Penjelasan MUI tentang Fatwa nomor 56 tahun 2016

Penjelasan MUI tentang Fatwa nomor 56 tahun 2016
Pengurus MUI saat Konferensi Pers tentang fatwa Nomor 56 tahun 2016 tanggal 14 Desember 2016 tentang hukum menggunakan atribut keagamaan nonmuslim, Selasa (20/12/2016). Foto: Suaraislam,com

JAKARTA (Lenterakabah) – Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat, menyampaikan Pernyataan Pandangan dan Sikap soal Fatwa Nomor 56 Tahun 2016 tentang Hukum Menggunakan Atribut Keagamaan Non-Muslim yang baru saja dikeluarkan MUI.

Hal ini dipandang perlu oleh MUI, lantaran munculnya berbagai tanggapan dan respons dari berbagai pihak terhadap Fatwa MUI Nomor: 56 tahun 2016 tersebut yang menimbulkan pemahaman keliru.

Mengutip Panjimas.com, Pernyataan Pandangan dan Sikap tersebut dibacakan sendiri oleh Ketua Umum MUI Pusat, Dr KH Ma’ruf Amin di Gedung Majelis Ulama Indonesia Jl. Proklamasi No. 51 Menteng Jakarta Pusat, pada hari Selasa (20/12/2016).

Berikut ini pernyataan selengkapnya.

Pernyataan Pandangan dan Sikap MUI
Nomor: Kep-1228/MUI/XII/2016

Sehubungan dengan munculnya berbagai tanggapan dan respons dari berbagai pihak terhadap Fatwa MUI Nomor: 56 tahun 2016 tentang Hukum Menggunakan Atribut Keagamaan Non-Muslim yang menimbulkan pemahaman yang keliru tentang fatwa tersebut, maka Dewan Pimpinan Majelis Ulama Indonesia menyampaikan hal-hal sebagai berikut:

  1. Substansi fatwa MUI Nomor 56 tahun 2016 tersebut menyatakan:
    a. Menggunakan atribut keagamaan non-muslim adalah haram.
    b. Mengajak dan/atau memerintahkan penggunaan atribut keagamaan non-muslim adalah haram.
  2. Secara jelas fatwa tersebut ditujukan kepada umat Islam dan menjaga akidah dan keyakinannya, serta melarang pihak mana pun untuk mengajak dan/atau memerintahkan kepada umat Islam untuk menggunakan atribut keagamaan non-muslim, karena hal itu bertentangan dengan akidah dan keyakinannya.
  3. Fatwa tersebut dibuat dalam kerangka penghormatan kepada prinsip kebhinnekaan dan kerukunan beragama di Indonesia. Makna dari kebhinnekaan adalah kesadaran terhadap perbedaan, termasuk perbedaan dalam menjalankan keyakinan agamanya. Dengan demikian, faktor penting dalam prinsip kebhinnekaan adalah adanya saling menghormati dan tidak memaksakan keyakinannya tersebut kepada orang lain. Setiap bentuk pemaksaan keyakinan kepada orang lain adalah bertentangan dengan HAM dan konstitusi.
  4. Fatwa MUI mempunyai daya ikat keagamaan (ilzam syar’i) dan merupakan panduan bagi umat Islam dalam menjaga akidah dan keyakinannya, serta menjadi kaedah penuntun dan sumber inspirasi dalam pembentukan peraturan perundangan di Indonesia. Oleh karena itu, Dewan Pimpinan MUI mengapresiasi kepada berbagai pihak, khususnya jajaran kepolisian dan kepala daerah yang menjadikan fatwa tersebut sebagai sumber rujukan dalam menjaga ketertiban dan kerukunan umat beragama di Indonesia.

Wallahu al-Musta’an, wa Ilaihi at-Tuklan.

Jakarta, 20 Desember 2016

DEWAN PIMPINAN MAJELIS ULAMA INDONESIA

 

Ketua Umum Sekretaris Jenderal

 

Dr KH Ma’ruf Amin Dr H Anwar Abbas, MM, MA

(azm/*)

Topik: fatwa nomor 56 tahun 2016, mui


Lentera Kabah

Share this:

Enter your email address to get update from ISLAM TERKINI.

Tidak ada komentar

About / Contact / Privacy Policy / Disclaimer
Copyright © 2015. Fajar Islam - All Rights Reserved
Template Proudly Blogger