Antropolog asal Universitas Indonesia (UI), Achmad Fedyani Saifuddin, menjelaskan, dari konteks kajian antropologi, Muslim Tionghoa memang dapat lebih diterima oleh masyarakat. Hal itu lantaran adanya hubungan yang mengikat, yaitu faktor keislaman tersebut.
Struktur kebudayaan, ujar Fedyani, itu bersifat majemuk sehingga selalu dimungkinkan adanya perbedaan antara satu kelompok dengan kelompok lainnya. Namun, apabila ada hubungan lain yang mengikat, maka konflik itu justru dapat menjadi integrasi dalam konteks yang berbeda antara kelompok tersebut.
''Jadi, meskipun misalnya antara Cina dan yang bukan Cina itu berbeda, dan perbedaan itu terasa sangat tajam, tapi tetap saja mereka bisa bersatu karena ada pengikat yang lain, dalam hal ini bisa dilihat yaitu keislaman itu,'' ujar Guru Besar FISIP UI tersebut.
Lebih lanjut, pengajar di Jurusan Antropologi FISIP UI itu juga mengatakan, penerimaan masyarakat terhadap Cina Muslim memang lebih baik daripada dengan non-Muslim. Ini lantaran adanya perbedaan mendasar, yaitu faktor keagamaan. Masyarakat dinilai lebih bisa menerima orang Cina yang beragama Islam.
''Di Indonesia, sejauh orang Cina itu Muslim, masih relatif diterima. Sebenarnya, kan dari dulu sudah ada komunitas Cina Muslim di Indonesia. Penyebaran agama Islam oleh Cina juga sudah dikenal melalui teks-teks dan rujukan lainnya,'' kata Fedyani.
''Di Indonesia, sejauh orang Cina itu Muslim, masih relatif diterima. Sebenarnya, kan dari dulu sudah ada komunitas Cina Muslim di Indonesia. Penyebaran agama Islam oleh Cina juga sudah dikenal melalui teks-teks dan rujukan lainnya,'' kata Fedyani.
**| republished by Lentera Kabah
Lentera Kabah
Tidak ada komentar