Assalam mu’alaikum ustad
Saya menikah dgn seorang mualaf, tapi ternyata setelah menikah saya baru tahu kalau suami saya itu belum sempurna mualafnya (belum
dikhitan), saya sudah menasehatin dan sabar memberinya waktu u/melengkapi syarat mualafnya, sudah hampir 7 th menikah dan dia belum
juga menyempurnakan mualafnya, pertanyaan saya,
Bagaimana hukum pernikahan saya? Dan bagaimana status anak hasil pernikahan itu?
Apakah saya boleh menggugat cerai k/sekian lama memberi waktu suami belum juga menyempurnakan syarat mualafnya?
Terima kasih
Dari: Putriobat kuat hajar jahanam
Jawaban:
Wa ‘alaikumus salam
Bismillah was shalatu was salamu ‘ala rasulillah, amma ba’du,
Pertama, ulama berbeda pendapat tentang hukum khitan bagi laki-laki.
Hanafiyah, Malikiyah dan sebagian Syafiiyah mengatakan, khitan statusnya sunah muakkadah (sunah yang ditekankan).
Sementara umumnya Syafiiyah dan Hambali menyatakan bahwa khitan bagi lelaki hukumnya wajib.
Bagi hanafiyah, mereka menyebut khitan sebagai sunah, namun mereka memaksa lelaki untuk berkhitan. Artinya, bagi lelaki khitan tidak boleh ditinggalkan, kecuali jika ada udzur yang menyebabkan dirinya boleh tidak dikhitan.
Dalam Syarh Fathul Qadir – kitab fikih Madzhab Hanafi – dinyatakan,
الختانان: موضع القطع من الذكر والفرج، وهو سنة للرجل… غير أنه لو تركه يجبر عليه إلا من خشية الهلاك
Khitan adalah bagian yang dipotong pada kemaluan lelaki dan wanita. Statsusnya sunah bagi lelaki… hanya saja, jika ada lelaki yang tidak mau khitan, dia dipaksa untuk khitan. Kecuali jika dikhawatirkan mati jika dikhitan (maka tidak dipaksa). (Syarh Fathul Qadir, 1/63).
Demikian pula yang dinyatakan Ibnu Abidin (wafat 1252 H) dalam Hasyiyahnya,
والأصل أن الختان سنة، كما جاء في الخبر، وهو من شعائر الإسلام وخصائصه، فلو اجتمع أهل بلدة على تركه حاربهم الإمام، فلا يترك إلا لعذر
”Hukum asal, khitan statusnya sunah, sebagaimana yang dinyatakan dalam hadis. Khitan termasuk syariat islam dan keistimewaan ajaran islam. Jika ada satu penduduk negeri sepakat meninggalkan khitan, maka imam memerangi mereka. Karena itu, tidak boleh ditinggalkan kecuali karena udzur.” (Hasyiyah Ibnu Abidin ad-Dur al-Mukhtar, 7/342).
Demikian pula Malikiyah. Mereka menyebut sunah, namun tidak boleh ditinggalkan. An-Nafrawi (w. 1126 H) – ulama Malikiyah – mengatakan,
والختان سنة في الذكور واجبة؛ أي: مؤكدة، من تركها لغير عذر لم تجز إمامته، ولا شهادته
Khitan adalah sunah, untuk laki-laki wajib, artinya ditekankan. Siapa yang meninggalkannya tanpa udzur, maka tidak sah jadi imam dan persaksiannya tidak diterima. (al-Fawakih ad-Dawani, 4/382).
Dengan demikian, makna kata ’sunah’ bukan berarti kebalikan dari wajib, namun sunah yang mereka maksudkan adalah at-thariqah (ajaran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam).
Imam Ibnu Daqiqil Id (w. 702 H) mengatakan,
كون السنة في مقابلة الواجب وضع اصطلاحي لأهل الفقه، والوضع اللغوي غيره، وهو الطريقة
”Kata ’sunah’ bermakna ’kebalikan dari wajib’ adalah istilah menurut ulama fikih. Sementara secara bahasa, maknanya lain, yaitu at-thariqah (ajaran).” (Ihkam al-Ahkam, 1/126).
Kaitannya dengan ini, suami anda setelah masuk islam, berkewajiban untuk melakukan khitan selagi memungkinkan dan tidak membahayakan bagi keselamatan dirinya. Jika tetap kekeh tidak mau khitan, dia berdosa karena meninggalkan kewajiban yang menjadi syiar islam.
Kedua, bahwa khitan bukanlah syarat sah menikah. Artinya, wanita yang menikah dengan lelaki yang tidak dikhitan, tidak mempengaruhi keabsahan pernikahannya.
Sebuah pertanyaan dilayangkan lembaga Fatwa Syabakah al-Fatawa as-Syar’iyah, ‘Seorang masuk islam, tapi dia belum dikhitan. Bolehkah menikah dengan seorang muslimah?’
Jawaban yang diberikan oleh Dr. Ahmad Hajji al-Kurdi – pengawas ahli al-Mausu’ah al-Fiqhiyah –,
فلا يشترط الختان لصحة الزواج، والختان للرجل المسلم سنة عند بعض الفقهاء، وواجب عند البعض الآخر
Tidak ada persyaratan khitan untuk keabsahan pernikahan. Khitan bagi lelaki muslim statusnya sunah bagi sebagian ulama dan wajib bagi ulama lainnya. (Syabakah al-Fatawa as-Syar’iyah, no. 57503).
Karena pernikahan sah, maka anak hasil pernikahan ini dinasabkan kepada ayahnya.
Ketiga, apakah boleh melakukan khulu’ (gugat cerai)?
Ini kembali kepada alasan suami tidak mau melakukan khitan. Jika alasan dia tidak berkhitan karena takut dengan resiko sakit, membayangkan betapa ngerinya memotong bagian kemaluan, disarankan agar tidak melakukan khulu’. Dan berusaha memotivasi suami untuk khitan, membesarkan hatinya agar tidak terlalu takut dengan khitan.
Berbeda jika suami menolak khitan karena membenci khitan dan memusuhi sunah ini. Untuk keadaan kedua ini, istri dibolehkan khulu’ (gugat cerai), karena suami melakukan tindakan kefasikan.
Dalam Fatawa Syabakah Islamiyah ketika membahas hukum menikah dengan lelaki yang belum khitan, dinyatakan,
فإذا كان الشخص مقتنعاً بسنتيه فلا شيء عليه، ولا ينبغي للمرأة أن ترفضه لهذا السبب. وأما إذا كان مقتنعاً بحرمته وتعمد تركه فهو آثم، وللمرأة أن تمتنع من الزواج به.
Jika seseorang merasa yakin dengan sunah khitan, maka tidak ada dosa baginya dan tidak selayaknya seorang wanita menolaknya karena sebab ini. Namun jika dia justru meyakini khitan terlarang, dan sengaja meninggalkannya maka dia berdosa. Dan wanita muslimah berhak untuk menolak menikah dengannya. (Fatawa Syabakah Islamiyah, di bawah bimbingan Dr. Abdullah al-Faqih, no. 30571).
Imam Ibnu Baz mengatakan tentang muallaf yang belum dikhitan,
وأما الختان فالأفضل أن يختتن ولو كبيرا، لكن بواسطة الطبيب الحاذق العارف ينبغي له أن يختتن ، وجمع من أهل العلم يقول يجب عليه أن يختتن ، بعض أهل العلم يرى أنه يجب عليه أن يختتن إذا كان ما فيه خطر ، أما إن قال الطبيب إنه فيه خطر فلا لزوم، يسقط ، لكن إذا قال الطبيب أن ختانه أنه لا بأس به ، وأنه لا حرج فيه ، ولا خطر فيه فإنه يختتن
Apakah dia harus khitan? Yang afdhal, dia melakukan khitan, meskipun sudah tua. Namun ini harus dilakukan dokter ahli yang paham, selayaknya dia melakukan khitan. Sebagian ulama mengatakan, Dia wajib berkhitan. Sementara sebagian ulama lain berpendapat bahwa dia wajib khitan, jika tidak ada hal yang membahayakan. Namun jika dokter menegaskan bahwa khitan bisa membahayakan dirinya, maka tidak wajib khitan. Sebaliknya, ketika dokter menegaskan bahwa khitan untuk muallaf ini tidak masalah, tidak membahayakan, maka hendaknya dia melakukan khitan.
Sumber: http://www.binbaz.org.sa/mat/10564
Allahu a’lam
Dijawab oleh Ustadz Ammi Nur Baits
**| republished by Lentera Kabah
Lentera Kabah
Tidak ada komentar