logo blog

Hak Allah Subhanahu Wa Ta’ala Yang Wajib Dipenuhi Oleh Setiap Hambanya

Hak Allah Subhanahu Wa Ta’ala Yang Wajib Dipenuhi Oleh Setiap Hambanya


https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiXUzvjiEo0cE3wG-bLGQ9DmCxUekH2oVbBwgK5vo9zStRXZbnZj4VHXJIcM8DNOQFosbyDKAG9aPYFYJeak176UVohDOQyMygO62EdLUgv_SY9HHmpT8ZUHvDGd84aR9dhTJ8oiIRDLnc/s320/shalat-boy.jpg

Oleh

Al-Ustadz Yazid bin ‘Abdul Qadir Jawas حفظه الله

Dari Mu’âdz bin Jabal[1] Radhiyallahu anhu , ia berkata, “Aku pernah dibonceng oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam di atas seekor keledai. Lalu Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepadaku:

يَامُعَاذُ ، أَتَدْرِيْ مَا حَقُّ اللهِ عَلَى الْعِبَادِ ، وَمَا حَقُّ الْعِبَادِ عَلَى اللهِ ؟ قُلْتُ : اللهُ وَرَسُوْلُهُ أَعْلَمُ ؛ قَالَ : حَقُّ اللهِ عَلَى الْعِبَادِ أَنْ يَعْبُدُوْهُ وَلَا يُشْرِكُوْا بِهِ شَيْئًا ، وَحَقُّ الْعِبَادِ عَلَى اللهِ أَنْ لَا يُعَذِّبَ مَنْ لَا يُشْرِكُ بِهِ شَيْئًا. قُلْتُ : يَا رَسُوْلَ اللهِ ، أَفَلَا أُبَشِّرُ النَّاسَ ؟ قَالَ : لَا تُبَشِّرْهُمْ فَيَتَّكِلُوْا

Wahai Mu’âdz! Tahukah engkau apa hak Allâh yang wajib dipenuhi oleh para hamba-Nya dan apa hak para hamba yang pasti dipenuhi oleh Allâh?’ Aku menjawab, ‘Allâh dan Rasul-Nya yang lebih mengetahui.’ Beliau bersabda, ‘Hak Allâh yang wajib dipenuhi oleh para hamba-Nya ialah mereka hanya beribadah kepada-Nya dan tidak mempersekutukan-Nya dengan sesuatu pun. Sedangkan hak para hamba yang pasti dipenuhi Allâh ialah sesungguhnya Allâh tidak akan menyiksa orang yang tidak mempersekutukan-Nya dengan sesuatu pun.’ Aku bertanya, ‘Wahai Rasûlullâh! Tidakperlukah aku menyampaikan kabar gembira ini kepada orang-orang?’ Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, ‘Janganlah kausampaikan kabar gembira ini kepada mereka sehingga mereka akan bersikap menyandarkan diri (kepada hal ini dan tidak beramal shalih)’.”

TAKHRIJ HADITS

Hadits ini shahih.Diriwayatkan oleh:

    Al-Bukhâri, no. 2856, 5967, 6267, 6500, 7373
    Muslim, no. 30,
    Ahmad, V/228, 230, 236, 242,
    Abu Dâwud, no. 2559,
    At-Tirmidzi, no. 2643,
    An-Nasa`i dalam as-Sunanul Kubra, no. 9943,
    Ibnu Mâjah, no. 4296,
    Abu ‘Awanah, I/16,
    Abu Dâwud ath-Thayâlisi, no. 566,
    Ath-Thabrani dalam al-Mu’jamul Kabîr, XX/no. 256,
    Dan lainnya.

Lafazh yang dibawakan adalah salah satu riwayat Muslim, sementara dalam salah satu riwayat al-Bukhâri ada tambahan, “Lalu di akhir hayatnya, Mu’âdz mengabarkan hadits ini (kepada manusia) karena takut dosa (menyembunyikan ilmu).”

KOSA KATA HADITS

    دَرَى- يَدْري- دِرَايَةً: mengetahui, dan ad-dirâyah adalah al-ma’rifah (pengetahuan).
    حَقُّ اللهِ: Apa yang menjadi hak Allâh atas hamba-Nya, yang Allâh jadikan sebagai kewajiban atas mereka, serta menekankannya dengan firman-Nya.[2]
    العِبَادَةُ :Merendahkan diri dan tunduk.

SYARH HADITS

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ingin menjelaskan kewajiban bertauhid atas para hamba dan keutamaannya. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyajikannnya dalam bentuk pertanyaan, agar lebih berpengaruh pada jiwa dan lebih mudah dipahami oleh orang yang belajar. Ketika Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menjelaskan kepada Mu’âdz Radhiyallahu anhu tentang keutamaan tauhid, Mu’âdz meminta izin kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk memberitahukan hal tersebut kepada umat manusia guna menyenangkan mereka. Tetapi Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarangnya karena Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam khawatir manusia akan bersandar kepada hal tersebut dan kurang melakukan amal shalih.[3]

Perkataan Mu’âdz Radhiyallahu anhu , “Aku pernah dibonceng oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam di atas seekor keledai,” menunjukkan bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tawâdhu’. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam makhluk yang paling mulia secara mutlak, namun Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam mau membonceng sahabatnya.

Perkataan Mu’adz Radhiyallahu anhu , “Lalu Beliau bersabda kepadaku, ‘Wahai Mu’âdz!’” Di sini Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ingin mengajari Mu’âdz Radhiyallahu anhu sebuah hukum yang agung, dan Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam ingin menyampaikannya dengan metode tanya-jawab, agar hal tersebut lebih dapat mengundang perhatian. Pembelajaran dengan metode soal-jawab termasuk metode paling bagus dan berhasil dalam mengajarkan ilmu. Kita bertanya kepada murid tentang sesuatu yang tidak ia ketahui, lalu kita berikan jawabannya, lebih bagus daripada kita langsung memulai dengan menyampaikan sebuah masalah, padahal murid sedang tidak perhatian atau belum siap menerimanya. Ini adalah salah satu metode pengajaran Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang sering Beliau gunakan.

Ketika Mu’âdz Radhiyallahu anhu ditanya tentang sebuah masalah besar oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam , dia Radhiyallahu anhu berkata, “Allâh dan Rasul-Nya lebih mengetahui.” Ini merupakan adab penuntut ilmu. Jika ia ditanya tentang sesuatu dan ia tidak mengetahuinya, maka hendaklah dia mengatakan “Allâh dan Rasul-Nya yang lebih mengetahui.” Janganlah dia mereka-reka sesuatu yang tidak ia ketahui, tetapi kembalikanlah urusan itu kepada ahlinya.

Ini juga merupakan metode pembelajaran yang berhasil, yaitu seseorang jika ditanya tentang suatu ilmu atau masalah yang tidak ia ketahui, maka dia akan menjawab, “Saya tidak tahu.” Atau “ Allahu a’lam (Allâh yang lebih mengetahui).” Dan itu tidak mengurangi harga dirinya atau merendahkan martabatnya, tidak seperti perkiraan sebagian orang. Bahkan hal itu bisa mengangkat derajatnya karena itu bis menjadi bukti keagungan kedudukan, ketaqwaan, kekuatan agama, kesucian hati, dan kesempurnaan pengetahuannya.

Imam asy-Sya’bi rahimahullah (wafat th. 105 H) mengatakan, “(Perkataan seseorang) ‘aku tidak tahu’ adalah setengah dari ilmu.”[4]

‘Abdurrahman bin Mahdi rahimahullah (wafat th. 198 H) berkata, “Ada seorang dari Maghrib (Maroko) bertanya kepada Imam Mâlik bin Anas t (wafat th. 179 H) tentang suatu masalah, Imam Mâlik t pun berkata, ‘Lâ adri (saya tidak tahu).’ Orang itu pun berkata, ‘Wahai Abu ‘Abdillah (kun-yah Imam Mâlik), engkau berkata tidak tahu??’ Imam Mâlik rahimahullah menjawab, ‘Ya, sampaikan kepada orang-orang di belakangmu (di negerimu) bahwa aku tidak tahu.’”[5]

Kita wajib mengembalikan ilmu kepada ahlinya (para ulama), dan tidak boleh ikut campur dalam sesuatu yang tidak kita ketahui hukumnya. Allâh Azza wa Jalla berfirman:

وَلَا تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ ۚ إِنَّ السَّمْعَ وَالْبَصَرَ وَالْفُؤَادَ كُلُّ أُولَٰئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْئُولًا

Dan janganlah kamu mengikuti sesuatu yang tidak kamu ketahui. Karena pendengaran, penglihatan dan hati nurani, semua itu akan diminta pertanggungjawabannya. [Al-Isrâ`/17:36]

فَمَنْ أَظْلَمُ مِمَّنِ افْتَرَىٰ عَلَى اللَّهِ كَذِبًا لِيُضِلَّ النَّاسَ بِغَيْرِ عِلْمٍ ۗ إِنَّ اللَّهَ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الظَّالِمِينَ

Siapakah yang lebih zhalim daripada orang-orang yang mengada-adakan kebohongan terhadap Allâh untuk menyesatkan orang-orang tanpa pengetahuan? Sesungguhnya Allâh tidak akan memberi petunjuk kepada orang-orang yang zhalim. [Al-An’âm/6:144]

Dan banyak lagi ayat-ayat serta hadits-hadits yang menjelaskan ini. Oleh karena itu, orang yang ingin dirinya selamat, serta orang lain juga selamat, janganlah ikut campur pada sesuatu yang tidak ia ketahui, karena itu akan menyulitkan dirinya dan orang lain. Jika ia nekad menjawab dan salah, berarti ia telah menyesatkan umat manusia. Ini adalah masalah besar yang wajib kita pikirkan. Seseorang tidak boleh terburu-buru dalam menjawab suatu hal, kecuali jika dia telah mengetahuinya dengan sempurna. Jika tidak, maka berhentilah di tepi pantai keselamatan, jangan masuk ke dalam lautan jika tak pandai berenang.

Perkataan ‘Allâh dan Rasul-Nya lebih mengetahui’ dikatakan pada saat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam masih hidup. Ketika Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam sudah wafat, maka kita katakan, ‘Allâhu a’lam’. Karena Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah berpindah dari alam dunia ke alam akhirat, maka ilmu dikembalikan kepada Allâh Azza wa Jalla , karena Allâh Azza wa Jalla yang memberikan Rasul-Nya ilmu yang agung,

وَعَلَّمَكَ مَا لَمْ تَكُنْ تَعْلَمُ ۚ وَكَانَ فَضْلُ اللَّهِ عَلَيْكَ عَظِيمًا

… dan telah mengajarkan kepadamu apa yang belum engkau ketahui. Karunia Allâh yang dilimpahkan kepadamu itu sangat besar … [An-Nisâ`/4:113]

Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam memiliki ilmu dari Allâh Azza wa Jalla dan Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab semasa hidupnya, adapun setelah wafatnya, maka Beliau telah menyelesaikan tugas dan risalahnya, dan tidak lagi menjawab suatu masalah.

Sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

حَقُّ اللهِ عَلَى الْعِبَادِ أَنْ يَعْبُدُوْهُ وَلَا يُشْرِكُوْا بِهِ شَيْئًا

Hak Allâh yang wajib dipenuhi oleh para hamba-Nya ialah mereka beribadah kepada-Nya saja dan tidak mempersekutukan-Nya dengan sesuatu pun.

Ini adalah hak Allâh atas hamba-Nya, hak yang paling pertama dan yang paling pasti. Karena manusia menanggung hak-hak yang wajib ia penuhi. Hak yang paling besar adalah hak Allâh, hak kedua orang tua, sanak kerabat, kemudian hak anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga, dan para pemimpin (hak ulil amri). Allâh Azza wa Jalla berfirman:

وَاعْبُدُوا اللَّهَ وَلَا تُشْرِكُوا بِهِ شَيْئًا ۖ وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا وَبِذِي الْقُرْبَىٰ وَالْيَتَامَىٰ وَالْمَسَاكِينِ وَالْجَارِ ذِي الْقُرْبَىٰ وَالْجَارِ الْجُنُبِ وَالصَّاحِبِ بِالْجَنْبِ وَابْنِ السَّبِيلِ وَمَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ

Dan beribadahlah kepada Allâh dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatu apa pun. Dan berbuat baiklah kepada kedua orangtua, karib-kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga dekat dan tetangga jauh, teman sejawat, ibnu sabil dan hamba sahaya yang kamu miliki. [An-Nisâ`/4:36]

Dalam ayat ini, Allâh Azza wa Jalla menyebutkan sepuluh hak, yang paling pertama adalah hak Allâh, yaitu beribadah hanya kepada Allâh saja dan tidak menyekutukan-Nya dengan suatu apapun juga.

Ibadah secara bahasa (etimologi) berarti merendahkan diri serta tunduk. Sedangkan menurut istilah syar’i (terminologi), ibadah mempunyai banyak definisi, tetapi makna dan maksudnya satu. Definisi itu antara lain adalah:

    Ibadah adalah taat kepada Allâh Azza wa Jalla dengan melaksanakan perintah-Nya yang disampaikan melalui lisan para Rasul-Nya.
    Ibadah adalah merendahkan diri kepada Allâh Azza wa Jalla , yaitu tingkatan tunduk yang paling tinggi disertai dengan rasa mahabbah (kecintaan) yang paling tinggi.[6]
    Ibadah adalah sebutan yang mencakup seluruh apa yang dicintai dan diridhai Allâh Azza wa Jalla , baik berupa ucapan atau perbuatan, yang zhahir maupun yang bathin.

Yang ketiga ini adalah definisi yang paling lengkap.[7]

Ibnul Qayyim rahimahullah berkata dalam Nûniyyah-nya tentang makna ibadah,

وَعِبَادَةُ الرَّحْمٰنِ غَايَةُ حُبِّــهِ مَعَ ذُلِّ عَابِـدِهِ هُمَـا قُـطْبَـانِ

وَعَلَيْهِمَا فَلَكُ الْعِبَادَةِ دَائِرٌ          مَا دَارَ حَتَّى قَامَتِ الْقُـطْبَـانِ

وَمَدَارُهُ بِالْأَمْرِ أَمْرِ رَسُوْلِـهِ           لَا بِالْهَوَى وَالنَّفْسِ وَالشَّيْطَانِ

Ibadah kepada Allâh adalah puncak cinta (yang sangat) kepada-Nya

Disertai ketundukan hati orang yang beribadah kepada-Nya, keduanya adalah poros (ibadah)

Di atas kedua poros tersebutlah garis ibadah berputar

Dia tidak akan berputar sampai dua poros tersebut tegak

Porosnya adalah (melaksanakan) agama – yaitu agama (yang dibawa oleh) Rasul-Nya

Bukan mengikuti hawa nafsu, dorongan hati, dan bukan pula mengikuti syaithan[8]

Tidak cukup hanya beribadah kepada-Nya saja, tetapi juga tidak boleh menyekutukannya dengan suatu apa pun. Karena ibadah tidak akan menjadi ibadah kecuali dengan berlepas diri dan bersih dari syirik. Adapun jika sudah tercampur syirik, maka tidak lagi dinamakan ibadah kepada Allâh Azza wa Jalla . Allâh Azza wa Jalla berfirman:

فَمَنْ كَانَ يَرْجُو لِقَاءَ رَبِّهِ فَلْيَعْمَلْ عَمَلًا صَالِحًا وَلَا يُشْرِكْ بِعِبَادَةِ رَبِّهِ أَحَدًا

Maka barangsiapa mengharap pertemuan dengan Rabb-nya maka hendaklah dia mengerjakan kebajikan dan janganlah dia mempersekutukan dengan sesuatu pun dalam beribadah kepada Rabb-nya. [Al-Kahfi/18:110]

Syirik membatalkan ibadah dan membatalkan seluruh amalan. Amalan yang di dalamnya ada syirik tidak akan sah. Jika seseorang membebani dirinya dengan berbagai ibadah, tetapi dia berbuat syirik besar, maka ibadahnya batal, terhapus, dan tidak ada nilainya. Allâh Azza wa Jalla berfirman:

وَلَقَدْ أُوحِيَ إِلَيْكَ وَإِلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكَ لَئِنْ أَشْرَكْتَ لَيَحْبَطَنَّ عَمَلُكَ وَلَتَكُونَنَّ مِنَ الْخَاسِرِينَ ﴿٦٥﴾ بَلِ اللَّهَ فَاعْبُدْ وَكُنْ مِنَ الشَّاكِرِينَ

Dan sungguh, telah diwahyukan kepadamu dan kepada (nabi-nabi) yang sebelummu, ‘Sungguh, jika engkau mempersekutukan (Allâh), niscaya akan hapuslah amalmu dan tentulah engkau termasuk orang yang rugi. Karena itu, hendaklah Allâh saja yang engkau sembah dan hendaklah engkau termasuk orang yang bersyukur. [Az-Zumar/39:65-66]

Syirik menghapus semua amalan. Oleh karena itu, banyak perintah beribadah kepada Allâh diiringi dengan larangan dari perbuatan syirik.

وَاعْبُدُوا اللَّهَ وَلَا تُشْرِكُوا بِهِ شَيْئًا

Dan beribadahlah kepada Allâh dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatu apa pun…” [An-Nisâ`/4:36]

Inilah makna Lâ Ilâha Illallâh, karena Lâ Ilâha Illallâh memiliki dua rukun, nafi dan itsbat. Nafi yaitu menafikan kesyirikan dan itsbât yaitu menetapkan tauhid.[9]

Sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam:

أَنْ يَعْبُدُوْهُ وَلَا يُشْرِكُوْا بِهِ شَيْئًا

Hendaklah mereka beribadah kepada Allâh saja.

 https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEi6Zvmq8WtUwt3VmMpy1pohH7vmwVSI0kMuh7WaodcEbY03EubN8iwhamlJp3zjEGncLvzTC30QpFvrqw49fVIn4S1GQHhuI9zwQBcYby_8dueKM_rYqTPIaFPzVjvoyNPdJwpGvCSf_GI/s1600/Screenshot_284.png

Ibadah adalah perkara tauqifiyah yaitu tidak ada suatu bentuk ibadah yang disyari’atkan kecuali berdasarkan al-Qur’ân dan as-Sunnah. Ibadah yang tidak disyari’atkan berarti bid’ah mardudah (bid’ah yang ditolak) sebagaimana sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

مَنْ عَمِلَ عَمَلًا لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ

Barangsiapa yang beramal tanpa adanya tuntunan dari kami, maka amalan tersebut tertolak.[10]

Agar dapat diterima, ibadah disyaratkan harus benar. Dan ibadah itu tidak bisa dikatakan benar kecuali dengan adanya dua syarat:

Pertama: Ikhlas karena Allâh semata, bebas dari syirik besar dan kecil.

Kedua: Ittiba’, sesuai dengan tuntunan Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam .

Syarat pertama merupakan konsekuensi dari syahadat lâ ilâha illallâh, karena ia mengharuskan ikhlas beribadah hanya kepada Allâh dan jauh dari syirik. Sedangkan syarat kedua adalah konsekuensi dari syahadat Muhammad Rasûlullâh, karena ia menuntut wajibnya taat kepada Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam , mengikuti syari’atnya dan meninggalkan bid’ah atau ibadah-ibadah yang diada-adakan. Allâh Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

بَلَىٰ مَنْ أَسْلَمَ وَجْهَهُ لِلَّهِ وَهُوَ مُحْسِنٌ فَلَهُ أَجْرُهُ عِنْدَ رَبِّهِ وَلَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُونَ

(Tidak demikian) bahkan barangsiapa yang menyerah-kan diri sepenuhnya kepada Allâh, dan ia berbuat kebajikan, maka baginya pahala di sisi Rabb-nya dan tidak ada rasa takut pada mereka dan mereka tidak bersedih hati. [Al-Baqarah/2:112]

Aslama wajhahu (menyerahkan diri) artinya memurnikan ibadah kepada Allâh. Wahua muhsin (berbuat kebajikan) artinya mengikuti Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Syaikhul Islam rahimahullah mengatakan, “Inti agama ada dua pilar yaitu kita tidak beribadah kecuali hanya kepada Allâh Azza wa Jalla , dan kita tidak beribadah kecuali dengan apa yang Dia syari’atkan, tidak dengan bid’ah. Allâh berfirman:

فَمَنْ كَانَ يَرْجُو لِقَاءَ رَبِّهِ فَلْيَعْمَلْ عَمَلًا صَالِحًا وَلَا يُشْرِكْ بِعِبَادَةِ رَبِّهِ أَحَدًا

Maka barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Rabb-nya maka hendaknya ia mengerjakan amal shalih dan janganlah ia mempersekutukan sesuatu pun dalam beribadah kepada Rabb-nya. [Al-Kahfi/18:110]

Hal yang demikian itu merupakan realisasi (perwujudan) dari dua kalimat syahadat Lâ ilâha illallâh, Muhammad Rasûlullâh.

Pada yang pertama, kita tidak beribadah kecuali kepada-Nya. Pada yang kedua, bahwa Muhammad n adalah utusan-Nya yang menyampaikan ajaran-Nya, maka kita wajib membenarkan dan mempercayai beritanya serta mentaati perintahnya. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menjelaskan bagaimana cara kita beribadah kepada Allâh Azza wa Jalla , dan Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang kita dari hal-hal baru atau bid’ah. Beliau (Rasûlullâh) Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan bahwa semua bid’ah adalah sesat.”[11]

Bila ada orang yang bertanya, “Apa hikmah di balik kedua syarat bagi sahnya ibadah tersebut?”

Jawabnya adalah sebagai berikut:

Pertama: Sesungguhnya Allâh Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan untuk mengikhlaskan ibadah kepada-Nya semata. Maka, beribadah kepada selain Allâh Subhanahu wa Ta’ala di samping beribadah kepada-Nya adalah kesyirikan. Allâh Subhanahu wa Ta’ala berfirman,

فَاعْبُدِ اللَّهَ مُخْلِصًا لَهُ الدِّينَ

Maka beribadahlah kepada Allâh dengan tulus ikhlas beragama kepada-Nya. [Az-Zumar/39:2]

Kedua: Sesungguhnya Allâh Azza wa Jalla mempunyai hak dan wewenang Tasyrî’ (memerintah dan melarang). Hak Tasyri’ adalah hak Allâh semata. Barangsiapa beribadah kepada-Nya bukan dengan cara yang di-perintahkan-Nya, maka ia telah melibatkan dirinya dalam Tasyrî’.

Ketiga: Sesungguhnya Allâh Azza wa Jalla telah menyempurnakan agama bagi kita. Maka, orang yang membuat tata cara ibadah sendiri dari dirinya, berarti ia telah menambah ajaran agama dan menuduh bahwa agama ini tidak sempurna (mempunyai kekurangan).

Keempat: Dan sekiranya boleh bagi setiap orang untuk beribadah dengan tata cara dan kehendaknya sendiri, maka setiap orang menjadi memiliki caranya tersendiri dalam ibadah. Jika demikian halnya, maka yang terjadi di dalam kehidupan manusia adalah kekacauan yang tiada taranya karena perpecahan dan pertikaian akan meliputi kehidupan mereka disebabkan perbedaan kehendak dan perasaan, padahal agama Islam mengajarkan kebersamaan dan kesatuan menurut syari’at yang diajarkan Allâh dan Rasul-Nya.[12]

Sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

وَحَقُّ الْعِبَادِ عَلَى اللهِ أَنْ لَا يُعَذِّبَ مَنْ لَا يُشْرِكُ بِهِ شَيْئًا

Hak para hamba yang pasti dipenuhi Allâhialah sesungguhnya Allâh tidak akan menyiksa orang yang tidak mempersekutukan-Nya dengan sesuatu pun.

Ini merupakan karunia dan rahmat Allâh, karena menurut aqidah Ahlus Sunnah wal Jamâ’ah, Allâh Azza wa Jalla  tidak memiliki tanggungan hak yang wajib Dia tunaikan terhadap makhluk-Nya. Tetapi itu semua merupakan karunia dan rahmat-Nya. Allâh Azza wa Jalla berfirman,

وَكَانَ حَقًّا عَلَيْنَا نَصْرُ الْمُؤْمِنِينَ

Dan merupakan hak Kami untuk menolong orang-orang yang beriman. [Ar-Rûm/30:47]

Karena karunia dan rahmat Allâh, maka Allâh tidak menyiksa hamba-Nya. Ini menunjukkan bahwa orang yang bersih dari syirik besar maupun kecil, maka dia akan selamat dari adzab. Adapun ancaman bagi para pelaku maksiat dan orang-orang fasik yang tidak menyekutukan Allâh Azza wa Jalla dengan apa pun, tetapi mereka berbuat dosa selain syirik, seperti zina, minum khamr, ghibah, namimah dan lainnya, maka ini adalah dosa-dosa yang berhak mendapatkan adzab. Tetapi dia di atas kehendak Allâh, jika Allâh berkehendak maka Allâh akan mengampuninya tanpa mendapat adzab dan memasukkannya ke surga. Dan jika Allâh berkehendak, Dia akan mengadzabnya sesuai kadar dosanya, lalu Allâh mengeluarkan dia (dari Neraka) karena tauhidnya dan memasukkannya ke surga. Bisa jadi Allâh mengeluarkan mereka karena syafa’at yang mereka dapatkan, atau bisa jadi karena rahmat-Nya. Jadi walaupun mereka diadzab, tetap saja tempat kembali mereka adalah surga.[13]

Orang yang bertauhid dan tidak berbuat syirik maka mereka akan mendapat rasa aman di dunia dan akhirat serta mendapat hidayah. Allâh Azza wa Jalla berfirman:

الَّذِينَ آمَنُوا وَلَمْ يَلْبِسُوا إِيمَانَهُمْ بِظُلْمٍ أُولَٰئِكَ لَهُمُ الْأَمْنُ وَهُمْ مُهْتَدُونَ

Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuradukkan iman mereka dengan syirik, mereka itulah orang-orang yang mendapat rasa aman dan mereka mendapat petunjuk. [Al-An’âm/6:82]

Sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

لَا تُبَشِّرْهُمْ فَيَتَّكِلُوْا

Janganlah kausampaikan kabar gembira ini kepada mereka sehingga mereka akan bersikap menyandarkan diri (kepada hal ini dan meninggalkan amal shalih).

Maksudnya, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam khawatir jika orang-orang mendengar hak hamba atas Allâh tersebut, mereka akan menyandarkan diri dari segi pengharapan dan gampang berbuat maksiat, serta mereka akan berkata, “Selama kami bertauhid kepada Allâh Azza wa Jalla , maka maksiat tidak akan membahayakan kami, karena Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Sesungguhnya Allâh tidak akan menyiksa orang yang tidak mempersekutukan-Nya dengan sesuatu pun.’ Dan Alhamdulillah, kami bukan orang musyrik, kami hanya menyembah Allâh Azza wa Jalla saja.” Kemudian mereka mudah terjatuh dalam maksiat dan rasa harap mereka lebih besar dari rasa takut mereka. Inilah hikmah bahwa ilmu harus diletakkan pada tempatnya. Jika dikhawatirkan akan timbul bahaya yang lebih besar dalam penyampaian masalah kepada sebagian orang, maka (lebih baik) disembunyikan dari mereka karena kasih dan sayang kepada mereka agar tidak terjatuh pada hal yang berbahaya.

Hadits ini, akhirnya disampaikan oleh Mu’adz bin Jabal Radhiyallahu anhu di akhir hayatnya, karena beliau Radhiyallahu anhu takut jatuh dalam perbuatan dosa besar dengan menyembunyikan ilmu.

Maka hendaknya bagi seorang penuntut ilmu, pemberi nasehat, dan pengajar wajib memperhatikan keadaan manusia dan para hadirin, memberikan kepada mereka masalah-masalah yang mereka butuhkan serta tidak menyampaikan masalah asing yang tidak bisa dipahami kecuali oleh orang-orang yang dalam pemahamannya. Ajarilah mereka masalah-masalah permulaan yang mudah dipahami secara bertahap sedikit demi sedikit.[14]

FAIDAH-FAIDAH HADITS

    Mengenal hak Allâh Azza wa Jalla yang wajib dilaksanakan oleh para hamba yaitu beribadah kepada Allâh semata dan tidak mempersekutukan-Nya dengan suatu apa pun.
    Orang yang tidak menjauhi kesyirikan (mempersekutukan Allâh dalam ibadah) –walaupun dia beribadah kepada Allâh- maka pada hakikatnya dia tidak melaksanakan ibadah, seperti orang-orang musyrik Quraisy yang mereka beribadah kepada Allâh, mereka thawaf dan shalat, dan lainnya. Akan tetapi tatkala ibadah itu tidak dikerjakan dengan ikhlas dan tidak sesuai syari’at maka perbuatan mereka tidak dinamakan ibadah. Oleh karena itu, Allâh Azza wa Jalla memerintahkan Rasul-Nya untuk mengatakan kepada mereka:

وَلَا أَنْتُمْ عَابِدُونَ مَا أَعْبُدُ

Dan kamu bukan penyembah apa yang aku ibadahi. [Al-Kâfirûn/109:3]

Yakni, kalian tidak beribadah seperti ibadahku karena ibadah kalian dibangun di atas kesyirikan, maka hal itu bukanlah peribadahan kepada Allâh Azza wa Jalla .[15]

    Dalam hadits ini terdapat makna tauhid, yaitu beribadah kepada Allâh semata dan meninggalkan syirik (mempersekutukan Allâh dalam ibadah). Yaitu dengan melaksanakan apa yang Allâh dan Rasul-Nya perintahkan dan menjauhkan apa yang Allâh dan Rasul-Nya larang.
    Inti dari agama Islam adalah mentauhidkan Allâh Azza wa Jalla dan menjauhkan segala macam perbuatan syirik.
    Dalam hadits ini Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan kewajiban hamba terhadap Allâh yaitu wajib mentauhidkan Allâh dalam rububiyyah-Nya, uluhiyyah-Nya, dan asma’ dan sifat-Nya.
    Orang yang bertauhid kepada Allâh dan tidak berbuat syirik, maka dia akan mendapat rasa aman di dunia dan akhirat serta mendapat petunjuk. (Al-An’âm/6:82)
    Keutamaan tauhid: bahwa orang yang berpegang teguh kepada tauhid maka Allâh akan masukkan dia ke dalam surga dan diharamkan baginya neraka.
    Syarat ibadah ada dua yaitu ikhlas dan ittiba’.
    Ketawadhu’an Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam, dimana Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam mau mengendarai keledai dan membonceng orang lain, berbeda dengan keadaan orang-orang yang sombong.
    Cara pengajaran bisa dilakukan dengan cara soal-jawab.
    Orang yang ditanya tentang sesuatu kemudian tidak mengetahui jawabannya maka hendaknya dia mengatakan: Allâhu a’lam (Allâh yang lebih mengetahui), tidak boleh dia berbicara tanpa ilmu.[16]
    Dianjurkan untuk memberikan kabar gembira kepada sesama Muslim.
    Bolehnya menyembunyikan ilmu demi kemaslahatan.
    Seorang murid hendaknya mempunyai adab yang baik terhadap gurunya.
    Keutamaan shahabat Mu’âdz bin Jabal Radhiyallahu anhu .

MARAAJI’:

    Kutubus sittah.
    Musnad Ahmad.
    Fat-hul Bâri Syarh Shahîh al-Bukhâ
    Al-Kâfiyah asy-Syâfiyah fil Intishâr lil Firqatin Nâjiyah, Ibnul Qayyim al-Jauziyyah, tahqiq Syaikh ‘Ali Hasan al-Halabi.
    Fat-hul Majîd Syarh Kitâbit Tauhîd, Syaikh ‘Abdurrahman Alusy Syaikh.
    I’ânatul Mustafîd bi Syarh Kitâbit Tauhîd, Syaikh Shalih al-Fauzan.
    Al-Mulakhkhash fii Syarh Kitâbit Tauhîd, Syaikh Shalih al-Fauzan.
    Al-Qaulul Mufîd ‘ala Kitâbit Tauhîd, Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin.
    Ath-Tharîq Ilal Islam, Syaikh Muhammad bin Ibrahim al-Hamd.
    Menuntut Ilmu Jalan Menuju Surga, Pustaka At-Taqwa.
    Prinsip Dasar Islam, Pustaka At-Taqwa.
    Dan lainnya

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 12/Tahun XVIII/1436H/2015M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196.Kontak Pemasaran 085290093792, 08121533647, 081575792961, Redaksi 08122589079 ]
_______
Footnote
[1]     Beliau adalah Abu ‘Abdirrahman Mu’âdz bin Jabal al-Anshâri al-Khazraji Radhiyallahu anhu, seorang Shahabat yang terkenal, salah seorang Ulama dari kalangan Shahabat. Wafat di Syam karena wabah Tha’un Amwas pada tahun 18 H

[2]     Fat-hul Bâri (XI/339)

[3]     Al-Mulakhkhash fii Syarh Kitâbit Tauhîd, hlm. 22.

[4]     Atsar shahih: Diriwayatkan oleh ad-Darimi (I/63) dan al-Khathib al-Baghdadi dalam al-Faqîh wal Mutafaqqih, II/368, no. 1119

[5]     Atsar shahih: Diriwayatkan oleh al-Khathib al-Baghdadi dalam al-Faqîh wal Mutafaqqih (II/370, no. 1122), diriwayatkan juga dari jalan lain oleh Ibnu ‘Abdil Barr dalam Jâmi’ Bayânil ‘Ilmi wa Fadhlihi (II/838, no. 1573) dan Ibnu Abi Hatim dalam Muqaddimah al-Jarh wat Ta’dîl, hlm. 18.

[6]Al-‘Ubûdiyyah, hlm. 34 dan 152.

[7]Al-‘Ubûdiyyah, hlm. 23.

[8]     Al-Kâfiyah asy-Syâfiyah fil Intishâr lil Firqatin Nâjiyah, fashl 11, hlm. 70 no. 514-516, tahqiq Syaikh ‘Ali Hasan al-Halabi.

[9]     I’ânatul Mustafîd, I/42-46, dengan ringkas, Fat-hul Majîd, dan al-‘Ubûdiyyah karya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah.

[10]    Shahih: HR. Muslim, no. 1718 (18)) dan Ahmad, VI/146; 180; 256, dari hadits ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma

[11]    Lihat Al-‘Ubûdiyyah oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah, hlm. 221-222, tahqiq Syaikh ‘Ali Hasan ‘Ali ‘Abdul Hamid.

[12]    Dinukil dari kitab ath-Tharîq ilal Islâm, hlm. 76-77, cet. 2, Daar Ibnu Khuzaimah, th. 1427 H, oleh Syaikh Muhammad bin Ibrahim al-Hamd.

[13]    I’ânatul Mustafîd, I/47-48, dengan ringkas.

[14]    I’ânatul Mustafîd, I/49-51, dengan ringkasdan sedikit tambahan.

[15]    Lihat al-Qaulul Mufiid, I/49-50.

[16]    Lihat al-Jadîd, hlm. 33



**| republished by Lentera Kabah
Lentera Kabah

Share this:

Enter your email address to get update from ISLAM TERKINI.

Tidak ada komentar

About / Contact / Privacy Policy / Disclaimer
Copyright © 2015. Fajar Islam - All Rights Reserved
Template Proudly Blogger