KITA tahu bahwa kaum Saba’ merupakan kaum yang awalnya menentang perintah Allah Subhanahu wa Ta’ala. Tetapi, Nabi Sulaiman Alaihis Salam, bisa membuat Ratu Bilqis tunduk, hingga akhirnya memeluk Islam. Barulah kemudian pengikutnya juga masuk Islam. Alhasil, penduduk Saba’ beriman pada Allah.
Hanya saja, keimanan kaum Saba’ tidak bisa menetap selamanya. Beberapa waktu berlalu, mereka kembali pada kepercayaannya yang menentang ajaran Allah. Inilah yang membuat Allah tidak menyukai kaum Saba’. Hingga Allah mencabut nikmat yang telah diberikan pada mereka dengan mengirimkan banjir.
Banjir terjadi karena adanya bendungan di sana yang hancur. Itulah bendungan Ma’rib. Lantas, bagaimana bisa bendungan itu hancur?
Penyebab kehancuran bendungan tersebut tentu saja adalah takdir Allah Subhanahu wa Ta’ala dan akibat dari kaum Saba’ yang kufur akan nikmat Allah terhadap mereka. Namun, Allah menciptakan suatu perantara yang bisa diterima oleh logika manusia agar manusia lebih mudah untuk merenungi dan mengambil pelajaran. Di dalam buku-buku tafsir disebutkan, seekor tikus yang lebih besar dari kucing sebagai penyebab runtuhnya bendungan Ma’rib. Subhanallah! Betapa mudahnya Allah menghancurkan bendungan tersebut, meskipun dengan seekor makhluk kecil yang dianggap remah, tikus.
Sebab lain yang disebutkan oleh sejarawan adalah terjadinya perang saudara di kalangan rakyat Saba’ sementara bendungan mereka butuh pemugaran karena dirusak oleh musuh-musuh mereka (at-Tahrir wa at-Tanwir, 22: 169). Perang saudara tersebut mengalihkan mereka dari memperbaiki bendungan Ma’rib. Allahu a’lam mana yang lebih benar mengenai berita-berita tersebut.
Bendungan ini hancur sekitara tahun 542 M. Setelah itu, mereka hidup dalam kesulitan, tumbuhan-tumbuhan yang tumbuh subur di tanah mereka tidak lagi menghasilkan buah seperti sebelum-sebelumnya dan Yaman saat ini termasuk salah satu negeri termiskin dan terkering di Jazirah Arab.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, “Tetapi mereka berpaling, maka Kami datangkan kepada mereka banjir yang besar dan Kami ganti kedua kebun mereka dengan dua kebun yang ditumbuhi (pohon-pohon) yang berbuah pahit, pohon Atsl dan sedikit dari pohon Sidr. Demikianlah Kami memberi balasan kepada mereka karena kekafiran mereka. Dan Kami tidak menjatuhkan azab (yang demikian itu), melainkan hanya kepada orang-orang yang sangat kafir,” (QS. Saba’: 16-17)
Dalam firman-Nya yang lain, “Dan Allah telah membuat suatu perumpamaan (dengan) sebuah negeri yang dahulunya aman lagi tenteram, rezekinya datang kepadanya melimpah ruah dari segenap tempat, tetapi (penduduk)nya mengingkari nikmat-nikmat Allah; karena itu Allah merasakan kepada mereka pakaian kelaparan dan ketakutan, disebabkan apa yang selalu mereka perbuat. Dan sesungguhnya telah datang kepada mereka seorang rasul dari mereka sendiri, tetapi mereka mendustakannya; karena itu mereka dimusnahkan azab dan mereka adalah orang-orang yang zalim,” (QS. An-Nahl: 112 – 113).
Kalau kita renungkan kisah kaum Saba’ dengan perenungan yang mendalam, tentu saja kita menemukan suatu kengerian, bagaimana sebuah negeri yang teramat sangat subur, lalu menjadi negeri yang kering dan tandus. Allah mengabadikan kisah kaum Saba’ ini di dalam Al-Quran dan memberi nama surat yang memuat kisah mereka dengan surat Saba’. Hal ini tentu saja dimaksudkan agar manusia senantiasa mengingat-ingat apa yang terjadi kepada kaum ini.
Demikian pula negeri kita, Indonesia, yang disebut sebagai jamrud katulistiwa, tongkat yang dibuang ke tanah akan menjadi pohon, sebagai gambaran kesuburannya. Hendaknya kita merenungi apa yang terjadi pada kaum Saba’ agar kita tidak mengulang kisah perjalan mereka.
“Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda- tanda kekuasaan Allah bagi setiap orang yang sabar lagi bersyukur,” (QS. Saba’: 19).
**| republished by Lentera Kabah
Lentera Kabah
Tidak ada komentar