Oleh: Alwi Shahab
Gedung yang hingga kini masih berdiri dengan megah, dan menjadi Masjid Cut Mutiah terletak di Jl Gondangdia (kini Jl RP Suroso), Menteng, Jakarta Pusat. Dari gedung inilah dilakukan pembangunan Nieuw Gondangdia (Gondangdia Baru) oleh NV De Bouwploeg untuk kemudian berkembang ke kawasan Menteng. Nama perusahaan real estate pertama ini, kemudian menjadi nama Kampung Boplo.
Sampai sekarang di belakang stasiun kereta api Gondangdia, terletak Pasar Boplo. Sekalipun sudah belasan tahun nama Jl Gondangdia diganti Jl RP Suroso, tapi warga masih menyebut dan mengenal nama sebelumnya. Banyak pihak yang menyesalkan kenapa nama tempat bersejarah ini diganti begitu saja.
Dari gedung NV De Bouploeg ini pula dilakukan pembangunan kawasan Menteng, kota taman pertama di Indonesia pada 1920-an. Ketika Menteng dibangun warga Betawi dipindahkan ke Karet, Tanah Abang, Jakarta Pusat.
Mereka yang tergusur telah meninggikan ganti rugi dari lima sen jadi lima perak (gulden). Sarikat Islam (SI), yang dipimpin HOS Tjokroaminoto dan H Agus Salim dengan gigih berjuang hingga penduduk dapat ganti rugi yang layak saat penggusuran.
Menteng Mirip Kawasan Elite Amsterdam
Ir Barlage, tokoh arsitek Belanda ketika berkunjung ke Batavia (1920-an), menyebut Menteng sebagai Europese Buurt (lingkungan Eropa). Karena mirip dengan Minervalaan, kawasan elite di Amsterdam. Kalau kawasan di Amsterdam itu luasnya hanya 30 hektar, Menteng 20 kali lebih besar (600 hektare).
Di sebelah kanan De Bouploeg (tidak terlihat), terdapat gedungKunstkring tempat para arsitek awal abad ke-20 sering berkumpul dan berdiskusi. Gedung yang terletak di ujung Van Heutz Boulevard (kini Jl Teuku Umar), sebagai awal dari arsitektur modern di Indonesia. Karena setelah kemerdekaan pernah digunakan sebagai tempat Direktorat Jenderal Imigrasi, ia lebih dikenal sebagai gedung Imigrasi.
Pada 1998, ketika Pak Harto lengser, gedung ini dijarah. Semua daun jendela dan pintunya dicuri. Karena beredar berita-berita gedung ini akan dijadikan Museum Ibu Tien Soeharto.
Sedangkan gedung NV De Bouploeg, yang kini menjadi Masjid Cut Mutiah, pernah menjadi kantor pos pembantu, dan pada perang dunia kedua (1942-1945) digunakan Angkatan Laut Jepang. Sesudahnya dimanfaatkan Staatssporweg (Jawatan Kereta Api), kemudian oleh Dinas Perumahan (1957-1964).
Di sebelah kanan De Bouploeg (tidak terlihat), terdapat gedungKunstkring tempat para arsitek awal abad ke-20 sering berkumpul dan berdiskusi. Gedung yang terletak di ujung Van Heutz Boulevard (kini Jl Teuku Umar), sebagai awal dari arsitektur modern di Indonesia. Karena setelah kemerdekaan pernah digunakan sebagai tempat Direktorat Jenderal Imigrasi, ia lebih dikenal sebagai gedung Imigrasi.
Pada 1998, ketika Pak Harto lengser, gedung ini dijarah. Semua daun jendela dan pintunya dicuri. Karena beredar berita-berita gedung ini akan dijadikan Museum Ibu Tien Soeharto.
Sedangkan gedung NV De Bouploeg, yang kini menjadi Masjid Cut Mutiah, pernah menjadi kantor pos pembantu, dan pada perang dunia kedua (1942-1945) digunakan Angkatan Laut Jepang. Sesudahnya dimanfaatkan Staatssporweg (Jawatan Kereta Api), kemudian oleh Dinas Perumahan (1957-1964).
Soeharto Sujud Syukur
Pada 1964-1970 menjadi Kantor Urusan Agama, sekaligus untuk kegiatan peribadatan. Karena letaknya berdekatan dengan kediaman pejabat tinggi, masjid ini sering dapat kunjungan pejabat penting. Presiden Soeharto dan Ibu Tien Soeharto beserta keluarga, usai berhaji (1991), sujud syukurnya di masjid ini.
Dahulu, dihadapan gedung De Bouploeg dibangun monumen untuk apa yang disebut 'mengenang' keberhasilan Jenderal van Heutz 'menaklukkan' Aceh, yang berarti dapat mempersatukan Nusantara. Di monumen yang memanjang hingga ke dekat Jl Menteng Raya dan Cikini Raya, di atasnya diberi penumpu tempat berdirinya patung Van Heutz yang tak henti-hentinya memandang dengan wajah yang memancarkan kebajikan.
Akan tetapi, kaum nasionalis menilai patung ini sebagai penghinaan terhadap kehormatan rakyat dan membuat hati mereka berontak. Setelah Indonesia merdeka, tanpa mengenal ampun patung ini dihancurkan sama rata dengan tanah.
Dahulu, dihadapan gedung De Bouploeg dibangun monumen untuk apa yang disebut 'mengenang' keberhasilan Jenderal van Heutz 'menaklukkan' Aceh, yang berarti dapat mempersatukan Nusantara. Di monumen yang memanjang hingga ke dekat Jl Menteng Raya dan Cikini Raya, di atasnya diberi penumpu tempat berdirinya patung Van Heutz yang tak henti-hentinya memandang dengan wajah yang memancarkan kebajikan.
Akan tetapi, kaum nasionalis menilai patung ini sebagai penghinaan terhadap kehormatan rakyat dan membuat hati mereka berontak. Setelah Indonesia merdeka, tanpa mengenal ampun patung ini dihancurkan sama rata dengan tanah.
**| republished by Lentera Kabah
Lentera Kabah
Tidak ada komentar