UNTUNG ADA ORANG MADURA*
Jamaah haji Indonesia harus berterima kasih kepada para pendatang dari Madura yang tinggal di Madinah dan Makkah. Bagaimana tidak, merekalah yang selama ini berjualan makanan selera Nusantara, selama musim haji seperti sekarang.
Di Madinah, mereka tiap pagi menyambangi hotel dan menggelar dagangan nasi bungkus murah meriah, harganya hanya 3 riyal (Rp 12.000). Pengusaha restoran Bakso Malang di hotel sebelah hotel kami, juga berasal dari Madura.
Eh, di Makkah, semua penjual makanan di depan maktab, juga orang Madura. Tiga kali nanya penjual asalnya dari mana? Dijawab Madura, Madura, Madura. Pedagang keempat dan seterusnya nggak usah disensus. Pasti, Madura juga.
Pagi pertama di Makkah, penjual di depan maktab baru 1 orang. Beli sarapan berdua habisnya SR 20 (Rp 80 ribuan). Eh, hari kedua dan seterusnya mulai banyak yang jualan. Harganya bersaing. Pernah saya geleng-geleng kepala, sarapan pagi berdua cuma habis SR 6 (Rp 24 ribuan), padahal komplit ada nasi, urap, ikan. Sekarang stabil, rata-rata makan berdua kisaran SR 10 - 15 (Rp 40-60 ribuan).
Siapakah gerangan para pendatang Madura ini?
Salah seorang TKW Madura yang membantu kami mencarikan kambing untuk dam haji tamattu' menuturkan mereka itu dulu datangnya dalam rangka umrah, terus nggak balik pulang. Menetap di sini, tentu secara sembunyi-sembunyi. Kalau ada razia "satpol PP", bisa ditangkap dan mungkin dideportasi.
Makanya pas buka lapak, mereka selalu waspada kalau-kalau ada mobil razia datang. Dua hari lalu kebetulan ada razia. Penjual langsung masuk hotel, sembunyi, membaur dengan jamaah haji di lobi hotel.
Pak satpol itu pun marah-marah, nyari mana yang jualan? Ada dagangannya kok nggak ada penjualnya? Tapi jamaah pura-pura nggak tahu. Nggak ada yang mau menunjukkan di mana tempat persembunyian.
Berkali-kali petugas razia itu nunjuk-nunjuk langit. Maksudnya, emang ini dagangan jatuh dari langit? Kok ada barangnya, nggak ada orangnya? Lagipula ini makanannya terbuka. Nanti kalau sakit perut gimana? Begitulah yang saya tangkap omelan dia. Jamaah haji Indonesia tak ada yang menggubrisnya.
Lalu yang saya kuatirkan pun terjadi. Itu lapak dagangan diangkatnya, mau dibuang. Tapi, mungkin karena tahu itu makanan yang dibutuhkan banyak orang, akhirnya petugas razia itu memilih membagikan saja dagangan itu ke orang-orang yang berkerumun. "Halal... halaaaaaall", teriaknya.
Orang-orang senang saja menerima pembagian makanan gratis. Nasi. Lauk pauk. Malah ada yang bawa satu kresek telur rebus. Semua dagangan dibagi-bagikan satpol PP itu. Wah, situasi yang kacau.
Saya teriak ke orang-orang yang sumringah menerima makanan gratis itu, "Pak, nanti bayar lho ke penjualnya".
"Iya, iya, ini kita bawa dulu saja. Yang penting kita amankan. Kalau sudah pergi nanti kita bayar. Kasihan kalau gak bayar", jawabnya.
Alhamdulillah, jamaah haji juga pengertian. Tidak ada yang mau menerima makanan gratisan, hasil menjarah. Harganya tak seberapa, tapi bisa menghancurkan kemabruran haji.
Sehari setelah razia malam itu, pedagang makanan sepi. Hanya tersisa satu penjual saja yang masih berani buka lapak. Tentu saja pembelinya berjubel-jubel, termasuk kami berdua yang memang tidak memasak.
Lalu... dua mobil ngebut dan berhenti persis di depan kami. Oh, noooo...... satpol PP lagi. Semobil diisi sekitar 5 orang, jadi sekilas saya hitung ada hampir 10 orang berpakaian gamis putih mau merazia.
Begitu keluar mobil mereka berteriak, "Hoo.. Hoooo... Hoooo.... ".
Kami semua menoleh. Sang ibu penjual tak sempat kabur. Kini di hadapan kami ada 10 orang siap merazia dagangan, dan mungkin juga menangkap penjualnya.
Berhasil menangkap? Ternyata tidak.
Entah siapa yang memberi komando, tiba-tiba para jamaah haji memutuskan melawan. "Hoooi.. hhooo... Hooo....". Kini kami gantian meneriaki pak satpol. Teriakan yang lebih lantang.
Mereka bermaksud mendekat, merangsek ke lapak dagangan. Tapi, ibu-ibu juga tak mau kalah. Malah berani menuding-nuding, "Haram... hharraaaaamm... kami butuh makan". Sambil tangannya diarahkan ke mulut, memberi isyarat makan.
"Go.. goooo.. pergi sana. Goo". Kini kami makin kompak teriak. Jumlah kami lebih banyak. Mereka hanya bersepuluh, tak bersenjata, tak bawa pentungan pula. Pokoknya lawan. Penjual juga hanya tinggal seorang, kalau ini dirazia juga, malam ini kami makan apa?
Eyel-eyelan terjadi. Mungkin 15 menitan kami berdebat. Pokoknya ini gak boleh dirazia. "Goo.. Goo.. pergi sana. Haaarraaaammm.. haraaamm!".
Akhirnya salah satu petugas yang usianya lebih tua keluar dari mobil. Mungkin dia komandannya. Dia tak berkata apa-apa, kecuali menjawil anak buahnya, dan memintanya balik masuk mobil.
"Hooo.. hhhooo... Hooo...", kata anak buah kepada kami sambil senyam-senyum melihat kekompakan kami.
"Hoooo... hhhooooo... hhoooo..", kami membalas teriak. Lebih keras karena jumlahnya jauh lebih banyak. Lebih kompak.
Saya segera nyalakan BlackBerry dan memotret momen langka ini (foto atas -red). Kami pun bersorak dan tertawa-tawa mengiringi kaburnya dua mobil petugas itu.
Alhamdulillah... tadi malam masih bisa beli makanan di depan maktab. Semoga malam nanti dan malam-malam berikutnya, para pedagang dari Madura ini berani balik berjualan lagi. Jangan takut ada razia. Berbekal pengalaman semalam, kami akan kompak melawan razia.
Terima kasih, warga Madura...
Kami salut atas keberanian kalian mengembara.
Berkhidmat melayani para tamu Allah di tanah suci.
Semoga keberkahan mengiringi perniagaan kalian.
Makkah, 15 September 2015
(keterangan foto: Petugas bergamis putih, siap masuk mobil setelah operasi razianya gagal total)
*dari fb Ustadz M Ihsan Abdul Djalil
** | republished by Lentera Kabah
Lentera Kabah
Tidak ada komentar