Pertanyaan:
Apakah binatang sembelihan untuk acara “tujuh bulanan”, tahlilan, mendirikan bangunan, dan sejenisnya halal dimakan? Lalu, doa apa saja yang dapat dibaca saat menyembelih binatang dan bagaimana tata caranya menurut manhaj salaf?
Jawaban:
Sembelihan diharamkan, apabila sembelihan itu dipersembahkan untuk selain Allah, tidak disebutkan nama Allah (pada saat penyembelihannya -ed), dan cara menyembelihnya keliru. Sembelihan untuk selain Allah adalah sembelihan yang biasa dilakukan orang-orang musyrik, yaitu orang-orang yang mendekatkan diri kepada patung-patung, binatang, dan selainnya dengan sembelihan tersebut. Yakni, dengan cara menyebut nama-nama sesembahan-sesembahan mereka, ketika mereka menyembelih, atau menyembelih di hadapan patung-patung tertentu.
Jika seseorang mempersembahkan sembelihannya untuk tempat angker agar dia selamat (dari gangguan tempat angker tersebut), untuk jin, untuk ratu pantai selatan, ketika membangun jembatan agar selesai dengan sukses, dan semacamnya, maka ini termasuk menyembelih untuk selain Allah.
Adapun sembelihan pada acara bid’ah, seperti “tujuh bulanan” dan tahlilan, setahu kami, mereka tidak mempersembahkan sembelihan itu kepada selain Allah. Mereka menyembelih binatang tersebut dengan menyebut nama Allah dan dibagi-bagikan kepada orang lain, dengan tujuan agar calon anak mereka lahir dengan selamat.
Sementara pada acara tahlilan, biasanya, mereka menyembelih hewan untuk mengirimnya kepada orang yang telah mati. Ini pun disembelih dengan menyebut nama Allah, sedangkan maksud “mengirim untuk orang mati” yang biasa dilakukan masyarakat adalah mengirim pahala kepada orang yang mati dari sembelihan tesebut. Dengan demikian, sembelihan itu tidak dapat digolongkan dalam jenis sembelihan yang disebutkan ayat berikut ini:
وَمَا أُهِلَّ بِهِ لِغَيْرِ اللّهِ
“…Dan binatang yang (ketika disembelih) disebut (nama) selain Allah.” (Qs. al-Baqarah: 173)
Tidak pula termasuk sembelihan untuk selain Allah. Allahu a’lam.
Dengan demikian, sembelihan dari acara bid’ah ini adalah halal, karena bid’ahnya acara tidak menyebabkan sembelihan, secara otomatis, menjadi haram. Serta, tidak ada dalil yang mengharamkannya. Hukum ini didasarkan pada keumuman maksud sembelihan pada acara-acara bid’ah yang biasa dilakukan masyarakat. Bila didapati secara yakin, bahwa sembelihan itu untuk selain Allah atau disebut (dengan nama -ed) selain Allah, maka sesembelihan tersebut haram untuk dikonsumsi.
Akan tetapi, jika menerima atau memakan makanan tersebut menimbulkan fitnah di kalangan masyarakat, yakni masyarakat memandang acara tersebut dibolehkan karena makanannya diterima atau dimakan, maka semestinya makanan itu tidak kita terima atau kita makan, jika makanan itu diberikan kepada kita.
Adapun menyembelih untuk mendirikan bangunan, maka ini memerlukan perincian. Jika yang dikehendaki ialah untuk bersedekah, dengan maksud agar proses pembangunan lancar, maka sepengetahuan kami, perbuatan semacam ini tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para salaf. Meskipun demikian, sembelihannya tetap halal, karena tidak ada dalil yang menjadikannya haram.
Namun, jika maksud penyembelihan tersebut adalah sebagai tumbal agar proses pendirian bangunan menjadi lancar, tidak terganggu, dan semacamnya, maka jelas ini termasuk syirik besar, dan sembelihannya haram untuk dimakan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Allah melaknat orang yang menyembelih untuk selain Allah.” (Hr. Muslim: 1978)
Perincian jawaban ini didasari pada kaidah, bahwa hukum asal makanan ialah halal. Tidak boleh mengharamkan suatu makanan kecuali ada dalil tentangnya. Kaidah ini didasari oleh beberapa dalil, yaitu surat al-Baqarah: 29 dan surat al-An’am: 14.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Segala sesuatu yang Allah halalkan dalam kitab-Nya, maka itu halal. Adapun, segala sesuatu yang Allah haramkan, maka itu haram. Serta, segala sesuatu yang Allah diamkan (tidak dijelaskan keharaman dan kehalalannya), maka itu dibolehkan. Maka, terimalah pembolehan dari Allah ini. Sesungguhnya Allah tidak lupa terhadap sesuatu apapun.” Beliau lantas membaca ayat,
وَمَا كَانَ رَبُّكَ نَسِيّاً
“Dan tidaklah Rabbmu lupa.” (Qs. Maryam: 64)
Hadits di atas diriwayatkan oleh al-Bazzar, sebagaimana termaktub dalam kitab Kasyful Astar, no. 2855, serta al-Hakim dalam Mustadrak. Al-Hakim juga berkata, “Sanad hadits ini shahih, tetapi tidak dikeluarkan oleh Bukhari dan Muslim.” Pendapat ini disepakati oleh adz-Dzahabi. Hadits ini juga dinilai sebagai hadits yang hasan oleh al-Albani, dalam Ghayatul Maram, no.2.
Silakan melihat uraian kaidah ini dalam kitab ar-Raudhah Naiyah oleh Shiddiq Hasan Khan, kitab Ath’imah: 2/381, dan seterusnya.
Sebagai pembanding keterangan di atas, maka kami nukilkan keterangan Syekh Ibnu Baz dalam ta’liq (komentar) beliau terhadap ta’liq Syekh Muhammad Hamid al-Fiqqi dalam kitab Fathul Majid.
Syekh Hamid mengatakan,”Semua makanan yang dibagikan kepada orang-orang yang i’tikaf di sekitar kubur-kubur dan thaghut-thaghut tersebut, dengan menyebutkan nama-nama mereka dan dengan berkah dari mereka, adalah tergolong makanan
مَآ أُهِلَّ بِهِ لِغَيْرِ اللهِ
Syekh Ibnu Baz mengomentari, “Aku katakan, masalah ini perlu diperinci. Jika yang dimaksud adalah bahwa amalan ini syirik karena merupakan ibadah kepada selain Allah dan mendekatkan diri kepada selain-Nya, maka ini benar. Hal tersebut dikarenakan, beribadah kepada sesuatu selain Allah adalah perbuatan yang haram, baik kepada nabi atau selainnya. Tidak diragukan lagi, bahwa menyediakan makanan, minuman, uang, dan selainnya, untuk orang mati dari kalangan nabi, wali, atau selain mereka, untuk patung atau semacamnya, disertai harapan dan rasa takut, maka itu semua termasuk ibadah kepada selain Allah, karena ibadah kepada Allah itu adalah dengan melaksanakan perintah-perintah-Nya dan perintah Rasul-Nya.
Adapun jika yang dimaksud oleh Syekh Hamid adalah bahwa uang, makanan, minuman, dan hewan yang masih hidup yang dipersembahkan pemiliknya untuk para nabi, wali, dan selain mereka adalah persembahan yang haram diambil dan dimanfaatkan, maka ini tidak benar. Alasannya adalah, benda-benda itu adalah harta, dapat dimanfaatkan. Pemiliknya tidak lagi menyukainya dan tidak termasuk bangkai.
Dengan demikian, benda itu adalah mubah (halal) bagi siapa pun yang mengambilnya, seperti mubahnya mengambil barang yang ditinggalkan oleh pemiliknya. Hal ini bagaikan beberapa tangkai kurma yang ditinggalkan petani untuk orang-orang fakir.
Dalilnya, Nabi mengambil harta yang ada di gudang berhala Lata dan digunakan untuk membayar utang Urwah bin Mas’ud ats-Tsaqafi. Beliau memandang bahwa dipersembahkannya harta tersebut (kepada Lata) bukan merupakan halangan untuk mengambil harta tersebut, jika memang harta tersebut mampu untuk diambil.
Akan tetapi, jika ada yang melihat orang jahil dan orang-orang yang berbuat syirik mengambil harta tersebut, maka wajib diperingatkan dan dijelaskan bahwa itu termasuk syirik. Dengan demikian, jangan sampai ada dugaan bahwa harta itu telah diambil. Serta, tidak adanya pengingkaran kepada perbuatan mengambil harta tersebut, dapat digunakan sebagai dalil tentang kebolehan mempersembahkan harta dan mendekatkan diri dengan harta tersebut kepada selain Allah.
Hal ini dikarenakan, syirik adalah kemungkaran yang paling besar, maka wajib mengingkari orang yang melakukannya. Namun, jika daging tersebut berasal dari sembelihan orang musyrik, begitu pula lemak dan kuahnya, maka daging tersebut haram untuk dikonsumsi, karena sembelihan mereka dihukumi sebagai bangkai.
Oleh karena itu, sembelihan tersebut diharamkan, dan benda yang tercampur dengannya menjadi najis. Berbeda dengan roti dan semacamnya, yang selama tidak bercampur dengan sembelihan orang musyrik maka tetap dihalalkan bagi orang yang mengambilnya. Begitu juga uang dan sejenisnya, maka hukumnya sebagaimana keterangan yang telah kami sampaikan.” (Fathul Majid, hlm. 174–175, tahqiq Abu Muhammad Asyraf bin Abdul Maqshud)
Doa menyembelih hewan, cukup dengan membaca بِسْمِ اللهِ (bismillah), atau boleh juga ditambah dengan اَللهُ أَكْبَرُ (Allahu akbar), sepeti disebutkan dalam hadits riwayat Muslim (no. 1960), Jundab bin Sufyan berkata,
“Aku menyaksikan Idul Adha bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Usai shalat, beliau melihat kambing yang telah disembelih, lalu beliau bersabda,
مَنْ ذَبَحَ قَبْلَ الصَّلاَةِ فَلْيَذْبَحْ شَاةً مَكَانَهَا وَمَنْ لَمْ يَكُنْ ذَبَحَ فَلْيَذْبَحْ عَلَى اسْمِ اللهِ
‘Barangsiapa yang menyembelih sebelum shalat, maka sembelihlah kambing (lain) sebagai gantinya. Dan barangsiapa yang belum menyembelih, maka sembelihlah dengan membaca ‘bismillah’.’”
Dalam riwayat Muslim yang lain (hadits no. 1966), beliau menyembelih dua kambing putih dan memiliki dua tanduk yang bagus dengan membaca بِسْمِ اللهِ (bismillah) dan bertakbir.
Adapun tata cara penyembelihan yang sesuai dengan tuntunan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, adalah sebagai berikut:
Persiapkan pisau yang tajam agar hewan sembelihan tidak merasa sakit berkepanjangan, sebagaimana perintah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,“Jika kamu menyembelih, baguskanlah cara penyembelihanmu. Hendaklah salah seorang dari kalian menajamkan pisaunya dan membuat sembelihannya tidak merasa sakit.” (Hr. Muslim, Tirmidzi, dan Nasa’i)
Baringkan hewan sembelihan menghadap kiblat. Namun, jika tidak demikian, maka tidak mengapa.
Tenggorokan, kerongkongan, dan dua urat leher hewan sembelihan harus terputus.
Sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
“Jika darah mengalir dan urat telah terputus, maka makanlah.” (Riwayat Sa’id bin Manshur dari Ibnu Abbas, dengan sanad hasan). Allahu a’lam.
Disadur dari Majalah Al-Furqon, edisi 5, tahun ke-5, 1426 H/2005.
**| republished by Lentera Kabah
Lentera Kabah
Tidak ada komentar