Bismillah was shalatu was salamu ‘ala Rasulillah, wa ba’du,
Diantara kaidah penting yang banyak diterapkan dalam kajian fiqh adalah kaidah
اليَقِينُ لَا يَزُولُ بِالشَّكّ
“Yakin tidak bisa gugur disebabkan keraguan”
Kaidah ini termasuk salah satu kaidah kubro (besar) dalam fiqh. Hingga sebagian ulama menyebut, kaidah ini mencakup ¾ masalah Fiqh. (al-Wajiz fi Idhah Qawaid al-Fiqh al-Kulliyah, hlm. 169).
Ada banyak dalil yang menunjukkan kaidah ini, diantaranya,
Firman Allah,
وما يتَبِعُ أكثرهُم إلا ظناً إنَّ الظن لا يغني من الحقِ شيئاً
“Kebanyakan mereka hanya mengikuti prasangka. Padahal prasangka sama sekali tidak menunjukkan kebenaran.” (QS. Yunus: 36)
Demikian pula disebutkan dalam hadis dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِذَا وَجَدَ أَحَدُكُمْ فِى بَطْنِهِ شَيْئًا فَأَشْكَلَ عَلَيْهِ أَخَرَجَ مِنْهُ شَىْءٌ أَمْ لاَ فَلاَ يَخْرُجَنَّ مِنَ الْمَسْجِدِ حَتَّى يَسْمَعَ صَوْتًا أَوْ يَجِدَ رِيحًا
“Apabila kalian merasakan ada sesuatu dalam perut yang membuat kalian ragu, apakah kuntut ataukah tidak kentut, maka jangan batalkan shalat hingga kalian mendengar suara kentut atau mencium baunya. (HR. Muslim 831).
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam meminta kita agar tidak membatalkan shalat karena kondisi hadats baru sebatas keraguan. Sementara ketika shalat dia yakin dalam kondisi suci. Dan yakin tidak bisa hilang dengan keraguan.
Sehingga kaidah ini mengajarkan, jika terjadi keraguan dalam bentuk apapun, buang keraguan itu dan pilih yang meyakinkan.
Sebagaimana ini bisa diterapkan dalam wudhu, ini juga bisa diterapkan dalam shalat. Ketika seseorang mengalami keraguan dalam shalat, misalnya ragu akan jumlah rakaat, dia bisa terapkan kaidah, pilih yang meyakinkan dan tinggalkan yang meragukan.
Berdasarkan hal ini, ragu mengenai jumlah rakaat ketika shalat ada 2 keadaan,
Pertama, orang yang ragu jumlah rakaat dan dia bisa menentukan mana yang lebih meyakinkan.
Dalam keadaan ini, dia ambil yang lebih meyakinkan.
Sebagaimana dinyatakan dalam hadis dari Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِذَا شَكَّ أَحَدُكُمْ فِى صَلاَتِهِ فَلْيَتَحَرَّ الصَّوَابَ فَلْيُتِمَّ عَلَيْهِ ثُمَّ لْيُسَلِّمْ ثُمَّ لْيَسْجُدْ سَجْدَتَيْنِ
Jika kalian ragu dengan jumlah rakaat ketika shalat, pilih yang paling meyakinkan, dan selesaikan shalatnya, sampai salam. Kemudian lakukan sujud sahwi dua kali. (HR. Bukhari & Muslim)
Kedua, orang yang ragu jumlah rakaat, dan dia sama sekali tidak bisa menentukan mana yang lebih meyakinkan. Dalam keadaan ini, dia memilih yang lebih sedikit rakaatnya. Mengapa memilih yang lebih sedikit? Karena yang lebih sedikit, lebih meyakinkan.
Sebagai ilustrasi, Mukidi shalat dzuhur, ketika bangkit ke rakaat berikutnya dan tengah membaca al-Fatihah, dia ragu, apakah ini rakaat yang ketiga ataukah keempat?
Jika Mukidi menentukan pilihan, ini di rakaat ketiga, dia yakin jumlah rakaatnya tidak akan kurang. Tapi jika dia memilih, ini di rakaat keempat, dia masih ragu, jangan-jangan kurang jumlah rakaatnya. Sehingga rakaat ketiga yakin, sementara rakaat keempat meragukan.
Cara ini yang diajarkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, sebagaimana dinyatakan dalam hadis dari Abu Said al-Khudri radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِذَا شَكَّ أَحَدُكُمْ فِى صَلاَتِهِ فَلَمْ يَدْرِ كَمْ صَلَّى ثَلاَثًا أَمْ أَرْبَعًا فَلْيَطْرَحِ الشَّكَّ وَلْيَبْنِ عَلَى مَا اسْتَيْقَنَ ثُمَّ يَسْجُدُ سَجْدَتَيْنِ قَبْلَ أَنْ يُسَلِّمَ فَإِنْ كَانَ صَلَّى خَمْسًا شَفَعْنَ لَهُ صَلاَتَهُ وَإِنْ كَانَ صَلَّى إِتْمَامًا لأَرْبَعٍ كَانَتَا تَرْغِيمًا لِلشَّيْطَانِ
“Apabila kalian ragu dalam shalatnya, dan tidak mengetahui berapa rakaat dia shalat, tiga ataukah empat rakaat maka buanglah keraguan itu, dan ambilah yang yakin. Kemudian sujudlah dua kali sebelum salam. Jika ternyata dia shalat lima rakaat, maka sujudnya telah menggenapkan shalatnya. Lalu jika ternyata shalatnya memang empat rakaat, maka sujudnya itu adalah sebagai penghinaan bagi setan.” (HR. Muslim 1300)
Contoh Penerapan Kaidah
[1] Orang yang yakin telah bersuci, ketika dia ragu apakah telah muncul hadats, maka dia tetap dinilai telah bersuci, menurut pendapat 3 ulama, Imam Abu Hanifah, Imam as-Syafi’i, dan Imam Ahmad. Sementara Imam Malik berpendapat, ‘Orang yang ragu dalam bersuci, dia wajib wudhu, berdasarkan kadiah: Ragu dalam syarat menjadi penghalang terwujudnya apa yang disyaratkan.’
Namun pendapat yang lebih tepat dalam hal ini adalah pendapat jumhur (mayoritas ulama).
[2] Jika ada sepasang suami istri melakukan akad nikah yang sah, kemudian muncul keraguan apakah pernah terjadi talak ataukah tidak, maka nikahnya dipertahankan. Karena talak yang statusnya keraguan, muncul di tengah keadaan yang lebih meyakinkan, yaitu nikah, sehingga harus dibuang. Sementara Ibnu Qudamah mengatakan, ‘yang lebih wara’, dinilai jatuh talak.’
**| republished by Lentera Kabah
Lentera Kabah
Tidak ada komentar