Pertanyaan.
Siapa sajakah yang termasuk ahlul fatrah ? Apakah mereka itu yang hidup sesudah Nabi Isa Alaihissallam dan sebelum Nabi Muhammad ? Bagaimana dengan kedua orang tua Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ? Apa standarnya ? Jazâkumullâh khairan.
Jawaban.
Kata fatrah disebutkan dalam kitab suci al-Qur’ân, yaitu dalam firman Allâh Azza wa Jalla :
يَا أَهْلَ الْكِتَابِ قَدْ جَاءَكُمْ رَسُولُنَا يُبَيِّنُ لَكُمْ عَلَىٰ فَتْرَةٍ مِنَ الرُّسُلِ أَنْ تَقُولُوا مَا جَاءَنَا مِنْ بَشِيرٍ وَلَا نَذِيرٍ ۖ فَقَدْ جَاءَكُمْ بَشِيرٌ وَنَذِيرٌ ۗ وَاللَّهُ عَلَىٰ كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ
Wahai ahli kitab, sesungguhnya Rasul Kami telah datang kepada kamu, menjelaskan (syari’at Kami) kepadamu ketika fatrah (terputus pengiriman) Rasul-rasul agar kamu tidak mengatakan: “Tidak ada datang kepada kami baik seorang pembawa berita gembira maupun seorang pemberi peringatan”. Sesungguhnya telah datang kepadamu pembawa berita gembira dan pemberi peringatan. Allâh Maha Kuasa atas segala sesuatu. [al-Mâidah/5:19]
Secara bahasa fatrah berarti terputus atau lemah. Adapun menurut istilah, fatrah adalah zaman antara dua Rasul dari para Rasul Allâh Subhanahu wa Ta’ala . [Lihat Mukhtârus Shihhah, bab: fa ta ra].
Dan ahlu fatrah adalah orang-orang yang hidup di zaman fatrah. Syaikh Masyhûr bin Hasan Alu Salmân hafizhahullah mengatakan, “Yang benar, ahlu fatrah adalah orang-orang yang hidup di antara dua rasul. Rasul yang pertama tidak diutus kepada mereka (yakni dakwahnya tidak sampai ke masa hidup mereka-red), dan mereka belum menemui rasul yang kedua.”[1]
Kalimat fatrah dalam ayat diatas adalah zaman sesudah Nabi Isa Alaihissallam dan sebelum Nabi Muhammad diutus, sebagaimana dikatakan oleh para Ulama’ ahli tafsir. Dengan demikian, kedua orang tua Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam hidup di zaman fatrah.
Mungkin ada pertanyaan, apakah semua orang yang hidup di zaman fatrah tidak akan disiksa atau tidak masuk neraka ? Dalam masalah ini ada perincian:
Semua umat atau bangsa telah kedatangan Rasul. Oleh karena itu -setelah diutusnya Rasul-barangsiapa beriman dan taat, akan mendapatkan kebahagiaan. Sebaliknya, barangsiapa kafir dan durhaka, akan mendapatkan kecelakaan.
إِنَّا أَرْسَلْنَاكَ بِالْحَقِّ بَشِيرًا وَنَذِيرًا ۚ وَإِنْ مِنْ أُمَّةٍ إِلَّا خَلَا فِيهَا نَذِيرٌ
Sesungguhnya Kami mengutus kamu dengan membawa kebenaran sebagai pembawa berita gembira dan sebagai pemberi peringatan. Dan tidak ada suatu umatpun melainkan telah ada padanya seorang pemberi peringatan. [Fâthir/35:24].
Ketika menafsirkan ayat ini, Imam Ibnu Katsîr rahimahullah mengatakan, “Yaitu tidak ada satu umatpun keturunan Adam Alaihissallam yang telah lewat kecuali Allâh telah mengutus orang-orang yang membawa peringatan kepada mereka dan menghilangkan alasan-alasan mereka”. (Tafsîr al-Qur’ânil ‘Azhîm, surat Fâthir/35 ayat ke-24). Lalu beliau rahimahullah menyebutkan ayat-ayat lain yang semakna, yaitu firmanNya:
وَيَقُولُ الَّذِينَ كَفَرُوا لَوْلَا أُنْزِلَ عَلَيْهِ آيَةٌ مِنْ رَبِّهِ ۗ إِنَّمَا أَنْتَ مُنْذِرٌ ۖ وَلِكُلِّ قَوْمٍ هَادٍ
Orang-orang yang kafir berkata: “Mengapa tidak diturunkan kepadanya (Muhammad) suatu tanda (kebesaran) dari Rabbnya ?” Sesungguhnya kamu hanyalah seorang pemberi peringatan; dan bagi tiap-tiap kaum ada orang yang memberi petunjuk. [ar-Ra’d/13: 7]
Juga firmanNya:
وَلَقَدْ بَعَثْنَا فِي كُلِّ أُمَّةٍ رَسُولًا أَنِ اعْبُدُوا اللَّهَ وَاجْتَنِبُوا الطَّاغُوتَ
Dan sesungguhnya Kami telah mengutus Rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan): “Beribadahlah kepada Allâh (saja), dan jauhilah thaghut (thaghut ialah syaitan dan apa saja yang disembah selain Allâh Azza wa Jalla itu) [an-Nahl/16: 36]
Pribadi-pribadi yang belum sampai kepadanya dakwah Rasul, maka Allâh Azza wa Jalla tidak akan menimpakan siksa kepadanya. Allâh Azza wa Jalla berfirman:
وَمَا كُنَّا مُعَذِّبِينَ حَتَّىٰ نَبْعَثَ رَسُولًا
Dan Kami tidak akan mengadzab sebelum Kami mengutus seorang rasul. [al-Isrâ’/17: 15]
Imam Ibnu Katsir mengatakan, ”Ini merupakan pemberitaan keadilan Allâh Azza wa Jalla . Yaitu Allâh Azza wa Jalla tidak akan mengadzab seorangpun kecuali setelah hujjah ditegakkan kepada orang tersebut dengan mengutus seorang Rasul kepadanya. Allâh Azza wa Jalla berfirman :
كُلَّمَا أُلْقِيَ فِيهَا فَوْجٌ سَأَلَهُمْ خَزَنَتُهَا أَلَمْ يَأْتِكُمْ نَذِيرٌ﴿٨﴾قَالُوا بَلَىٰ قَدْ جَاءَنَا نَذِيرٌ فَكَذَّبْنَا وَقُلْنَا مَا نَزَّلَ اللَّهُ مِنْ شَيْءٍ إِنْ أَنْتُمْ إِلَّا فِي ضَلَالٍ كَبِيرٍ
Setiap kali sekumpulan (orang-orang kafir) dilemparkan ke dalam neraka, penjaga-penjaga (neraka itu) bertanya kepada mereka, “Apakah belum pernah datang kepada kamu (di dunia) seorang pemberi peringatan ?” Mereka menjawab, “Benar ada. Sesungguhnya telah datang kepada kami seorang pemberi peringatan, tetapi kami mendustakan (nya) dan kami katakan: “Allâh tidak menurunkan sesuatupun,; kamu tidak lain hanyalah di dalam kesesatan yang besar”. [al-Mulk/67:8-9]
Allâh Azza wa Jalla juga berfirman :
وَهُمْ يَصْطَرِخُونَ فِيهَا رَبَّنَا أَخْرِجْنَا نَعْمَلْ صَالِحًا غَيْرَ الَّذِي كُنَّا نَعْمَلُ ۚ أَوَلَمْ نُعَمِّرْكُمْ مَا يَتَذَكَّرُ فِيهِ مَنْ تَذَكَّرَ وَجَاءَكُمُ النَّذِيرُ ۖ فَذُوقُوا فَمَا لِلظَّالِمِينَ مِنْ نَصِيرٍ
Dan mereka (orang-orang kafir) berteriak di dalam neraka itu : “Wahai Rabb kami, keluarkanlah kami niscaya kami akan mengerjakan amal yang shaleh, berbeda dengan apa yang telah kami kerjakan”. Dan apakah Kami (Allâh) tidak memanjangkan umurmu dalam masa yang cukup untuk berfikir bagi orang yang mau berfikir, dan (apakah tidak) datang kepada kamu pemberi peringatan ? Maka rasakanlah (adzab Kami) dan tidak ada seorang penolongpun bagi orang-orang yang zhalim. [Fâthir/35: 37].
Dan ayat-ayat lainnya yang menunjukkan bahwa Allâh Subhanahu wa Ta’ala tidak akan memasukkan seorangpun ke neraka kecuali setelah mengutus Rasul kepadanya”. [lihat Tafsir al-Qur’ânil ‘Azhîm]
Orang-orang yang hidup di zaman fatrah, ada yang sudah sampai kepadanya dakwah Rasul, ada yang belum. Bagi yang sudah, maka hukumnya jelas, sebagaimana point (1). Bangsa Arab secara umum, sudah sampai kepada mereka dahwah Rasul Allâh, seperti dakwah Nabi Ibrâhîm Alaihissallam dan Nabi Ismâ’îl Alaihissallam. Namun orang-orangnya secara individu tidak bisa ditetapkan sebagai penduduk neraka atau surga, kecuali yang telah dijelaskan oleh Nabi kita Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Di antara bangsa Arab yang hidup di zaman fatrah, ada yang sudah sampai kepadanya dakwah, lalu bertauhid, dan tidak berbuat syirik, maka dia pasti selamat. Seperti, Qais bin Sa’idah, Zaid bin ‘Amr Ibnu Nufail, Waraqah bin Naufal, dan lainnya yang disebutkan dalam nash-nash yang shahih bahwa mereka ini meninggal dalam keadaan bertauhid. Sedangkan orang-orang yang sudah sampai kepadanya dakwah, tetapi tidak bertauhid, bahkan berbuat syirik, maka mereka pasti celaka. Seperti ‘Amr bin Luhay al-Khuza’i, Abdullah bin Jud’an, pemilik tongkat bengkok yang mencuri barang-barang jama’ah haji, kedua orang tua Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam , dan lainnya yang telah diberitakan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits yang shahih. Kewajiban kita adalah mengimani hadits yang telah shahih dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam [2].
Mengenai orang-orang yang hidup di zaman fatrah yang belum sampai kepada mereka dakwah, para ulama berselisih pendapat tentang keadaan mereka di akhirat. Yang râjih –wallâhu a’lam– sebagaimana dinyatakan oleh para ulama peneliti, bahwa orang-orang ini akan diuji diakhirat. Disebutkan dalam sebuah hadits berikut ini: (hal. 12)
عَنِ اْلأَسْوَدِ بْنِ سَرِيعٍ أَنَّ نَبِيَّ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم قَالَ أَرْبَعَةٌ يَوْمَ الْقِيَامَةِ رَجُلٌ أَصَمُّ لاَ يَسْمَعُ شَيْئًا وَرَجُلٌ أَحْمَقُ وَرَجُلٌ هَرَمٌ وَرَجُلٌ مَاتَ فِي فَتْرَةٍ فَأَمَّا اْلأَصَمُّ فَيَقُولُ رَبِّ لَقَدْ جَاءَ اْلإِسْلاَمُ وَمَا أَسْمَعُ شَيْئًا وَأَمَّا اْلأَحْمَقُ فَيَقُولُ رَبِّ لَقَدْ جَاءَ اْلإِسْلاَمُ وَالصِّبْيَانُ يَحْذِفُونَنِي بِالْبَعْرِ وَأَمَّا الْهَرَمُ فَيَقُولُ رَبِّي لَقَدْ جَاءَ اْلإِسْلاَمُ وَمَا أَعْقِلُ شَيْئًا وَأَمَّا الَّذِي مَاتَ فِي الْفَتْرَةِ فَيَقُولُ رَبِّ مَا أَتَانِي لَكَ رَسُولٌ فَيَأْخُذُ مَوَاثِيقَهُمْ لَيُطِيعُنَّهُ فَيُرْسِلُ إِلَيْهِمْ أَنْ ادْخُلُوا النَّارَ قَالَ فَوَالَّذِي نَفْسُ مُحَمَّدٍ بِيَدِهِ لَوْ دَخَلُوهَا لَكَانَتْ عَلَيْهِمْ بَرْدًا وَسَلاَمًا وَفِيْ رِوَايَةٍ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ :فَمَنْ دَخَلَهَا كَانَتْ عَلَيْهِ بَرْدًا وَسَلاَمًا وَمَنْ لَمْ يَدْخُلْهَا يُسْحَبُ إِلَيْهَا
Dari Aswad bin Sari’, bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Pada hari kiamat ada empat orang yang akan mengadu kepada Allâh yaitu seorang yang tuli, tidak mendengar sesuatupun; seorang yang pandir; seorang yang pikun; dan seorang yang meninggal dunia di zaman fatrah.
Adapun orang yang tuli akan mengatakan, ‘Wahai Rabb, agama Islam telah datang, namun aku tidak mendengar sesuatupun.’
Orang yang pandir akan mengatakan, ‘Wahai Rabb, agama Islam telah datang, sedangkan anak-anak kecil melempariku dengan kotoran binatang”.
Orang yang pikun akan mengatakan: “Wahai Rabb, agama Islam telah datang, sementara aku dalam keadaan tidak berakal sedikitpun”.
Dan orang yang mati di zaman fatrah akan mengatakan: “Wahai Rabb, tidak ada seorang rasul pun yang datang kepadaku.’ Maka Allâh mengambil perjanjian mereka bahwa mereka benar-benar akan mentaatiNya. Kemudian Allâh mengutus utusan kepada mereka yang mengatakan, ‘Masuklah kalian ke dalam neraka!”. Nabi r bersabda: “Demi (Allah) Yang jiwa Muhamad berada di tanganNya, seandainya mereka memasukinya, sesungguhnya neraka itu menjadi sejuk dan selamat bagi mereka”.[3]
(Di dalam riwayat lain dari Abu Hurairah disebutkan: “Barangsiapa memasukinya, sesungguhnya neraka itu menjadi sejuk dan selamat baginya. Dan barangsiapa tidak memasukinya, dia diseret ke dalamnya”) [HR. Ahmad, no. 15866. Dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani di dalam Shahih al-Jami’ush Shaghir, no. 894]
Semoga jawaban singkat bermanfaat.
Wallahu a’lam bish shawwab.
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 04-05/Tahun XIV/1431H/2010M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196.Kontak Pemasaran 085290093792, 08121533647, 081575792961, Redaksi 08122589079]
________
Footnote
[1] Adillatu Mu’taqad Abi Hanifah al-A’zham fî Abawai ar-Rasûl n karya al Allâmah Ali bin Sulthân Muhammad al Qâri, tahqîq Syaikh Masyhûr bin Hasan bin Salmân , hlm. 10
[2] Adillatu Mu’taqad Abi Hanifah al-A’zham fî Abawai ar-Rasûl Shallallahu ‘alaihi wa sallam karya al Allâmah Ali bin Sulthân Muhammad al Qâri, tahqîq Syaikh Masyhûr bin Hasan bin Salmân , hlm. 11-12
[3] Adillatu Mu’taqad Abi Hanifah al-A’zham fî Abawai ar-Rasûl Shallallahu ‘alaihi wa sallam karya al Allâmah Ali bin Sulthân Muhammad al Qâri, tahqîq Syaikh Masyhûr bin Hasan bin Salmân , hlm. 12
**| republished by Lentera Kabah
Lentera Kabah
Tidak ada komentar