Pertanyaan:
Apakah benar wali Allah itu lebih utama dari para nabi dan rasul, dengan dalil bahwa Khidhir lebih utama dari Nabi Musa ‘alaihis salam?
Jawaban:
Keyakinan yang disebutkan di atas termasuk keyakinan yang bertentangan dengan akidah Islam. Akidah Islam yang benar adalah bahwa para nabi dan rasul lebih utama daripada hamba Allah Subhanahu wa Ta’ala yang shalih. Demikian juga, akidah yang benar adalah bahwa Nabi Musa ‘alaihis salam lebih utama dan lebih mulia daripada Khidhir. Hal ini dikuatkan oleh beberapa hal, di antaranya:
Musa adalah seorang nabi dan rasul utusan Allah, bahkan termasuk ulul ‘azmi dari para rasul, hal ini disepakati oleh semua ulama. Adapun Khidhir, maka masih diperselisihkan keberadaannya sebagai nabi ataukah bukan, kemudian telah disepakati oleh ulama bahwa Khidhir bukan termasuk rasul.
Nabi Musa memiliki banyak mukjizat yang tidak dimiliki oleh Khidhir, di antaranya yang terbesar adalah Allah Subhanahu wa Ta’ala menurunkan kitab Taurat kepada Nabi Musa. Cukuplah keutamaan Musa atas Khidhir dalam firman-Nya,
قَالَ يَا مُوسَى إِنِّي اصْطَفَيْتُكَ عَلَى النَّاسِ بِرِسَالاَتِي وَبِكَلاَمِي فَخُذْ مَا آتَيْتُكَ وَكُن مِّنَ الشَّاكِرِينَ
“Hai Musa, sesungguhnya Aku memilih (melebihkan) kamu dan manusia yang lain (di masamu) untuk membawa risalah-Ku dan untuk berbicara langsung dengan–Ku. Sebab itu, berpegang teguhlah kepada hal yang Aku berikan kepadamu, dan hendaklah kamu termasuk orang yang bersyukur.” (Qs. Al-A’raf: 144)
Apakah benar wali Allah itu lebih utama dari para nabi dan rasul, dengan dalil bahwa Khidhir lebih utama dari Nabi Musa ‘alaihis salam?
Jawaban:
Keyakinan yang disebutkan di atas termasuk keyakinan yang bertentangan dengan akidah Islam. Akidah Islam yang benar adalah bahwa para nabi dan rasul lebih utama daripada hamba Allah Subhanahu wa Ta’ala yang shalih. Demikian juga, akidah yang benar adalah bahwa Nabi Musa ‘alaihis salam lebih utama dan lebih mulia daripada Khidhir. Hal ini dikuatkan oleh beberapa hal, di antaranya:
Musa adalah seorang nabi dan rasul utusan Allah, bahkan termasuk ulul ‘azmi dari para rasul, hal ini disepakati oleh semua ulama. Adapun Khidhir, maka masih diperselisihkan keberadaannya sebagai nabi ataukah bukan, kemudian telah disepakati oleh ulama bahwa Khidhir bukan termasuk rasul.
Nabi Musa memiliki banyak mukjizat yang tidak dimiliki oleh Khidhir, di antaranya yang terbesar adalah Allah Subhanahu wa Ta’ala menurunkan kitab Taurat kepada Nabi Musa. Cukuplah keutamaan Musa atas Khidhir dalam firman-Nya,
قَالَ يَا مُوسَى إِنِّي اصْطَفَيْتُكَ عَلَى النَّاسِ بِرِسَالاَتِي وَبِكَلاَمِي فَخُذْ مَا آتَيْتُكَ وَكُن مِّنَ الشَّاكِرِينَ
“Hai Musa, sesungguhnya Aku memilih (melebihkan) kamu dan manusia yang lain (di masamu) untuk membawa risalah-Ku dan untuk berbicara langsung dengan–Ku. Sebab itu, berpegang teguhlah kepada hal yang Aku berikan kepadamu, dan hendaklah kamu termasuk orang yang bersyukur.” (Qs. Al-A’raf: 144)
Kisah Khidhir bersama Nabi Musa tidak dapat dijadikan dalil bahwa Khidhir lebih utama dan lebih mulia dari Nabi Musa, sebab kisah itu terjadi sebagai ujian Allah Subhanahu wa Ta’ala terhadap Nabi Musa, serta sebagai teguran Allah Subhanahu wa Ta’ala kepada Nabi Musa, tatkala dia mengatakan bahwa dirinyalah yang paling pandai di dunia ini (ketika ditanya siapakah manusia yang paling pandai di dunia ini).
Lalu, Allah Subhanahu wa Ta’ala mengujinya dengan mempertemukannya kepada Khidhir supaya Nabi Musa menyadari kisah yang sangat menarik ini, yang kisah ini terdapat dalam surat al-Kahfi: 60–82 dan dalam hadits riwayat Bukhari: 121, serta lihat pula keterangan kisah ini oleh al-Hafizh Ibnu Hajar dalam Fathul Bari: 1/287—293.
Dijawab oleh Ustadz Abu Ibrohim Muhammad Ali pada Majalah Al-Furqon, edisi 10, tahun ke-7, 1429 H/2008 M.
Lalu, Allah Subhanahu wa Ta’ala mengujinya dengan mempertemukannya kepada Khidhir supaya Nabi Musa menyadari kisah yang sangat menarik ini, yang kisah ini terdapat dalam surat al-Kahfi: 60–82 dan dalam hadits riwayat Bukhari: 121, serta lihat pula keterangan kisah ini oleh al-Hafizh Ibnu Hajar dalam Fathul Bari: 1/287—293.
Dijawab oleh Ustadz Abu Ibrohim Muhammad Ali pada Majalah Al-Furqon, edisi 10, tahun ke-7, 1429 H/2008 M.
**| republished by Lentera Kabah
Lentera Kabah
Tidak ada komentar