Tanyakan kepada para munafik yang busuk hatinya oleh virus kebencian terhadap Turki moderen yang perlahan tapi pasti menuju islamisasi total, apakah mereka mengerti akan hal berikut ini:
Ini ada tulisan menarik dari Ralph Peters, salah satu penulis dan analis strategis terkenal AS yang juga pensiunan militer AS. Ia "meratapi" gagalnya kudeta terhadap Erdogan yang ia sebut sebagai "the last hope to stop islamization" (harapan terakhir untuk menghentikan islamisasi) di Turki.
Keterusterangan Ralph Peters ini mungkin mewakili kalangan Barat yang hipokrit menyatakan dukungan pada kudeta itu (walau malu-malu, awalnya gembira melihat kudeta akan berhasil, kemudian terpaksa menentang kudeta setelah akhirnya kudeta itu gagal, seperti Obama dan pemimpin barat lainnya), sekaligus hal ini juga membuka tabir kebencian mereka pada Islam dan kebangkitannya. Pandangan barat ini juga diamini kalangan liberalis yang sedihnya dari kalangan muslim.
"Erdogan will use the coup as an excuse to accelerate the Islamization of his country and to lead Turkey deeper into the darkness engulfing the Muslim world. His vision is one of a neo-Ottoman megalomaniac," tulis Ralph Peters.
Berikut tulisan kolom Ralph Peters yang dipublis di Foxnews, 16 Juli 2016, setelah kudeta militer di Turki mengalami kegagalan. Dari judulnya saja si Ralph sudah meratap.
Oleh Ralph Peters
Kudeta gagal pada Jumat malam merupakan harapan terakhir Turki untuk menghentikan islamisasi pemerintahannya dan degradasi (penurunan) masyarakatnya. Secara reflektif, para pemimpin barat bersegera mengutuk sebuah percobaan kudeta yang mereka tolak untuk pahami. Hadiah mereka adalah sebuah rezim islamis beracun di pintu gerbang Eropa.
Para pemimpin kita tak lagi mengerjakan pekerjaan rumah dasar mereka. Media bergantung pada ahli-melalui-Wikipedia. Kecuali untuk urusan PC, sekolah-sekolah kita mengabaikan dunia dibalik pantai kita. Dibingungkan dengan informasi yang tak dapat diandalkan, warga tunduk pada takhayul baru era digital.
Jadi sebuah Negara hebat dihancurkan oleh seorang islamis garis keras didepan mata kita -dan presiden kita memuji “demokrasi” nya.
Kudeta yang gagal secara tragis ini adalah sebuah harapan terakhir, bukan sebuah percobaan untuk mengambil-alih sebuah Negara. Turki bukanlah sebuah banana republic dimana militernya mengambil-alih kekuasaan untuk keuntungannya sendiri. Selama hampir satu abad, Angkatan Bersenjata Turki telah menjadi penjaga dari konstitusi sekuler Negara tersebut. Yang terbaru, kudeta-kudeta di tahun 1960, 1971 dan 1980 (dengan tekanan “non-kudeta” pada 1997) menyaksikan militer mengintervensi demi mencegah keruntuhan Negara tersebut.
Setiap kali, militer mengembalikan pemerintahan pada kekuasaan sipil segera setelah itu terbukti praktis (mampu dilaksanakan). Pengalaman pertama saya di Turki terjadi segera setelah kudeta 1980. Turki hancur dan bangkrut. Ekonominya berada dikondisi yang penuh kekacauan hingga anda tak bisa membeli secangkir kopi di Istanbul. Saya berjalan kaki karena taksi dan transportasi massa tak punya bahan bakar. Kekerasan politik penuh pembunuhan tersebar luas. Secara enggan, para jendral melangkah masuk dan menyelamatkan Negara mereka.
Jumat malam, perwira kelas menengah memimpin sebuah usaha putus asa untuk menyelamatkan Negara mereka lagi. Mereka gagal. Barat bersuka cita. Segera, kita akan menyesal.
Para pemimpin kudeta membuat berbagai kesalahan yang luar biasa, yang terburuk adalah membayangkan bahwa ketiadaan presiden Erdogan dari Ankara, ibukota, memberikan kesempatan yang sempurna. Salah. Dalam sebuah kudeta, kuncinya adalah untuk menahan pemimpin yang ingin anda gulingkan (selain itu juga dengan mengendalikan media). Alih-alih terbang menuju pengasingan, Erdogan mampu kembali dalam kemenangan.
Jadi siapa pria yang presiden kita dukung karena ia “terpilih secara demokratis?” Recep Tayyip Erdogan islamis secara terbuka dan berafiliasi dengan Ikhwanul Muslimin, yang presiden Obama tampaknya percaya mewakili harapan terbaik bagi timur tengah. Tapi perbedaan antara ISIS, Al Qaeda dan Ikhwanul Muslimin tidaklah pada tujuan, tapi hanya pada cara: IM mencuci darah dari tangan mereka sebelum duduk di meja makan.
Ini ada tulisan menarik dari Ralph Peters, salah satu penulis dan analis strategis terkenal AS yang juga pensiunan militer AS. Ia "meratapi" gagalnya kudeta terhadap Erdogan yang ia sebut sebagai "the last hope to stop islamization" (harapan terakhir untuk menghentikan islamisasi) di Turki.
Keterusterangan Ralph Peters ini mungkin mewakili kalangan Barat yang hipokrit menyatakan dukungan pada kudeta itu (walau malu-malu, awalnya gembira melihat kudeta akan berhasil, kemudian terpaksa menentang kudeta setelah akhirnya kudeta itu gagal, seperti Obama dan pemimpin barat lainnya), sekaligus hal ini juga membuka tabir kebencian mereka pada Islam dan kebangkitannya. Pandangan barat ini juga diamini kalangan liberalis yang sedihnya dari kalangan muslim.
"Erdogan will use the coup as an excuse to accelerate the Islamization of his country and to lead Turkey deeper into the darkness engulfing the Muslim world. His vision is one of a neo-Ottoman megalomaniac," tulis Ralph Peters.
Berikut tulisan kolom Ralph Peters yang dipublis di Foxnews, 16 Juli 2016, setelah kudeta militer di Turki mengalami kegagalan. Dari judulnya saja si Ralph sudah meratap.
Turkey's last hope dies
(Harapan Terakhir Turki telah Tewas)
Oleh Ralph Peters
Kudeta gagal pada Jumat malam merupakan harapan terakhir Turki untuk menghentikan islamisasi pemerintahannya dan degradasi (penurunan) masyarakatnya. Secara reflektif, para pemimpin barat bersegera mengutuk sebuah percobaan kudeta yang mereka tolak untuk pahami. Hadiah mereka adalah sebuah rezim islamis beracun di pintu gerbang Eropa.
Para pemimpin kita tak lagi mengerjakan pekerjaan rumah dasar mereka. Media bergantung pada ahli-melalui-Wikipedia. Kecuali untuk urusan PC, sekolah-sekolah kita mengabaikan dunia dibalik pantai kita. Dibingungkan dengan informasi yang tak dapat diandalkan, warga tunduk pada takhayul baru era digital.
Jadi sebuah Negara hebat dihancurkan oleh seorang islamis garis keras didepan mata kita -dan presiden kita memuji “demokrasi” nya.
Kudeta yang gagal secara tragis ini adalah sebuah harapan terakhir, bukan sebuah percobaan untuk mengambil-alih sebuah Negara. Turki bukanlah sebuah banana republic dimana militernya mengambil-alih kekuasaan untuk keuntungannya sendiri. Selama hampir satu abad, Angkatan Bersenjata Turki telah menjadi penjaga dari konstitusi sekuler Negara tersebut. Yang terbaru, kudeta-kudeta di tahun 1960, 1971 dan 1980 (dengan tekanan “non-kudeta” pada 1997) menyaksikan militer mengintervensi demi mencegah keruntuhan Negara tersebut.
Setiap kali, militer mengembalikan pemerintahan pada kekuasaan sipil segera setelah itu terbukti praktis (mampu dilaksanakan). Pengalaman pertama saya di Turki terjadi segera setelah kudeta 1980. Turki hancur dan bangkrut. Ekonominya berada dikondisi yang penuh kekacauan hingga anda tak bisa membeli secangkir kopi di Istanbul. Saya berjalan kaki karena taksi dan transportasi massa tak punya bahan bakar. Kekerasan politik penuh pembunuhan tersebar luas. Secara enggan, para jendral melangkah masuk dan menyelamatkan Negara mereka.
Jumat malam, perwira kelas menengah memimpin sebuah usaha putus asa untuk menyelamatkan Negara mereka lagi. Mereka gagal. Barat bersuka cita. Segera, kita akan menyesal.
Para pemimpin kudeta membuat berbagai kesalahan yang luar biasa, yang terburuk adalah membayangkan bahwa ketiadaan presiden Erdogan dari Ankara, ibukota, memberikan kesempatan yang sempurna. Salah. Dalam sebuah kudeta, kuncinya adalah untuk menahan pemimpin yang ingin anda gulingkan (selain itu juga dengan mengendalikan media). Alih-alih terbang menuju pengasingan, Erdogan mampu kembali dalam kemenangan.
Jadi siapa pria yang presiden kita dukung karena ia “terpilih secara demokratis?” Recep Tayyip Erdogan islamis secara terbuka dan berafiliasi dengan Ikhwanul Muslimin, yang presiden Obama tampaknya percaya mewakili harapan terbaik bagi timur tengah. Tapi perbedaan antara ISIS, Al Qaeda dan Ikhwanul Muslimin tidaklah pada tujuan, tapi hanya pada cara: IM mencuci darah dari tangan mereka sebelum duduk di meja makan.
Dengan sebuah gumaman “Tut-tut!” dari para pemimpin barat, Erdogan telah melucuti konstitusi sekuler Turki (dimana militer terikat untuk melindunginya). “demokrasi”nya mewakili model putin, bukan kita. Tokoh-tokoh oposisi penting telah pergi ke pengasingan atau dilarang. Partai politik oposisi telah dilibas. Pemilu baru-baru ini tak lebih dari sandiwara. Dan Erdogan telah mengambil daging segar dari luka Kurdi, membuat perang sipil di tenggara Turki demi keuntungan politiknya sendiri.
Erdogan telah mengisi pengadilan Turki dengan islamis. Dia menunjuk jendral-jendral dan laksamana-laksamana yang pro-islamis dan tunduk, sementara mengadakan pengadilan boneka bagi siapa saja yang ingin ia singkirkan. Ia telah mengambil langkah de facto, jika bukan langkah de jure, untuk menghambat kebebasan perempuan. Dia melenyapkan tembok antara mesjid dengan Negara (Jumat malam, ia menggunakan loudspeaker di masjid-masjid untuk menyerukan pendukungnya turun ke jalan). Lalu, dia juga sejak lama telah memperbolehkan pejuang asing transit di Turki untuk bergabung dengan ISIS dan secara agresif telah membeking kelompok-kelompok ekstrimis lain yang ia percaya bisa diatur.
Dan pemerasan diplomatiknya telah mengurangi usaha militer kita sendiri melawan ISIS.
Itulah pria yang didukung presiden Obama.
Dan para pemimpin kudeta yang bernasib buruk ini? Apa yang mereka bela? Warisan Mustafa Kemal Ataturk dan sebuah konstitusi sekuler. Salah satu pria terhebat dari abad yang lalu, Ataturk (secara latar belakang merupakan jendral yang inovatif) menarik Turki dari reruntuhan perang dunia pertama, menghapuskan khilafah, memberangus kelompok-kelompok keagamaan yang fanatic, memberi perempuan hak dan perlindungan hukum, melarang jilbab, mempromosikan pendidikan sekuler untuk semua warga Negara Turki, dengan kuat mengadvokasikan westernisasi dan modernisasi… dan mempromosikan sebuah masa depan yang demokratis.
Para perwira yang memimpin kudeta yang runtuh ini membela semua hal tersebut. Presiden Obama dan menteri luar negeri Kerry melawan mereka.
Pada Sabtu pagi, sudah jelas bahwa para mullah dan preman dibelakang Erdogan telah menang. Erdogan akan menggunakan kudeta ini sebagai dalih untuk mempecepat islamisasi negaranya dan memimpin Turki lebih dalam menuju kegelapan yang menyelimuti dunia muslim. Visinya adalah sebuah megalomaniak neo-Ottoman.
NATO, yang beroperasi dengan konsensus, akan menemukan diri mereka mendukung sebuah ular beracun. Krisis baru akan bangkit kembali di Eropa tenggara, yang Negara-negara Eropa akan bantah secara abai, lebih lanjut melumpuhkan Uni Eropa yang sedang doyong. Suriah akan terus mengalami pendarahan. Dan orang-orang Turki yang terdidik dan sekuler akan mendapati diri mereka berada dalam situasi seperti para liberal Jerman di tahun 1930an. Kita mungkin menyaksikan perang yang baru dan tak terduga.
Sebuah kudeta yang direncanakan dengan buruk dan penuh keputusasaan telah gagal di Turki. Sekarang kegelapan telah datang.
(Sumber: http://www.foxnews.com/opinion/2016/07/16/turkeys-last-hope-dies.htm.html)
Hahaha... kasihan banget si Ralph meratapi kegagalan kudeta.
Model mereka yang "meratapi" dan "kecewa berat" dengan kegagalan kudeta ini bisa seperti model si Ralph ini, ada juga yang meluapkan kekecewaannya dengan berhalusinasi bahwa kudeta ini adalah dirancang sendiri oleh Erdogan, ada juga yang meluapkan kekecewaan dengan menyebut Erdogan otoriter, diktator, represif.
Di sini, media yang anti Islam terus membuat citra buruk Erdogan. Alih-alih mengutuk keras kudeta militer, malah menyalahkan Erdogan.
Mereka takut dengan Kebangkitan Islam. Sebuah Kebangkita Islam yang benar, yang pernah menguasai dunia. Dan itu yang sedang berlangsung di Turki dibawah kepemimpinan Erdogan.
Mereka inginnya umat Islam itu menjadi bangsa budak, SDA nya dikuasai asing, mayoritas tapi yang menguasai dan mengendalikan minoritas. Mereka maunya pemimpin abal-abal, pemimpin boneka, yang dikendalikan cukong, asing dan aseng.
Begitulah watak asli mereka yang sebagiannya mengaku orang Islam.
**| republished by Lentera Kabah
Lentera Kabah
Tidak ada komentar