Oleh
Ustadz Abu Isma’il Muslim al-Atsari
Apakah ada kubur yang dijadikan tuhan? Mungkin ini salah pertanyaan yang muncul dari pembaca ketika membaca judul tulisan ini. Karena setiap orang tahu, bahwa yang berhak diibadahi hanyalah Allâh Azza wa Jalla , adapun ibadah kepada selain Allâh Azza wa Jalla merupakan dosa besar yang paling besar. Semoga pertanyaan ini segera sirna, setelah menela’ah apa yang akan kami sampaikan di bawah ini.
ISYARAT NABI SHALLALLAHU ALAIHI WA SALLAM
Sesungguhnya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam sudah mengisyaratkan tentang penyembahan terhadap kubur di dalam banyak hadits shahih. Diantara hadits itu adalah:
عَنْ عَطَاءِ بْنِ يَسَارٍ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ اللَّهُمَّ لَا تَجْعَلْ قَبْرِي وَثَنًا يُعْبَدُ اشْتَدَّ غَضَبُ اللَّهِ عَلَى قَوْمٍ اتَّخَذُوا قُبُورَ أَنْبِيَائِهِمْ مَسَاجِدَ
Dari ‘Athâ’ bin Yasâr Radhiyallahu anhu, bahwa Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah berdoa, “Wahai Allâh! Janganlah Engkau jadikan kuburku sebagai berhala (tuhan yang disembah). Allâh sangat murka terhadap orang-orang yang menjadikan kubur-kubur para Nabi mereka sebagai masjid-masjid”. [HR. Mâlik dalam al-Muwaththa’, no. 376]
Hadits ini mursal (termasuk lemah), namun dikuatkan oleh hadits-hadits lain sehingga menjadi shahih. Oleh Karena itu, Syaikh al-Albâni rahimahullah menshahihkannya dalam kitab Tahdzîrus Sâjid, hlm. 18 dan 19.
Di antara hadits yang menguatkan adalah hadits berikut:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اللَّهُمَّ لَا تَجْعَلْ قَبْرِي وَثَنًا لَعَنَ اللَّهُ قَوْمًا اتَّخَذُوا قُبُورَ أَنْبِيَائِهِمْ مَسَاجِدَ
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam (Beliau pernah berdoa), “Wahai Allâh! Janganlah Engkau jadikan kuburku sebagai berhala (tuhan yang disembah). Allâh melaknat orang-orang yang menjadikan kubur-kubur para Nabi mereka sebagai masjid-masjid” [HR. Ahmad dalam kitab al-Musnad, 2/246]
Syaikh Dr. Shâlih bin Abdullah al-Fauzân –Salah Ulama anggota Majlis Fatwa Saudi- mengatakan, “Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam khawatir akan terjadi di kalangan umatnya apa yang telah terjadi pada orang-orang Yahudi dan Nashara terhadap kubur-kubur para Nabi mereka. Yaitu yang berupa sikap ghuluw (sikap melewati batas) terhadap kubur-kubur itu sehingga kubur-kubur itu menjadi berhala-berhala. Maka Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam memohon kepada Rabbnya agar tidak menjadikan kubur Beliau demikian itu. Kemudian Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengingatkan sebab kemurkaan dan laknat Allâh yang menimpa orang-orang Yahudi dan Nashara, yaitu apa yang telah mereka lakukan terhadap kubur-kubur para Nabi mereka, sehingga mereka merubahnya menjadi berhala-berhala yang disembah. Akhirnya, mereka terjerumus dalam perbuatan syirik yang besar yang bertentangan dengan tauhid.” [al-Mulakhkhas Fî Syarh Kitâb at-Tauhîd, hlm. 144-145]
MUSYRIKIN ARAB MENYEMBAH KUBUR
Sebelum Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam diutus, kaum musyrikin Arab menyembah kubur. Oleh karena itu, Allâh Azza wa Jalla mencela perbuatan orang-orang jahiliyah yang menyembah kepada selain Allâh dalam banyak tempat di dalam al-Qur’ân. Antara lain di dalam firman-Nya:
أَفَرَأَيْتُمُ اللَّاتَ وَالْعُزَّىٰ ﴿١٩﴾ وَمَنَاةَ الثَّالِثَةَ الْأُخْرَىٰ
Beritahukan kepadaku (hai orang-orang musyrik) tentang al-Lata dan al-Uzza, dan Manat yang ketiga, yang lain itu?[An-Najm/53: 19-20]
Makna ayat ini –sebagaimana dikatakan oleh Imam al-Qurthubi-, “Beritahukan kepadaku (hai orang-orang musyrik) tentang berhala-berhala ini, apakah dapat memberikan manfaat atau bahaya, sehingga mereka menjadi sekutu-sekutu bagi Allâh Subhanahu wa Ta’ala ?” [Fat-hul Majîd, hlm. 118, penerbit: Dar Ibni Hazm]
Ketiga nama ini adalah tuhan-tuhan yang disembah oleh orang-orang Arab jahiliyah.
Al-Lata adalah batu putih berukir yang padanya terdapat rumah yang bertirai dan ada penjaganya. Di sekitarnya terdapat lokasi tanah yang diagungkan oleh penduduk kota Thaif. [Lihat Tafsir Ibnu Katsir, surat an-Najm, ayat ke-19 dan ke-20]
Ada juga yang mengatakan bahwa al-Lâta adalah kubur seorang lelaki yang dahulu dianggap sebagai orang shalih. Imam al-Bukhâri meriwayatkan:
عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا فِي قَوْلِهِ اللَّاتَ وَالْعُزَّى كَانَ اللَّاتُ رَجُلًا يَلُتُّ سَوِيقَ الْحَاجِّ
Dari Ibnu Abbâs Radhiyallahu anhuma tentang firman Allâh Azza wa Jalla “al-Lâta dan al-Uzza” (An-Najm/53:19), beliau Radhiyallahu anhuma mengatakan, “Dahulu al-Lâta adalah seorang laki-laki yang membuat adonan tepung untuk orang yang berhaji”. [HR. Al-Bukhâri, no. 4859]
Sa’îd bin Manshûr rahimahullah meriwayatkan bahwa Ibnu Abbâs Radhiyallahu anhuma mengatakan, “(Lâta) dahulu adalah seorang laki-laki yang menjual tepung dan mentega di dekat sebuah batu besar, dan membuat adonan di atas batu besar itu. Ketika laki-laki itu mati, suku Tsaqif menyembah batu besar itu karena mengagungkan penjual tepung itu (yakni Latta).” [Fat-hul Majîd, hlm. 117]
Sa’îd bin Manshûr rahimahullah juga meriwayatkan bahwa Mujâhid rahimahulllah mengatakan, “(Lâta) dahulu adalah seorang laki-laki yang membuat adonan tepung untuk mereka (orang-orang jahiliyah), tatkala dia telah mati, mereka (orang-orang jahiliyah) semedi (tirakatan) pada kuburnya”.
Pada riwayat lain disebutkan, “Lalu dia (Lâta) memberi makan orang-orang yang lewat. Tatkala dia telah mati, mereka menyembahnya. Mereka mengatakan, “Itu adalah Lâta.” (Fat-hul Majîd, hlm. 222)
Dari keterangan di atas, ada dua pendapat tentang wujud Lâta. Ada yang mengatakan Lâta adalah sebuah batu, yang lain mengatakan itu adalah kubur. Namun pada hakekatnya kedua pendapat itu tidak berlawanan. Oleh karena itulah Syaikh Abdurrahman bin Hasan Alu Syaikh rahimahullah mengatakan, “Tidak ada kontradiksi antara dua pendapat itu, karena mereka menyembah batu dan kubur tersebut sebagai perbuatan ibadah dan pengangungan (kepada Lâta, orang yang mereka anggap shalih-pen). Dan karena alasan yang semisal ini, dibangun peninggalan-peninggalan (petilasan-petilasan) dan kubah-kubah di atas kubur-kubur, dan dijadikan sebagai berhala-berhala.” [Fat-hul Majîd, hlm. 117]
KENYATAAN DI ZAMAN INI
Barangsiapa mengamati keadaan orang-orang yang mengagungkan kubur orang-orang yang dianggap sebagai wali di zaman ini, maka dia akan mendapati berbagai bentuk kemusyrikan pada mereka. Diantara bentuk kemusyrikan itu adalah:
Anggapan mereka bahwa seorang wali yang sedang berada dalam kuburnya memiliki tindakan atau kekuasaan di alam ini. Seperti: memberi manfaat, menimpakan musibah, menyembuhkan penyakit, menghilangkan kesusahan, memenuhi permintaan dan hajat dan lain sebagainaya. Ini termasuk syirik dalam rubûbiyah Allâh Azza wa Jalla .
Perbuatan memohon pertolongan, kesembuhan, perlindungan, keberkahan, menyembelih binatang untuknya, berthawaf (mengelilinginya), berhaji (ziarah) kepadanya dan semacamnya. Ini termasuk syirik ulûhiyah.
Anggapan bahwa wali di kuburnya sebagai an-Nâfi adh-Dhâr (Yang mendatangkan manfaat dan Yang menolak musibah), al-Wahhâb (Yang Maha memberi), ar-Razzâq (Yang memberi rizqi), dan semacamnya yang termasuk syirik asma’ was sifat. (Diringkas secara bebas dari Kuburan Agung, hlm. 42-43, karya Syaikh Mamduh Farhan Al-Buhairi, penerbit: Darul Haq, Jakarta)
Orang-orang yang mengagungkan kubur itu melewati beberapa fase sampai mereka menyembahnya. Fase-fase itu antara lain:
Taqdîs (mengkultuskan) orang yang di kubur
Menjadikan penghuni kubur sebagai wasîlah (perantara) kepada Allâh
Meyakini keberkahan kubur
Istighotsah dan memohon hajat
Menjadikan kubur sebagai berhala (tuhan yang disembah)
Dan menjadikan kubur sebagai tempat yang diziarahi. (Diringkas dari Kuburan Agung, hlm. 35-37)
Di sini kami nukilkan sebagian kenyataan pada umat ini yang menunjukkan jauhnya sebagian orang yang mengaku beragama Islam dari ajaran Islam.
Di Ma’an, Yordania, ada kuburan khusus yang dianggap menyembuhkan penyakit wanita!
Di Thontho, Mesir, ada kuburan khusus yang dianggap menyembuhkan kemandulan, penyakit anak-anak, dan rematik!
Pada waktu negeri Syam diserbu bangsa Tartar, para penyembah kubur keluar meminta tolong kepada kuburan!
Ketika pasukan Rusia menyerbu kota Bukhara, manusia berhamburan beristighatsah (meminta dihilangkan musibah) kepada kuburan Syah Naqsaband!
Di Fayyum, Mesir, para penyembah kubur mengklaim bahwa yang menyelamatkan kota dari kehancuran selama perang dunia kedua adalah wali Ar-Rubi, berkat pertolongannya arah bom dipindahkan ke laut Yusuf! (Diringkas dari “Kuburan Agung”, hlm: 32-33)
Di Pulau Jawa khususnya, banyak orang yang meminta berkah ke kuburan para wali songo!
Selain itu, masih banyak di berbagai tempat orang-orang mengagungkan kubur-kubur secara berlebihan, dan mengangkat kubur-kubur itu sebagai sekutu-sekutu bagi Allâh. Maha Suci Allâh dari kemusyrikan mereka. Semoga Allâh Azza wa Jalla memberikan bimbingan-Nya kita dan kaum Muslimin menuju apa yang Dia cintai dan ridhai. Amîn
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 12/Tahun XVIII/1436H/2015M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196.Kontak Pemasaran 085290093792, 08121533647, 081575792961, Redaksi 08122589079 ]
**| republished by Lentera Kabah
Lentera Kabah
Tidak ada komentar