Bismillah was shalatu was salamu ‘ala rasulillah, amma ba’du,
Empat prinsip penting dalam belajar yang ditekankan para ulama adalah
Pertama, bertahap, artinya dimulai dari dasar, sesuai dengan tingkatan kemampuan.
Para ulama menyebutnya belajar ta’shili, belajar dari dasar dan menguatkan pondasi keilmuan dasar. Ada satu kaidah yang diajarkan para ulama,
من لم يتقن الأصول حرم الوصول
”Siapa yang tidak menguasai materi-materi pokok (prinsip/dasar), dia tidak akan sampai pada hasil.”
Kedua, sedikit demi sedikit, dan tidak dipelajari dengan sistem borongan
Semua orang sepakat, kemampuan otak manusia sangat terbatas. Secerdas apapun manusia, dia tidak mungkin bisa mencerna setiap informasi yang pernah dia indera. Hanya ada beberapa yang bisa dia cerna dan mengendap dalam memorinya. Sisanya melayang hilang. Karena itu, agar ilmu yang masuk ke dalam qolbi menjadi ilmu yang mengendap, para ulama sangat menekankan agar belajar dilakukan secara konsisten sedikit demi sedikit. Jika langsung banyak, maka banyak pula yang terlupakan.
Para ulama menasehatkan,
من رام العلم جملة ذهب عنه جملة
“Siapa yang mencari ilmu borongan maka akan hilang darinya ilmu itu secara borongan.”
Dr. Usamah as-Shaffar bercerita,
Para ahli bahasa menyebutkan bahwa dulu banyak orang belajar kepada Khalil bin Ahmad al-Farahidi, seorang pakar bahasa arab, kedokteran, ilmu nujum, dan faraidh di zaman Tabi’ Tabiin (w. 170 H).
Suatu ketika, datang seseorang bersama anaknya. Diapun menghadap kepada Imam Khalil,
”Wahai Syaikh, saya datang dari jauh. Ajarilah anakku sedikit tentang ilmu nujum, nahwu, kedokteran, dan ilmu faraid dalam fiqih.”
Beliaupun menyampaikan kepada si anak,
اعلم أنَّ الثريا في وسط السماء، وأنَّ الفاعل مرفوع، وأنَّ الأهليلج دافع للصفراء، وإن مات أحد وترك ابنين؛ فالمال بينهما سواء
”Pahami, bahwa bintang tsuraya berada di tengah-tengah langit, bahwa fail itu marfu’, buah ihlilaj bisa untuk menyembuhkan penyakit kuning, dan jika ada orang yang mati dan dia hanya punya dua anak lelaki maka warisan dibagi dua dengan pembagian sama.”
Bintang tsuraya berada di tengah-tengah langit: mewakili ilmu nujum
Fail itu marfu’: mewakili ilmu nahwu
Buah ihlilaj bisa untuk menyembuhkan penyakit kuning: mewakili kedokteran
Warisan dibagi dua dengan pembagian sama: mewakili ilmu faraid
Kisah ini menggambarkan bahwa ilmu tidak mungkin dipelajari secara borongan. Sekalipun orang ini ingin agar anaknya diberi banyak ilmu, Imam Khalil hanya memberinya satu-satu.
Ketiga, Istiqamah, dilakukan secara langgeng, terus-menerus dan tidak berhenti di tengah jalan.
Istiqamah merupakan syarat untuk bisa sukses. Tidak hanya dalam belajar, termasuk dalam mencari semua urusan dunia dan akhirat. Putus di tengah jalan, lambang bahwa dia mengalami kegagalan.
Keempat, Serius
Jangan jadikan belajar sebagai kegiatan sampingan yang kurang mendapat perhatian. Yang penting datang kajian, paham dan tidak paham, itu bukan urusan. Prinsip semacam ini bahaya. Bisa jadi, kita hanya akan menghabiskan waktu untuk pengajian, tapi tidak ada pengaruh yang berarti. Karena itu, belajar harus serius, meskipun hanya menyita beberapa jam dari waktu kita. Anda hanya sempat 3 jam tiap pekan, seriuskan dua jam untuk menambah materi baru, dan 1 jam untuk mengulang materi yang telah dipelajari. Karena ilmu tidak bisa dicapai dengan cara santai. Belajar di atas kasur berteman bantal, gak peduli mau nyantol atau tidak, yang penting sudah baca. Ini bisa jadi akan sia-sia.
Yahya bin Abi Katsir mengatakan,
لا يستطاع العلم براحة الجسم
”Ilmu tidak akan bisa dicapai dengan cara santai.”
Ilmu yang akan kita peroleh, sepadan dengan perjuangan dan kesungguhan yang kita lakukan.
Bahasa Arab adalah Kunci Khazanah Islam
Allah ta’ala menurunkan al-Quran berbahasa arab. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyampaikan hadis dengan bahasa arab. Para sahabat menjelaskan tafsir al-Quran dan hadis juga menggunakan bahasa arab. Para ulama generasi setelahnya, mereka menulis berbagai karya untuk semua disiplin ilmu, juga berbahasa arab. Artinya, dua sumber syariat dalam islam, keduanya berbahasa arab, dan penjelasannya pun berbahasa arab. Bahasa arab menjadi bahasa komunikasi semua disiplin ilmu dalam islam.
Karena itu, benarlah kata Imam as-Syafii, siapa yang mengusai bahasa arab dengan benar, dia akan dimudahkan untuk meraup ilmu-ilmu syariat lainnya. Beliau mengatakan,
من تبَحَرَّ فى النحو اهتدى إلى كل العلوم
”Siapa yang menguasai nahwu, dia dimudahkan untuk mendapatkan semua ilmu.”
Beliau juga mengatakan,
لا أُسأَلُ عن مسألةٍ من مسائل الفقهِ إلا أجَبْتُ عنها من قواعدِ النحو
”Setiap kali saya ditanya tentang suatu masalah fiqih, maka pasti saya akan jawab dengan melibatkan kaidah nahwu.”
Kurang apa lagi motivasi bagi kita untuk mempelajari bahasa arab. Sementara kita sangat yakin, bahasa arab merupakan kunci sukses bagi orang yang hendak menyelami khazanah ilmu islam.
Mengandalkan Terjemahan?
Anda bisa bayangkan, dari jutaan buku yang ditulis para ulama, berapa persen yang sudah diterjemahkan ke dalam bahasa indonesia?
Akan sangat sulit untuk bisa menghitungnya. Namun yang jelas, jumlah buku yang sudah diterjemahkan, terlalu sedikit dibandingkan yang belum diterjemahkan. Jika kita hanya mengandalkan buku terjemahan, ada beberapa kekurangan yang anda dapatkan, diantaranya,
Buku yang diterjemahkan sangat sedikit sekali
Membaca terjemahan tidak sama dengan membaca buku aslinya. Ada banyak unsur ‘rasa’ yang berbeda dengan membaca tulisan aslinya.
Buku terjemahan sejatinya merupakan ungkapan pihak ketiga (penerjemah). Ungkapan ini bisa jadi mewakili dan bisa jadi tidak mewakili.
Nasehat ini sama sekali bukan dalam rangka menihilkan manfaat buku terjemahan. Namun ini hanya pertimbangan, agar kita tidak terlalu bergantung pada buku terjemahan selagi memungkinkan untuk belajar bahasa arab. Sekali lagi, selagi kita masih ada kesempatan untuk belajar bahasa arab, jangan sampai kita sia-siakan.
Allahu a’lam
Ditulis oleh Ustadz Ammi Nur Baits
**| republished by Lentera Kabah
Lentera Kabah
Tidak ada komentar