Bismillah, was shalatu was salamu ‘alaa rasulillah
Pergaulan bebas yang semakin liar, telah menjadi musibah terbesar di masyarakat kita. Lebih-lebih ketika lembaga berwenang di tempat Indonesia melegalkan pernikahan antara wanita hamil dengan lelaki yang menghamilinya di luar nikah. Keputusan ini membuka peluang besar bagi para pemuja syahwat untuk menyalurkan hasrat binatangnya atas nama ‘cinta’, ya cinta. Zina dilakukan atas prinsip mau sama mau, suka sama suka, sehingga tidak ada pihak –secara ‘hukum’ masyarakat– yang berada pada posisi dirugikan.
Bagi lelaki, adanya aturan semacam itu merupakan kesempatan besar untuk menyalurkan nafsu binatangnya. Tinggal pihak wanitanya, apakah dia rela membuka pintu ataukah tidak. Ingat, karena tidak ada unsur paksaan di sana. Sehingga, kuncinya ada pada pemilik pintu. Karena itulah, ketika Allah menjelaskan hukum bagi para pezina, Allah mendahulukan penyebutan zaniyah (pezina wanita). Allah berfirman,
الزَّانِيَةُ وَالزَّانِي فَاجْلِدُوا كُلَّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا مِائَةَ جَلْدَةٍ وَلَا تَأْخُذْكُمْ بِهِمَا رَأْفَةٌ فِي دِينِ اللَّهِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ وَلْيَشْهَدْ عَذَابَهُمَا طَائِفَةٌ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ
“Perempuan pezina dan laki-laki pezina, cambuklah masing-masing dari keduanya seratus kali pukulan, dan janganlah belas kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk (menjalankan) agama Allah, jika kamu beriman kepada Allah, dan hari akhirat, dan hendaklah (pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan oleh sekumpulan orang-orang yang beriman.” (QS. An-Nur: 2)
Al-Qurthubi mengatakan, “Kata “zaniyah” (wanita pezina) lebih didahulukan dalam ayat di atas karena aib perzina itu lebih melekat pada diri wanita. Mengingat mereka seharusnya lebih tertutup dan berusaha menjaga diri, maka para wanita pezina disebutkan lebih awal sebagai bentuk peringatan keras dan perhatian besar bagi mereka.” (Al-Jami’ Li Ahkam Al-Quran, 12: 160)
Karena itu, wahai para wanita mukminah, wahai para wanita yang memiliki mahkota rasa malu, wahai para pemegang kunci syahwat, peluang terjadinya zina ada di tangan kalian. Janganlah menjadi wanita murahan, yang mudah menyerahkan kunci itu. Kita semua yakin, zina tidak mungkin terjadi sepanjang Anda tidak merelakan kunci itu jatuh ke tangan lelaki buaya. Mereka tidak akan berani merebut paksa kunci itu, sebelum Anda menyerahkannya. Karena semua lelaki tidak ingin disebut sebagai pemerkosa.
Selanjutnya, coba Anda pahami beberapa hukum fikih berikut, semoga ini membuat Anda semakin merinding dan takut untuk membuka peluang kesempatan bagi lelaki untuk melampiaskan nafsu birahinya.
Pertama, anak hasil zina (anak di luar nikah) tidak dinasabkan ke bapak biologis.
Anak zina pada asalnya dinasabkan kepada ibunya sebagaimana anak mula’anah dinasabkan kepada ibunya. Sebab keduanya sama-sama terputus nasabnya dari sisi bapaknya (lihat Al Mughni: 9:123).
Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam menyatakan tentang anak zina,
ولد زنا لأهل أمه من كانوا حرة أو أمة
“Untuk keluarga ibunya yang masih ada, baik dia wanita merdeka maupun budak.”
(HR. Abu Dawud, kitab Ath-Thalaq, Bab Fi Iddi’a` Walad Az-Zina no.2268 dan dinilai hasan oleh Syaikh Al-Albani dalam Shahih Sunan Abu Dawud no.1983)
Dalam riwayat yang lain, dari Ibnu Abbas, dinyatakan,
ومن ادعى ولدا من غير رشدة فلا يرث ولا يورث
“Siapa yang mengklaim anak dari hasil di luar nikah yang sah, maka dia tidak mewarisi anak biologis dan tidak mendapatkan warisan darinya.” (HR. Abu Dawud, kitab Ath-Thalaq, Bab Fi Iddi’a` Walad Az-Zina no. 2266)
Dalil lain yang menegaskan hal itu adalah hadis Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dari Abdullah bin Amr bin Ash, beliau mengatakan,
قَضَى النبي صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّ مَنْ كَانَ مِنْ أَمَةٍ لَمْ يَمْلِكْهَا ، أَوْ مِنْ حُرَّةٍ عَاهَرَ بِهَا فَإِنَّهُ لا يَلْحَقُ بِهِ وَلا يَرِثُ
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memberi keputusan bahwa anak dari hasil hubungan dengan budak yang tidak dia miliki, atau hasil zina dengan wanita merdeka TIDAK dinasabkan ke bapak biologisnya dan tidak mewarisinya… (HR. Ahmad, Abu Daud, dihasankan Al-Albani serta Syuaib Al-Arnauth).
Dalil lainnya adalah hadis dari Aisyah radhiallahu ’anha, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
الولد للفراش وللعاهر الحجر
“Anak itu menjadi hak pemilik firasy, dan bagi pezina dia mendapatkan kerugian.”
Imam An-Nawawi mengatakan, “Ketika seorang wanita menikah dengan lelaki atau seorang budak wanita menjadi pasangan seorang lelaki, maka wanita tersebut menjadi firasy bagi si lelaki. Selanjutnya lelaki ini disebut “pemilik firays”. Selama sang wanita menjadi firasy lelaki, maka setiap anak yang terlahir dari wanita tersebut adalah anaknya. Meskipun bisa jadi, ada anak yang tercipta dari hasil yang dilakukan istri selingkuh laki-laki lain. Sedangkan laki-laki selingkuhannya hanya mendapatkan kerugian, artinya tidak memiliki hak sedikit pun dengan anak hasil perbuatan zinanya dengan istri orang lain.” (Syarh Shahih Muslim, An-Nawawi, 10:37)
Berdasarkan keterangan di atas, para ulama menyimpulkan bahwa anak hasil zina SAMA SEKALI bukan anak bapaknya. Karena itu, tidak boleh di-bin-kan ke bapaknya.
Bagaimana Jika Di-bin-kan ke Bapaknya?
Hukumnya terlarang bahkan dosa besar. Ini berdasarkan hadis dari Sa’d, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
من ادعى إلى غير أبيه وهو يعلم أنه غير أبيه فالجنة عليه حرام
“Siapa yang mengaku anak seseorang, sementara dia tahu bahwa itu bukan bapaknya maka surga haram untuknya.” (HR. Bukhari no. 6385)
Karena bapak biologis bukan bapaknya maka haram hukumnya anak itu di-bin-kan ke bapaknya. Lantas kepada siapa dia di-bin-kan?
Mengingat anak ini tidak punya bapak yang ‘legal’, maka dia di-bin-kan ke ibunya. Sebagaimana Nabi Isa ‘alaihis salam, yang dengan kuasa Allah, dia diciptakan tanpa ayah. Karena beliau tidak memiliki bapak, maka beliau di-bin-kan kepada ibunya, sebagaimana dalam banyak ayat, Allah menyebut beliau dengan Isa bin Maryam.
Kedua, tidak ada hubungan saling mewarisi.
Tidak ada hubungan saling mewarisi antara bapak biologis dengan anak hasil zina. Karena sebagaimana ditegaskan sebelumnya, bapak biologis bukan bapaknya. Memaksakan diri untuk meminta warisan, statusnya merampas harta yang bukan haknya. Bahkan hal ini telah ditegaskan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, sebagaimana disebutkan dalam beberapa hadis, di antaranya:
Abdullah bin Amr bin Ash mengatakan, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memberi keputusan bahwa anak dari hasil hubungan dengan budak yang tidak dia miliki, atau hasil zina dengan wanita merdeka TIDAK dinasabkan ke bapak biologisnya dan tidak mewarisinya… (HR. Ahmad, Abu Daud, dihasankan Al-Albani serta Syuaib Al-Arnauth).
Jika bapak biologis ingin memberikan bagian hartanya kepada anak biologisnya, ini bisa dilakukan melalui wasiat. Si Bapak bisa menuliskan wasiat, bahwa si A (anak biologisnya) diberi jatah sekian dari total hartanya setelah si Bapak meninggal. Karena wasiat boleh diberikan kepada selain ahli waris.
Ketiga, siapakah wali nikahnya?
Tidak ada wali nikah, kecuali dari jalur laki-laki. Anak perempuan dari hasil hubungan zina tidak memiliki bapak. Bapak biologis bukanlah bapaknya. Dengan demikian, dia memliki hubungan kekeluargaan dari pihak bapak biologis. Bapak biologis, kakek, maupun paman dari bapak biologis, tidak berhak menjadi wali. Karena mereka bukan paman maupun kakeknya. Lalu siapakah wali nikahnya? Orang yang mungkin bisa menjadi wali nikahnya adalah
a. Anak laki-laki ke bawah, jika dia janda yang sudah memiliki anak.
b. Hakim (pejabat resmi KUA).
Allahu a’lam
Ditulis oleh Ustadz Ammi Nur Baits
**| republished by Lentera Kabah
Lentera Kabah
Tidak ada komentar