Jawabannya sangat mudah, bisa dirangkum dalam poin-poin berikut ini:
Pertama: Para ulama sudah ijma’ (sepakat) dalam masalah haramnya mengambil pemimpin kafir, sebagaimana dinukil oleh Imam Nawawi dan para ulama lainnya –rohimahumulloh-.
Dan ijma’ mereka adalah hujjah (dalil) bagi kita semua sebagai kaum muslimin yang hidup di zaman akhir ini, karena Nabi shallallahu alaihi wasallam telah bersabda: “umatku tidak akan ber-ijma’ dalam kesesatan“. Ini menunjukkan bahwa ijma’ umat ini adalah kebenaran yang harus diambil dan tidak boleh diselisihi.
Jika demikian, sebenarnya masalah haramnya mengambil pemimpin kafir, tidak perlu dibahas lagi atau diganggu-gugat, karena kebenaran dalam masalah ini sudah Allah tunjukkan melalui ijma’ para ulama dalam masalah ini.
Kedua: Para ulama ahli tafsir dan ahli ushul fikih telah mengemukakan kaidah baku yang sangat masyhur. Bahwa “yang menjadi standar sebuah nash adalah keumuman lafalnya, bukan kekhususan sabab (nuzul/wurud)-nya“.
Maksud dari kaidah ini, bahwa setiap nash yang datang dari Al Qur’an maupun Hadits, pada asalnya berlaku umum, tidak hanya berlaku pada kasus yang menjadi sebab nash itu datang atau diturunkan.
Contoh sederhananya adalah nash yang diturunkan karena meninggalnya para syuhada di perang uhud, juga berlaku untuk para syuhada di peperangan lainnya. Dan kita tidak boleh mengkhususkan nash tersebut untuk para syuhada uhud, selama nashnya bermakna umum.
Sehingga asbabun nuzul sebuah ayat atau asbabul wurud sebuah hadits, itu sebenarnya hanya untuk penjelas dan penguat sebuah hukum yang menyertainya saja, tidak bisa digunakan untuk mengkhususkan hukum nash tertentu dalam kasus itu saja.
Jadi, apapun sebab turunnya ayat tersebut, tetap saja ayat itu berlaku umum, karena redaksi ayat itu adalah redaksi yg umum. Berlaku kapan pun dan dimana pun. Beginilah para ulama kaum muslimin memuliakan Alquran dan Hadits Nabi shallallahu alaihi wasallam.
Ketiga: Apapun makna yg digunakan untuk redaksi “awliya‘”, tetap saja bisa menjadi dalil tentang haramnya mengambil pemimpin kafir bagi kaum muslimin.
Jika “awliya‘” dalam ayat itu bermakna pemimpin, dan inilah yang sesuai dengan pemahaman Amirul Mukminin Umar bin Khottob –rodhiallohu anhu-, maka sudah sangat jelas bahwa ayat itu menegaskan tentang haramnya memilih pemimpin yang kafir.
Jika “awliya‘” dalam ayat itu bermakna: teman akrab, atau sekutu, atau pelindung, dst.. maka petunjuk ayat ini dalam mengharamkan tindakan mengambil pemimpin kafir lebih kuat lagi. Karena jika mengambil teman akrab, atau sekutu, atau pelindung saja Allah haramkan, apalagi menjadikan mereka pemimpin, tentu larangannya menjadi lebih keras lagi. Karena menjadikan seseorang pemimpin lebih dahsyat pengaruh buruknya bagi kaum muslimin daripada hanya menjadikannya sebagai teman akrab, atau sekutu, atau pelindung. Inilah illat-nya (inti masalahnya), dan hukum itu harus selalu berjalan seiring dengan illat-nya.
Keempat: Perkataan Ibnu Taimiyah –rohimahulloh– yg menyatakan bahwa “Allah akan menolong negara yang adil meski ia kafir dan tidak akan menolong negara yang zalim, meski ia mukmin“, bukan berarti beliau membolehkan memilih pemimpin kafir. Karena konteks perkataan beliau itu hanya berkenaan tentang pengaruh baik keadilan dan pengaruh buruk kezaliman dalam sebuah negara, bukan dalam konteks boleh tidaknya memilih pemimpin kafir.
Jadi, perkataan “keadilan bisa memakmurkan negara“, tidak otomatis bermakna “boleh memilih pemimpin kafir yang adil“. Karena dua masalah ini sangat berbeda dan harusnya dibedakan. Oleh karena itulah, Ibnu Taimiyah di tempat lain dengan jelas mengharamkan memilih pemimpin yang kafir.
Kelima: Penulis ingin menegaskan di sini, bahwa jika ada orang yg mengatakan “ada lebih dari SERATUS AYAT yg menunjukkan larangan memilih orang kafir sebagai pemimpin”, maka dia tidaklah salah.
Karena disamping ayat-ayat yang mengharamkan mengambil awliya‘ dari orang kafir, ada ayat-ayat yang mencela kekafiran, kemunafikan, kemaksiatan, kezaliman, berhukum dengan selain hukum Allah, dan keburukan-keburukan lainnya, dan itu semua bisa digunakan untuk mengharamkan tindakan memilih pemimpin yang kafir. Karena sebagaimana dikatakan oleh para ulama: “tidak ada dosa yg lebih besar dari kekufuran“, bagaimana orang yang demikian dijadikan pemimpin kaum muslimin?! dan kita tahu ayat yg menjelaskan hal itu semua mencapai jumlah ratusan, wallohu a’lam.
Sekian, semoga bermanfaat bagi kita semua, amin.
***
Penulis: Ust. Musyaffa Ad Darini, Lc., MA.
**| republished by Lentera Kabah
Lentera Kabah
Tidak ada komentar