Oleh: Wardatus Sholihah
Setelah FIFA mencabut “punishment” bagi PSSI, euphoria liga-liga-an kembali mencuat. Buntutnya, tidak hanya berhenti pada euphoria kemenangan kelompok tertentu. Tapi hingga jatuh korban luka. Padahal liga yang dipertandingkan belumlah usai, tapi korban sudah berjatuhan.
Jika kita mau berfikir sedikit mendalam, sebenarnya fungsi olahraga adalah untuk menyehatkan tubuh. Karena secara asasi, tubuh yang dikaruniakan Allah memiliki banyak kebutuhan. Diantaranya olahraga. Hanya saja, karena kita hidup di era kapitalis, fungsi olahraga sebagai penyehat tubuh sudah bergeser jauh. Sepak bola bukan lagi sekedar olahraga atau hobi. Tapi jadi ajang bisnis, ajang taruhan, hingga ajang permusuhan antar supporter yang berbuntut tawuran.
Sepak bola memiliki sihir kuat yang membuat para pemuda kuat bangun setengah malam melotot di depan TV dari pada i’tikaf di masjid. Sepak bola bak acara yang paling sacral sampai channel-channel televisipun menayangkan secara live, presiden memberikan penghargaan khusus berupa Presiden Cup.
Negara memfasilitasi dan menggaji Timnas beserta pelatihnya dari uang pajak. Perusahaan kopi, rokok, airlines, sepatu olahraga dll berebut untuk menjadi sponsor.Bahkan pemain sepak bola dipuja, diekspos kehidupan pribadinya hingga para supporter lebih mengenal bintang bola pujaan dari pada Rasulullah Muhammad.Yel-yel dan “lagu kebangsaan” tim kesayangan lebih mereka hafal dari Juz amma. Bahkan para supporter rela berkelahi menyerahkan raga demi membela tim kesayanggannya.
Padahal, semakin banyaknya tayangan bola tidak berkorelasi positif dengan meningkatnya taraf kesehatan rakyat, yang berimbas pada berkurangnya anggaran APBN untuk kesehatan.
Padahal seharusnya tujuan dari olahraga adalah meningkatnya kesehatan dan kebugaran fisik. Dan semakin meningkatnya prestasi sepak bola tanah air juga tidak memberikan efek positif pada meningkatnya posisi politik Indonesia di mata dunia. Masih teringat jelas di benak kita, beberapa tahun yang lalu saat Indonesia memenangkan Piala AFC melawan Malaysia. Hal itu tidak membuat Indonesia lebih kaya dari Malaysia.
Tidak juga membuat prestise Indonesia di mata dunia berada di atas Malaysia.
Mungkin sudah seharusnya Negara kita lebih memfokuskan potensi pemuda Indonesia kepada hal-hal yang dapat membangkitkan negeri ini. Terutama di bulan Ramadhan, dimana seharusnya menjadi momentum yang tepat untuk re-empowering para pemuda dalam meningkatkan keimanan, ketaqwaan & produktifitas.
Dahulu di Perang Uhud, ada banyak sekali pemuda yang masih belum terkategori baligh memaksa ikut perang dan dipulangkan oleh Rasulullah sampai-sampai mereka menangis karena sedih tidak bisa berkontribusi bagi agama.
Apa hal gerangan yang membuat para pemuda ini tak takut mati demi agamanya? Tentulah keimanan yang tinggi yang mampu merendahkan kenikmatan dunia. Dan kecintaan yang besar terhadap surge dan ridha Allah sehingga mampu mengecilkan kenikmatan dunia, termasuk serunya bermain yang lazimnya dimiliki di usia mereka.
Namun sayangnya, peran Negara dalam meningkatkan keimanan dan ketaqwaan pemuda kita masih sangat minim. Hal ini jauh bahkan luput dari perhatian negara. Sehingga Negara lebih memperhatikan sepak bola, balapaan F1 dari pada gerakan pemuda kembali ke masjid misalnya. Atau dukungan terhadap komunitas-komunitas dakwah untuk remaja. Seringnya, remaja yang rajin mendakwahi sesama demi meningkatnya keumanan dan ketaqwaan generasi malah dicap teroris. Semoga kedepannya, pemerintah dan masyarakat bisa lebih berperan aktif dalam membangu generasi yang beriman dan bertaqwa.*
Setelah FIFA mencabut “punishment” bagi PSSI, euphoria liga-liga-an kembali mencuat. Buntutnya, tidak hanya berhenti pada euphoria kemenangan kelompok tertentu. Tapi hingga jatuh korban luka. Padahal liga yang dipertandingkan belumlah usai, tapi korban sudah berjatuhan.
Jika kita mau berfikir sedikit mendalam, sebenarnya fungsi olahraga adalah untuk menyehatkan tubuh. Karena secara asasi, tubuh yang dikaruniakan Allah memiliki banyak kebutuhan. Diantaranya olahraga. Hanya saja, karena kita hidup di era kapitalis, fungsi olahraga sebagai penyehat tubuh sudah bergeser jauh. Sepak bola bukan lagi sekedar olahraga atau hobi. Tapi jadi ajang bisnis, ajang taruhan, hingga ajang permusuhan antar supporter yang berbuntut tawuran.
Sepak bola memiliki sihir kuat yang membuat para pemuda kuat bangun setengah malam melotot di depan TV dari pada i’tikaf di masjid. Sepak bola bak acara yang paling sacral sampai channel-channel televisipun menayangkan secara live, presiden memberikan penghargaan khusus berupa Presiden Cup.
Negara memfasilitasi dan menggaji Timnas beserta pelatihnya dari uang pajak. Perusahaan kopi, rokok, airlines, sepatu olahraga dll berebut untuk menjadi sponsor.Bahkan pemain sepak bola dipuja, diekspos kehidupan pribadinya hingga para supporter lebih mengenal bintang bola pujaan dari pada Rasulullah Muhammad.Yel-yel dan “lagu kebangsaan” tim kesayangan lebih mereka hafal dari Juz amma. Bahkan para supporter rela berkelahi menyerahkan raga demi membela tim kesayanggannya.
Padahal, semakin banyaknya tayangan bola tidak berkorelasi positif dengan meningkatnya taraf kesehatan rakyat, yang berimbas pada berkurangnya anggaran APBN untuk kesehatan.
Padahal seharusnya tujuan dari olahraga adalah meningkatnya kesehatan dan kebugaran fisik. Dan semakin meningkatnya prestasi sepak bola tanah air juga tidak memberikan efek positif pada meningkatnya posisi politik Indonesia di mata dunia. Masih teringat jelas di benak kita, beberapa tahun yang lalu saat Indonesia memenangkan Piala AFC melawan Malaysia. Hal itu tidak membuat Indonesia lebih kaya dari Malaysia.
Tidak juga membuat prestise Indonesia di mata dunia berada di atas Malaysia.
Mungkin sudah seharusnya Negara kita lebih memfokuskan potensi pemuda Indonesia kepada hal-hal yang dapat membangkitkan negeri ini. Terutama di bulan Ramadhan, dimana seharusnya menjadi momentum yang tepat untuk re-empowering para pemuda dalam meningkatkan keimanan, ketaqwaan & produktifitas.
Dahulu di Perang Uhud, ada banyak sekali pemuda yang masih belum terkategori baligh memaksa ikut perang dan dipulangkan oleh Rasulullah sampai-sampai mereka menangis karena sedih tidak bisa berkontribusi bagi agama.
Apa hal gerangan yang membuat para pemuda ini tak takut mati demi agamanya? Tentulah keimanan yang tinggi yang mampu merendahkan kenikmatan dunia. Dan kecintaan yang besar terhadap surge dan ridha Allah sehingga mampu mengecilkan kenikmatan dunia, termasuk serunya bermain yang lazimnya dimiliki di usia mereka.
Namun sayangnya, peran Negara dalam meningkatkan keimanan dan ketaqwaan pemuda kita masih sangat minim. Hal ini jauh bahkan luput dari perhatian negara. Sehingga Negara lebih memperhatikan sepak bola, balapaan F1 dari pada gerakan pemuda kembali ke masjid misalnya. Atau dukungan terhadap komunitas-komunitas dakwah untuk remaja. Seringnya, remaja yang rajin mendakwahi sesama demi meningkatnya keumanan dan ketaqwaan generasi malah dicap teroris. Semoga kedepannya, pemerintah dan masyarakat bisa lebih berperan aktif dalam membangu generasi yang beriman dan bertaqwa.*
Rep: Admin Hidcom
Editor: Cholis Akbar
Lentera Kabah
Tidak ada komentar