Oleh
Al-Ustadz Yazid bin ‘Abdul Qadir Jawas حفظه الله
Dari ‘Ubadah bin ash-Shâmit Radhiyallahu anhu , ia berkata, “Aku mendengar Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
خَمْسُ صَلَوَاتٍ كَتَبَهُنَّ اللهُ عَلَى الْعِبَادِ ، مَنْ أَتَىٰ بِهِنَّ لَمْ يُضَيِّعْ مِنْهُنَّ شَيْئًا اسْتِخْفَافًا بِحَقِّهِنَّ ؛ كَانَ لَهُ عِنْدَ اللهِ عَهْدٌ أَنْ يُدْخِلَهُ الْـجَنَّـةَ ، وَمَنْ لَمْ يَأْتِ بِهِنَّ ، فَلَيْسَ لَهُ عِنْدَ اللهِ عَهْدٌ ، إِنْ شَاءَ عَذَّبَهُ ، وَإِنْ شَاءَ غَفَرَ لَهُ.
Lima shalat yang Allâh wajibkan atas hamba-Nya. Barangsiapa mengerjakannya dan tidak menyia-nyiakannya sedikit pun karena menganggap enteng, maka ia memiliki perjanjian dengan Allâh untuk memasukkan dia ke surga. Dan barangsiapa tidak mengerjakannya, maka dia tidak memiliki perjanjian dengan Allâh. Jika Allâh berkehendak, maka Dia mengadzabnya dan jika Dia berkehendak Dia mengampuninya.
TAKHRIJ HADITS
Hadits ini shahih. Diriwayatkan oleh Imam Malik dalam dalam al-Muwaththa’, kitab: Shalâtil Lail, bab: al-Amru bil Witr (I/120, no. 14); Abdurrazzaq dalam Mushannaf-nya (no. 4575); Ahmad (V/315-316, 319, 322); Al-Humaidi (no. 388); Abu Dawud (no. 425, 1420); An-Nasa-i (I/230); Ibnu Majah (no. 1401): Ad-Darimi (I/370); Ath-Thahawi dalam Syarh Musykilil Aatsaar (no. 3167 dan 3168); Al-Baihaqi (II/467); Ibnu Abi ‘Ashim dalam as-Sunnah (no. 967); Al-Baghawi dalam Syarhus Sunnah (no. 977), dan lainnya.
Dishahihkan oleh Syaikh al-Albani dalam Shahîh Sunan Abi Dawud (V/161, no. 1276).Dan dishahihkan oleh para pentahqiq Mausû’ah Musnadil Imam Ahmad (37/366-368, no. 22693).
Di awal hadits ini dikisahkan bahwa al-Mukhdaji, seorang lelaki dari Bani Kinânah mengabarkan bahwa ada seorang Anshar tinggal di Syam, ia mempunyai kun-yah Abu Muhammad, ia berkata, “Sesungguhnya shalat witir (hukumnya) wajib.” Al-Mukhdaji berkata, “Aku pergi menemui ‘Ubâdah bin ash-Shâmit, aku kabarkan kepada beliau (tentang pendapat Abu Muhammad), maka ‘Ubâdah bin ash-Shâmit Radhiyallahu anhu berkata, “Abu Muhammad telah berdusta (telah keliru)! Aku mendengar Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda…. Seperti dalam hadits di atas.
PENJELASAN HADITS
Shalat lima waktu adalah kewajiban setiap Muslim dan Muslimah. Setiap Muslim wajib melaksanakannya sebagaimana diperintahkan oleh Allâh Azza wa Jalla dan dicontohkan oleh Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Ia wajib mengerjakannya dan tidak boleh menyia-nyiakannya. Dia wajib mengerjakan shalat yang lima waktu dengan menjaga waktu pelaksanaannya, thuma`ninahnya dan khusyu’nya. Kewajiban melaksanakan shalat itu sejak berumur tujuh tahun dan terus berlanjut sampai wafat. Jika shalat lima waktu ini dijaga dengan semua ketentuan di atas, maka dijamin masuk surga.
Adapun orang yang menyia-nyiakan shalat, terkadang dia shalat dan terkadang tidak, atau hanya sebagian shalat saja yang dikerjakan, atau dia shalat tetapi tidak thuma`ninah sama sekali dan mengerjakannya tidak sesuai dengan perintah Allâh Azza wa Jalla dan contoh Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam , maka orang yang seperti ini tidak ada jaminan dari Allâh Azza wa Jalla . Jika Allâh kehendaki, Allâh akan adzab dia, dan jika Allâh berkehendak, Allâh bisa mengampuninya.
Orang yang meninggalkan shalat telah berbuat dosa besar yang paling besar, lebih besar dosanya di sisi Allâh daripada membunuh jiwa, mengambil harta orang lain. Lebih besar dosanya daripada dosa zina, mencuri dan minum khamr. Orang yang meninggalkan shalat akan mendapatkan hukuman dan kemurkaan Allâh di dunia dan di Akhirat.[1]
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah mengatakan, “Orang yang enggan mengerjakan shalat fardhu maka ia berhak mendapatkan hukuman yang keras (berat) berdasarkan kesepakatan para Imam kaum Muslimin, bahkan menurut Jumhur ummat, seperti Imam Mâlik, asy-Syâfi’i, Ahmad, dan selain mereka. Ia wajib untuk disuruh bertaubat, jika ia bertaubat (maka ia terbebas dari hukuman) dan jika tidak maka ia dihukum mati.
Bahkan orang yang meninggalkan shalat lebih jelek daripada pencuri, pezina, peminum khamr, dan penghisap ganja.”[2]
Dalam agama Islam, shalat memiliki kedudukan yang tinggi dibandingkan dengan ibadah-ibadah lainnya, karena ia tiang agama. Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
…رَأْسُ الْأَمْرِ الْإِسْلَامُ ، وَعَمُوْدُهُ الصَّلَاةُ ، وَذِرْوَةُ سَنَامِهِ الْجِهَادُ فِـيْ سَبِيْلِ اللهِ…
… Pokok segala urusan adalah Islam, tiangnya adalah shalat, dan puncaknya adalah jihad di jalan Allâh …[3]
Shalat adalah sebaik-baik amal seorang Muslim, dan merupakan amal yang pertama kali akan dihisab pada hari kiamat. Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
وَاعْلَمُوْا أَنَّ خَيْرَ أَعْمَالِكُمُ الصَّلَاةُ
Dan ketahuilah bahwa sebaik-baik amal kalian adalah shalat[4]
Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda:
أَوَّلُ مَا يُـحَاسَبُ بِهِ الْعَبْدُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ الصَّلَاةُ، فَإِنْ صَلَحَتْ صَلَحَ لَهُ سَائِرُ عَمَلِهِ ، وَإِنْ فَسَدَتْ فَسَدَ سَائِرُ عَمَلِهِ.
Perkara yang pertama kali dihisab dari seorang hamba pada hari kiamat adalah shalat. Apabila shalatnya baik, maka seluruh amalnya pun baik. Apabila shalatnya buruk, maka seluruh amalnya pun buruk.[5]
Di samping itu, shalat merupakan wasiat terakhir Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada ummatnya. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
اَلصَّلَاةَ، وَمَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ.
(Kerjakanlah) shalat dan (tunaikan kewajiban kalian terhadap) hamba sahaya yang kalian miliki.[6]
Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan pentingnya masalah shalat kepada para Shahabat g dan Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam sangat menekankan hal itu. Cobalah kita melihat hadits shahih yang diriwayatkan oleh Imam Muslim (no. 162 (259)) dari shahabat Anas bin Mâlik Radhiyallahu anhu tentang dimi’rajkannya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk menerima perintah shalat. Ini menunjukkan betapa pentingnya masalah shalat. Kita juga harus memperhatikan bahwa Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam menerima perintah shalat ini setelah Beliau melakukan dakwah tauhid. Ini sama dengan yang terjadi pada ummatnya, yaitu kewajiban untuk mengucapkan dua kalimat syahadat yang merupakan kalimat tauhid terlebih dahulu, kemudian diperintahkan untuk melaksanakan shalat. Sebagaimana juga firman Allâh kepada Nabi Musa Alaihissallam ketika Allâh Azza wa Jalla menjelaskan bahwa, “Aku adalah Allâh”, langsung diperintahkan kepada Nabi Musa q untuk melaksanakan shalat.
Firman Allâh Azza wa Jalla kepada Nabi Musa Alaihissallam :
إِنَّنِي أَنَا اللَّهُ لَا إِلَٰهَ إِلَّا أَنَا فَاعْبُدْنِي وَأَقِمِ الصَّلَاةَ لِذِكْرِي
Sesungguhnya Aku ini adalah Allâh, tidak ada ilah (yang berhak diibadahi dengan benar) selain Aku, maka beribadahlah kepada-Ku dan dirikanlah shalat untuk mengingat Aku.” [Thâhâ/20:14]
Allâh memerintahkan Nabi Musa Alaihissallam mendirikan shalat setelah Allâh Azza wa Jalla menyebutkan masalah tauhid.
Yang wajib diperhatikan oleh setiap Muslim dan Muslimah yang berkaitan dengan shalat adalah:
Wajib Dikerjakan Pada Waktunya
Ketahuilah bahwa shalat fardhu itu wajib dikerjakan pada waktunya. Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah diajarkan oleh Malaikat Jibril tentang waktu-waktu shalat, mulai dari shalat Shubuh sampai shalat ‘Isya’. Kemudian, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengajarkan kepada ummatnya untuk mengerjakan shalat pada waktunya. Karena, Allâh Azza wa Jalla telah menyuruh kita untuk mengerjakan shalat pada waktu yang telah ditentukan. Allâh Azza wa Jalla berfirman:
إِنَّ الصَّلَاةَ كَانَتْ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ كِتَابًا مَوْقُوتًا
Sesungguhnya shalat itu adalah kewajiban yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman.” [An-Nisâ’/4:103]
Shalat pada waktunya sangat ditekankan oleh Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam , ini terkandung dalam pernyataan Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika ditanya oleh ‘Abdullah bin Mas’ûd Radhiyallahu anhuma :
أَيُّ الْأَعْمَالِ أَحَبُّ إِلَى اللهِ ؟ قَالَ: اَلصَّلَاةُ عَلَىٰ وَقْتِهَا ، قُلْتُ : ثُمَّ أَيٌّ ؟ قَالَ: ثُمَّ بِرُّ الْوَالِدَيْنِ ، قُلْتُ: ثُمَّ أَيٌّ ؟ قَالَ: ثُمَّ الْجِهَادُ فِيْ سَبِيْلِ اللهِ.
“Amalan apakah yang paling dicintai Allâh?”Rasûlullâh menjawab, “Mengerjakan shalat pada waktunya.”Aku bertanya, “Kemudian apa?”Beliau menjawab, “Kemudian berbakti kepada kedua orang tua.”Aku bertanya, “Kemudian apa?”Beliau menjawab, “Kemudian jihad di jalan Allâh.”[7]
Dalam hadits lain, dari Ummu Farwah Radhiyallahu anha , ia berkata, “Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah ditanya:
أَيُّ الْأَعْمَـالِ أَفْضَلُ ؟ قَالَ : الصَّلَاةُ فِـيْ أَوَّلِ وَقْتِهَا.
Amalan apakah yang paling baik?’ Rasûlullâh menjawab, ‘Mengerjakan shalat di awal waktunya.’”[8]
Allâh Azza wa Jalla telah menentukan waktu shalat atas setiap Mukmin, dan Allâh pun memerintahkan kita untuk menjaga shalat pada waktu-waktunya, sebagaimana firman Allâh Azza wa Jalla :
حَافِظُوا عَلَى الصَّلَوَاتِ وَالصَّلَاةِ الْوُسْطَىٰ
Peliharalah semua shalatmu, dan peliharalah shalat wustha’. Dan berdirilah karena Allâh (dalam shalatmu) dengan khusyu’. [Al-Baqarah/2:238]
Yang paling kuat menyentuh iman seorang Mukmin untuk memenuhi panggilan shalat adalah panggilan adzan yang sekaligus sebagai pengingat waktu shalat sehingga kita bisa melaksanakannya pada waktunya.
Jika Anda sudah mengetahui bahwa shalat lima waktu wajib dikerjakan pada waktunya,maka kerjakanlah shalat dimanapun Anda berada, baik ketika di kantor, di kampus maupun di pasar. Adapun bagi musafir (orang yang sedang safar atau orang yang dalam perjalanan) disunnahkan mengqashar (meringkas shalat yang empat raka’at menjadi dua raka’at) dan ia boleh menjamak shalatnya.
Seorang Muslim tidak boleh menunda mengerjakan shalat dengan berbagai alasan, misalnya dengan mengatakan, “Pakaian saya kotor, jadi nanti saja. Nanti di rumah juga bisa shalat.” Sebagai seorang Muslim apabila sudah tiba waktu shalat, ia akan bergegas mengerjakan shalat. Usahakan bisa melaksanakan shalat terlebih dahulu sebelum naik bus, kereta dan lainnya, jika sudah tiba waktunya. Kemudian, orang yang naik kendaraan pribadi, hendaknya ia berhenti sejenak untuk mengerjakan shalat lima waktu pada waktunya. Sungguh, di sepanjang jalan ada banyak masjid, mushalla, maupun tempat-tempat untuk shalat. Hendaklah Anda kerjakan shalat pada waktunya! Pentingkan shalat pada waktunya!
Ketahuilah, apabila tidak ada masjid maupun mushalla, maka sungguh, bumi ini merupakan tempat shalat. Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
وَجُعِلَتْ لِـيَ الْأَرْضُ مَسْجِدًا وَطَهُوْرًا
Dijadikan bumi bagiku sebagai tempat shalat dan bersuci (tayammum-pen.)…[9]
Wahai saudaraku …
Hendaklah kita mengerjakan shalat pada waktunya dimana pun berada dan janganlah kita merasa berat. Sesungguhnya Islam adalah agama yang mudah. Hendaklah setiap orang tua, pemimpin perusahaan, kepala sekolah dan lainnya menyuruh anak-anak mereka dan para karyawan mereka untuk melakukan shalat pada waktunya.
Wajib Mengerjakan Shalat Sesuai Contoh Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam
Laksanakanlah shalat lima waktu sesuai dengan tata cara yang dicontohkan oleh Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam , sebagaimana sabda Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam :
صَلُّوْا كَمَا رَأَيْتُمُوْنِـيْ أُصَلِّـيْ
Shalatlah sebagaimana kalian melihat aku shalat[10]
Kita tidak mungkin bisa mengerjakan shalat sesuai dengan contoh Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam tanpa belajar, tanpa datang ke majelis taklim, maupun tanpa membaca buku yang benar dan ilmiah tentang tata cara shalat. Saya anjurkan membaca buku Shifat Shalat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam karya Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani rahimahullah karena buku ini adalah buku yang terbaik dalam pembahasan tata cara shalat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam .[11]
Kita wajib ikhlas dan mencontoh Sunnah Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam melakukan shalat sehingga shalat kita dapat mencegah perbuatan keji dan mungkar, sebagaimana firman Allâh Azza wa Jalla :
إِنَّ الصَّلَاةَ تَنْهَىٰ عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ
Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan-perbuatan) keji dan mungkar. [Al-Ankabût/29:45]
Shalat Harus Dikerjakan Dengan Thuma`ninah Dan Khusyu’
Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ حَافَظَ عَلَى الصَّلَوَاتِ الْخَمْسِ: رُكُوْعِـهِنَّ، وَسُجُوْدِهِنَّ، وَمَوَاقِيْتِهِنَّ ، وَعَلِمَ أَنَّهُنَّ حَقٌّ مِنْ عِنْدِ اللهِ؛ دَخَلَ الْـجَنَّةَ ، أَوْ قَالَ : وَجَبَتْ لَهُ الْـجَنَّـةُ ، أَوْ قَالَ : حَرُمَ عَلَى النَّارِ
Barangsiapa menjaga shalat lima waktu: ruku’nya, sujudnya (dengan thuma’ninah), pada waktu-waktunya, kemudian ia mengetahui bahwa perintah ini benar-benar datangnya dari Allâh, maka ia akan masuk surga,” atau Beliau bersabda, “Wajib atasnya surga,” atau Beliau bersabda, “Ia diharamkan masuk neraka.”[12]
Shalat wajib dikerjakan dengan thuma`ninah (tenang) dan khusyu’. Pernah di zaman Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ada seseorang shalat akan tetapi dia tidak thuma`ninah, maka Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyuruh orang tersebut mengulangi shalatnya, kemudian dia mengulangi shalatnya, Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam pun menyuruh mengulanginya lagi. Ini terulang sampai tiga kali.[13]Ini menunjukkan bahwa thuma`ninah adalah wajib dan merupakan rukun shalat yang jika ditinggalkan maka shalatnya tidak sah. Seseorang wajib thuma`ninah dalam semua gerak shalatnya, wajib thuma`ninah ketika berdiri, ruku’, i’tidâl (sesudah bangkit dari ruku’), sujud, duduk antara dua sujud, ketika duduk tasyahhud awal dan tasyahhud akhir. Barang siapa yang tidak thuma`ninah maka tidak sah shalatnya.[14]
Demikian juga khusyu’ dalam shalat. Khusyu’ adalah hati seseorang tunduk, patuh, merendah, dan tenang di hadapan Allâh Azza wa Jalla . Setiap Mukmin dan Mukminah wajib khusyu’ dalam shalatnya.
Bagaimana meraih khusyu’ dalam shalat? Berikut beberapa kiat untuk meraih khusyu’ dalam shalat:[15]
Mengingat Kematian
Dari Anas Radhiyallahu anhu , ia berkata, “Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
اُذْكُرِ الْمَوْتَ فِـيْ صَلَاتِكَ ، فَإِنَّ الرَّجُلَ إِذَا ذَكَرَ الْمَوْتَ فِـيْ صَلَاتِهِ ؛ لَـحَرِيٌّ أَنْ يُـحْسِنَ صَلَاتَهُ ، وَصَلِّ صَلَاةَ رَجُلٍ لَا يَظُنُّ أَنَّهُ يُصَلِّـي صَلَاةً غَيْرَهَا
Ingatlah kematian dalam shalatmu! Jika seseorang mengingat kematian dalam shalatnya niscaya ia akan melakukan shalatnya dengan baik. Shalatlah seperti shalat orang yang tidak menyangka bahwa ia akan melakukan shalat yang lainnya (karena meninggal)[16]
Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
صَلِّ صَلَاةَ مُوَدِّعٍ كَأَنَّكَ تَرَاهُ ، فَإِنْ كُنْتَ لَا تَرَاهُ فَإِنَّهُ يَرَاكَ
Shalatlah seperti shalatnya orang yang hendak berpisah seakan-akan engkau melihat Allâh. Jika engkau tidak melihat-Nya, maka sesungguhnya Allâh melihatmu.[17]
Merenungkan Makna Dari Bacaan-Bacaan Yang Ada Dalam Shalat
Ketika seorang hamba sedang mengucapkan, “Allâhu Akbar,” dia akan selalu membayangkan makna kalimat tersebut dan segala sesuatu yang menyangkut keagungan-Nya. Ketika dia meminta perlindungan, ia akan selalu memikirkan makna yang terkandung dalam perlindungan tersebut, yaitu berharap dan memohon perlindungan kepada Allâh Yang Maha Mendengar, Dialah Dzat yang mendengar hamba-Nya, Yang Mahatahu, Dialah yang mengetahui apa yang dibisikkan setan. Ia juga membayangkan bahwa dengan apa yang ia lakukan itu, berarti membuka semua pintu kebaikan dan menutup semua pintu kejelekan. Demikianlah seorang hamba merenungkan makna-makna yang terkandung di dalam basmalah, tasbîh, dan shalawat untuk Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam .
Dalam hal ini ia dituntut untuk membuka kitab-kitab tafsir dan penjelasan para Ulama agar ia benar-benar memahami apa yang diucapkannya. Semua itu dilakukan di dalam shalat sesuai dengan kemampuan yang ia miliki dengan kerja keras.
Meninggalkan Dosa Dan Maksiat
Allâh Azza wa Jalla berfirman:
إِنَّ اللَّهَ لَا يُغَيِّرُ مَا بِقَوْمٍ حَتَّىٰ يُغَيِّرُوا مَا بِأَنْفُسِهِمْ
Sesungguhnya Allâh tidak mengubah keadaan suatu kaum sebelum mereka mengubah keadaan diri mereka sendiri [Ar-Ra’d/13:11]
Kemaksiatan merupakan penghalang yang merintangi kekhusyu’an dalam shalat, sebaliknya memperbanyak kebaikan dapat menjadikan shalat lebih baik dan lebih khusyu’.
Tidak Banyak Tertawa, Karena Banyak Tertawa Dapat Mematikan Hati
Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
لَا تُكْثِرِ الضَّحِكَ ؛ فَإِنَّ كَثْرَةَ الضَّحِكِ تُمِيْتُ الْقَلْبَ
Janganlah banyak tertawa karena banyak tertawa itu dapat mematikan hati.[18]
Memilih Pekerjaan Yang Sesuai
Hal ini dengan mempertimbangkan beberapa segi:
Pertama : Dari segi kehalalan, karena Allâh tidak menerima kecuali yang thayyib (halal), sedang makan barang yang haram menjadikan do’a tidak terkabul dan kekhusyu’an sirna.
Kedua: Pekerjaan tersebut tidak bentrok dengan waktu-waktu shalat.
Ketiga: Diusahakan mencari pekerjaan yang tidak terlalu melelahkan sehingga ketika tiba waktu shalat, ia pun dapat menghadap Rabb-nya dengan hati yang khusyu’.
Tidak Terlalu Sibuk Dengan Urusan Dunia
Sibuk terhadap dunia dapat mengurangi perhatian terhadap akhirat. Ambillah dunia sekedar untuk menutupi kebutuhanmu dan keluarga. Jika pekerjaan pada waktu pagi sudah cukup, tidak usah bekerja pada waktu sore. Jika sudah sukses dalam bisnis tertentu, tidak usah sibuk dalam bisnis lain yang dapat menghilangkan konsentrasi pikiran dan membuat kita lupa kepada Allâh Azza wa Jalla , juga melupakan diri sendiri dan keluarga.
Itulah beberapa antara kiat-kiat khusyu’.
Hukum Shalat Berjama’ah Bagi Laki-Laki
Hukum shalat berjama’ah bagi laki-laki adalah wajib, berdasarkan firman Allâh Azza wa Jalla:
وَأَقِيمُوا الصَّلَاةَ وَآتُوا الزَّكَاةَ وَارْكَعُوا مَعَ الرَّاكِعِينَ
Dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat, dan ruku’lah bersama orang-orang yang ruku’.” [Al-Baqarah/2:43]
Para ulama berdalil dengan ayat ini saat menjelaskan tentang wajibnya shalat berjama’ah.[19]
Juga berdasarkan riwayat dari Ibnu ‘Abbâs Radhiyallahu anhu , dari Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam , Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ سَمِعَ الِنّدَاءَ فَلَمْ يَأْتِهِ، فَلَا صَلَاةَ لَهُ إِلَّا مِنْ عُذْرٍ
Barangsiapa mendengar adzan kemudian tidak mendatanginya, maka tidak ada shalat baginya (shalatnya tidak sempurna-pent), kecuali karena ada udzur.[20]
Di antara udzur yang membolehkan kita untuk meninggalkan shalat berjama’ah adalah sakit, bepergian (safar), hujan lebat, cuaca sangat dingin, dan udzur lainnya yang dijelaskan oleh syari’at.
Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak memberikan keringanan untuk meninggalkan shalat berjama’ah bagi orang lelaki yang buta dan tidak ada yang menuntunnya ke masjid, sebagaimana dalam hadits yang diriwayatkan dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu[21]
Pada kesempatan lain, Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah berniat untuk membakar rumah orang-orang yang tidak melakukan shalat berjama’ah di masjid. Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu , Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
وَالَّذِيْ نَفْسِيْ بِيَدِهِ لَقَدْ هَمَمْتُ أَنْ آمُرَ بِحَطَبٍ لِيُحْطَبَ ، ثُمَّ آمُرَ بِالصَّلَاةِ فَيُؤَذَّنَ لَهَا، ثُمَّ آمُرَ رَجُلًا فَيَؤُمَّ النَّاسَ ، ثُمَّ أُخَالِفَ إِلَىٰ رِجَالٍ فَأُحَرِّقَ عَلَيْهِمْ بُيُوْتَهُمْ. وَالَّذِيْ نَفْسِيْ بِيَدِهِ ، لَوْ يَعْلَمُ أَحَدُهُمْ أَنَّهُ يَجِدُ عَرْقًا سَمِيْنًا أَوْ مِرْمَاتَيْنِ حَسَنَتَيْنِ ، لَشَهِدَ الْعِشَاءَ.
Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya. Sesungguhnya aku berniat menyuruh mengumpulkan kayu bakar, lalu aku menyuruh adzan untuk shalat. Kemudian kusuruh seorang laki-laki mengimami orang-orang. Setelah itu, kudatangi orang-orang yang tidak menghadiri shalat jama’ah dan kubakar rumah-rumah mereka. Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, andai salah seorang di antara mereka tahu bahwa ia akan memperoleh daging gemuk atau (dua kaki hewan berkuku belah) yang baik, niscaya ia akan mendatangi shalat ‘Isya’.[22]
Ibnu Mas’ud Radhiyallahu anhu pernah berkata, “Barangsiapa yang senang bertemu dengan Allâh di hari kiamat kelak dalam keadaan Muslim, hendaklah ia menjaga shalat lima waktu dimanapun ia diseru kepadanya.Sungguh, Allâh telah mensyari’atkan kepada Nabi kalian n , sunnah-sunnah yang merupakan petunjuk. Shalat limawaktu termasuk sunnah-sunnah yang merupakan petunjuk. Seandainya kalian shalat di rumah kalian sebagaimana orang yang tertinggal ini shalat di rumahnya (dia tidak shalat berjama’ah di masjid) niscaya kalian akan meninggalkan sunnah Nabi kalian. Seandainya kalian meninggalkan sunnah-sunnah Nabi kalian, niscaya kalian akan sesat... Dan saya melihat (pada zaman) kami (para Shahabat), tidak ada yang meninggalkan shalat berjama’ah kecuali seorang munafik, yang telah diketahui kemunafikannya.[23]
KEUTAMAAN SHALAT BERJAMA’AH
Shalat lima waktu harus kita kerjakan dengan berjama’ah, karena Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan kita shalat berjama’ah. Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menjelaskan keutamaan shalat berjama’ah, sebagaimana hadits dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu , ia berkata, “Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
صَلَاةُ الرَّجُلِ فِـي الْـجَمَاعَةِ تُضَعَّفُ عَلَىٰ صَلَاتِهِ فِـيْ بَيْتِهِ ، وَفِـيْ سُوْقِهِ ، خَمْسًا وَعِشْرِيْنَ ضِعْفًا ، وَذٰلِكَ أَنَّهُ إِذَا تَوَضَّأَ فَأَحْسَنَ الْوُضُوْءَ ، ثُمَّ خَرَجَ إِلَى الْمَسْجِدِ لَا يُخْرِجُهُ إِلَّا الصَّلَاةُ ،لَمْ يَخْطُ خَطْوَةً إِلَّا رُفِعَتْ لَهُ بِهَا دَرَجَةٌ وَحُطَّ عَنْهُ بِهَا خَطِيْئَةٌ ، فَإِذَا صَلَّىٰ لَمْ تَزَلِ الْمَلَائِكَةُ تُصَلِّـيْ عَلَيْهِ مَا دَامَ فِـيْ مُصَلَّاهُ:اَللّٰهُمَّ صَلِّ عَلَيْهِ ، اَللّٰهُمَّ ارْحَمْهُ ، وَلَا يَزَالُ أَحَدُكُمْ فِـيْ صَلَاةٍ مَا انْتَظَرَ الصَّلَاةَ.
Shalat seseorang dengan berjama’ah akan dilipat-gandakan 25 (dua puluh lima) kali lipat daripada shalat yang dilakukan di rumah dan di pasarnya. Yang demikian itu, apabila seseorang berwudhu’, ia menyempurnakan wudhu’nya, kemudian keluar menuju ke masjid, tidak ada yang mendorongnya keluar menuju masjid kecuali untuk melakukan shalat. Tidaklah ia melangkahkan kakinya, kecuali dengan satu langkah itu derajatnya diangkat, dan dengan langkah itu dihapuskan kesalahannya. Apabila ia shalat dengan berjama’ah, maka Malaikat akan senantiasa bershalawat atasnya, selama ia tetap di tempat shalatnya [dan belum batal], ‘Ya Allâh, berikanlah shalawat kepadanya. Ya Allâh, berikanlah rahmat kepadanya.’Salah seorang di antara kalian tetap dalam keadaan shalat (mendapatkan pahala shalat) selama ia menunggu datangnya waktu shalat.’”[24]
Dalam hadits lain, dari Shahabat Ibnu ‘Umar Radhiyallahu anhuma, Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda:
صَلَاةُ الْجَمَاعَةِ أَفْضَلُ مِنْ صَلَاةِ الْفَذِّ بِسَبْعٍ وَعِشْرِيْنَ دَرَجَةً
Shalat berjama’ah itu lebih utama 27 (dua puluh tujuh) derajat daripada shalat sendirian.[25]
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu , ia berkata, “Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ غَدَا إِلَى الْمَسْجِدِ وَرَاحَ أَعَدَّ اللهُ لَهُ نُزُلَهُ مِنَ الْـجَنَّةِ كُلَّمَا غَدَا أَوْ رَاحَ.
Barangsiapa pergi ke masjid lalu kembali, maka Allâh menyediakan baginya hidangan di surga saat dia pergi dan kembali.[26]
Dari Anas Radhiyallahu anhu , ia mengatakan bahwa Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ صَلَّى لِلهِ أَرْبَعِيْنَ يَوْمًا فِـيْ جَمَاعَةٍ يُدْرِكُ التَّكْبِيْرَةَ اْلأُوْلَى كُتِبَ لَهُ بَرَاءَتَانِ : بَرَاءَةٌ مِنَ النَّارِ ، وَبَرَاءَةٌ مِنَ النِّفَاقِ
Barangsiapa shalat jama’ah dengan ikhlas karena Allâh selama empat puluh hari dengan mendapati takbir pertama (takbiiratul ihram), maka ia dibebaskan dari dua perkara: dibebaskan dari Neraka dan dibebaskan dari kemunafikan.[27]
Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam sangat menganjurkan bagi laki-laki untuk mengerjakan shalat dengan berjama’ah di masjid dan menganjurkan wanita untuk shalat di rumahnya karena rumah bagi wanita adalah lebih baik. Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam selalu mengerjakan shalat ber-jama’ah di masjid, bahkan ketika Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam sedang sakit, hingga Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam dipapah ke masjid untuk mengerjakan shalat berjama’ah.
Dari Ibnu ‘Umar Radhiyallahu anhuma, dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, Beliau bersabda:
لَا تَمْنَعُوْا نِسَاءَكُمُ الْمَسَاجِدَ، وَبُيُوْتُهُنَّ خَيْرٌ لَهُنَّ
Janganlah kalian melarang istri-istri kalian mendatangi masjid. Dan rumah-rumah mereka lebih baik bagi mereka.[28]
FAWA-ID:
Allâh Azza wa Jalla memerintahkan para Nabi dan para Rasul untuk melaksanakan shalat.
Allâh Azza wa Jalla mewajibkan kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan ummatnya shalat lima waktu dalam sehari semalam.
Shalat memiliki kedudukan yang tinggi dan merupakan sebaik-baik amal.
Shalat merupakan tiang agama dan cahaya bagi seorang Mukmin di dunia maupun di akhirat.
Shalat yang lima waktu sudah ditentukan waktunya dan wajib dikerjakan pada waktunya; Shubuh, Zhuhur, Ashar, Maghrib, dan ‘Isya.
Shalat yang lima waktu ini mudah dikerjakan oleh setiap Muslim dan Muslimah.
Setiap Muslim wajib mengerjakan dan menjaga shalat yang lima waktu seumur hidupnya dan tidak boleh baginya menyia-nyiakannya. Shalat wajib dikerjakan dalam keadaan bagaimanapun juga dan dimanapun juga sampai dia wafat.
Setiap Muslim wajib belajar tentang wudhu, shalat, karena dia wajib mengerjakan shalat sesuai dengan contoh Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam .
Seorang Muslim wajib shalat dengan thuma`ninah dan khusyu’, tidak boleh terburu-buru, dan tidak boleh tergesa-gesa. Dia wajib tenang dan khusyu’.
Laki-laki wajib mengerjakan shalat berjama’ah di Masjid. Adapun wanita, yang terbaik baginya mengerjakan shalat di rumah.
Orang yang mengerjakan shalat, menjaganya, dikerjakan dengan khusyu’ dan thuma`ninah, dan mengerjakan dengan ikhlas serta sesuai dengan contoh Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam , maka orang tersebut dijamin oleh Allâh masuk surga.
Orang yang tidak menjaga shalat lima waktu, atau terkadang dia shalat dan terkadang tidak, atau shalatnya tidak thuma`ninah sama sekali, maka orang yang seperti ini tidak ada jaminan bagi Allâh Azza wa Jalla untuk memasukkannya ke surga-Nya.
Orang yang meninggalkan shalat dosanya lebih besar dari membunuh jiwa, mengambil harta orang lain, zina, mencuri dan minum khamr.
Orang yang meninggalkan shalat tidak akan mengalami ketenangan dan kebahagiaan dalam hidupnya.
Orang yang meninggalkan shalat akan disiksa oleh Allâh di neraka Saqa
MARAAJI’
Kutubus sittah.
Ash-shalâtu wa Hukmu Târikiha, karya Ibnu Qayyim al-Jauziyyah.
Tafsîr Ibni Katsîr, Daar Thaybah.
Silsilah al-Ahâdîts ash-Shahîh
Ash-Shalâh wa Atsaruhâ fii Ziyâdatil Imân wa Tahdzîbin Nafs, karya Syaikh Husain al-‘Awayisyah.
Shalâtul Mu’min, karya Syaikh Sa’id bin ‘Ali bin Wahf al-Qahthani.
Sebaik-baik Amal adalah Shalat, Pustaka at-Taqwa-Bogor.
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 10/Tahun XVIII/1436H/2015M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196.Kontak Pemasaran 085290093792, 08121533647, 081575792961, Redaksi 08122589079 ]
_______
Footnote
[1] Lihat kitab ash-Shalâh wa Hukmu Târikiha (hlm. 29) karya Imam Ibnul Qayyim. Lihat juga Majmû’ Fatâwâ Syaikhil Islam Ibni Taimiyyah (XXII/50)
[2] Majmû’ Fatâwâ (XXII/50)
[3] Shahih: HR. Ahmad (V/231, 237, 245-246), at-Tirmidzi (no. 2616), dan Ibnu Mâjah (no. 3973), dari shahabat Mu’adz bin Jabal Radhiyallahu anhu
[4] Shahih: HR. Ahmad (V/282) dari Shahabat Tsaubân Radhiyallahu anhu . Diriwayatkan juga oleh ad-Dârimi (I/168) dan Ibnu Hibbân (no. 164-Mawâriduzh Zham-ân) dari Shahabat al-Walid Radhiyallahu anhu .Lihat Silsilah al-Ahâdîts ash-Shahîhah (no. 115).
[5] Shahih: HR. Ath-Thabrani dalam al-Mu’jamul Ausath (II/512, no. 1880) dari Shahabat Anas bin Malik Radhiyallahu anhu . Dishahihkan oleh Syaikh al-Albani dalam Shahîh al-Jâmi’ish Shaghîr (no. 2573) dan Silsilah al-Ahâdîts ash-Shahîhah (III/343, no. 1358)
[6] Shahih: HR. Ahmad (III/117) dari Anas bin Mâlik Radhiyallahu anhu dan Ibnu Majah (no. 1625) dari Ummu Salamah x
[7] Shahih: HR. Al-Bukhâri (no. 527) dan Muslim (no. 85 (139)) dari Shahabat ‘Abdullah bin Mas’ud Radhiyallahu anhu
[8] Shahih: HR. Abu Dawud (no. 426), at-Tirmidzi (no. 170), dan al-Hakim (I/189). Dishahihkan oleh Syaikh al-Albani dalam Shahîh Sunan Abi Dâwud (II/303, no. 453)
[9] Shahih: HR. Al-Bukhâri (no. 335) dan Muslim (no. 521) dari Shahabat Jabir bin ‘Abdillah al-Anshâri Radhiyallahu anhu . Lafazh ini milik Al-Bukhâri
[10] Shahih: HR. Al-Bukhâri (no. 631) dan lainnya.
[11] Penulis juga menyusun tentang Sifat Wudhu dan Shalat Nabi n , cet. I, th. 2014, Pustaka Imam asy-Syafi’i-Jakarta.
[12] Hasan: HR. Ahmad (IV/267) dengan sanad jayyid, dan rawi-rawinya terpercaya. Diriwayatkan juga oleh ath-Thabrani dalam al-Mu’jamul Kabîr (no. 3494, 3495) dengan tambahan ((عَلَى وُضُوْئِهَـا)) “Menjaga wudhu’nya.”Hadits ini dihasankan oleh Syaikh al-Albani dalam Shahîh at-Targhîb wat Tarhîb (no. 381).
[13] Shahih: HR. Al-Bukhâri (no. 757), Muslim (no. 397), Abu Dawud (no. 856), an-Nasa-i (II/124), at-Tirmidzi (no. 303), Ibnu Majah (no. 1060), dan Ahmad (II/437), dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu
[14] Tas-hîlul Ilmâm bifiqhil Âhâdîts min Bulûghil Marâm (II/204), karya Syaikh DR. Shalih bin Fauzan bin Abdillah al-Fauzan حفظه الله تعالى.
[15] Diringkas dari ash-Shalâh wa Atsaruha fii Ziyâdatil Îmân wa Tahdzîbin Nafs (hlm. 11-24) karya Syaikh Husain bin ‘Audah al-‘Awayisyah حَفِظَهُ اللهُ.
[16] Hasan: HR. Ad-Dailami dalam Musnad Firdaus. Dihasankan oleh Syaikh al-Albani dalam Silsilah al-Ahâdîts ash-Shahîhah (no. 1421).
[17] Shahih: HR. Ath-Thabrani dalam al-Mu’jamul Ausath (no. 4424), al-Baihaqi dalam az-Zuhd, dan lainnya, dari shahabat Ibnu ‘Umar Radhiyallahu anhuma. Lihat Silsilah al-Ahâdîts ash-Shahîhah (no. 1914).
[18] Hasan:HR. Ahmad (II/310), at-Tirmidzi (no. 2305), dan lainnya, dari shahabat Abu Hurairah Radhiyallahu anhu . Dihasankan oleh Syaikh al-Albani dalam Silsilah al-Ahâdîts ash-Shahîhah (no. 930)
[19] Lihat Tafsîr Ibnu Katsir (I/249).
[20] Shahih: HR. Ibnu Majah (no. 793), al-Hakim (I/245), dan al-Baihaqi (III/ 174). Dishahihkan oleh al-Hakim dan disetujui oleh adz-Dzahabi. Lihat Irwâ-ul Ghalîl (II/337)
[21] Shahih: HR. Muslim (no. 653).
[22] Muttafaq ‘alaih: HR. Al-Bukhâri (no. 644), Muslim (no. 651), Abu Dawud (no. 548), an-Nasa-i (II/107), dan Ibnu Majah (no. 791)
[23] Shahih: HR. Muslim (no. 654 (257)) kitab al-Masâjid wa Mawâdhi’ ash-Shalâh bab Shalâtul Jamâ’ah min Sunanil Huda, Abu Dawud (no. 550), dan an-Nasa-i (II/108-109).
[24] Shahih: HR. Al-Bukhâri (no. 647), Muslim (no. 649 (272)), at-Tirmidzi (no. 603), Ibnu Majah (no. 281), dan Abu Dawud (no. 471).
[25] Shahih: HR. Al-Bukhâri (no. 645) dan Muslim (no. 650 (249)).
[26] Muttafaq ‘alaih: HR. Al-Bukhâri (no. 662) dan Muslim (no. 669).
[27] Hasan: HR. At-Tirmidzi (no. 241). Lihat Silsilah al-Ahâdîts ash-Shahîhah (no. 2652)
[28] Shahih: HR. Abu Dawud (no. 567). Dishahihkan oleh Syaikh al-Albani dalam Takhrîj Hidâyatur Ruwât (I/467, no. 1020).
**| republished by Lentera Kabah
Lentera Kabah
Tidak ada komentar