Oleh
Prof. DR. Syaikh Abdurrazaq hafizhahullah[1]
Ada dua momen penting yang akan dilalui seorang hamba dihadapan Rabbnya. Momen penting yang pertama berada dalam kehidupan di dunia, dan yang kedua berada dalam kehidupan akhirat kelak yaitu saat bertemu dengan Allâh Azza wa Jalla . Jika momen pertama bagus maka itu akan membuahkan keberhasilan dan kebahagiaan pada momen kedua. Sebaliknya, jika kondisi seorang hamba pada momen pertama buruk, maka kerugian dan kebinasaan yang didapatkan pada momen kedua.
Momen pertama yang akan dilalui seorang hamba dihadapan Rabbnya yaitu (waktu) shalat yang telah Allâh Azza wa Jalla wajibkan pada para hamba-Nya sebanyak lima waktu kali sehari semalam. Orang yang menjaga, memperhatikan, dan melaksakan shalat tepat pada waktu yang telah ditentukan, kemudian dia juga menjaga dan memperhatikan syarat-syarat, rukun-rukun dan hal-hal yang diwajibkan dalam shalat, maka akan mudah baginya untuk menjalani momen (kedua dihadapan Rabbnya) pada hari kiamat kelak, dia akan selamat dan sukses meraih kebahagiaan. Namun apabila dia meremehkan momen penting yang pertama ini, dia tidak memperhatikan shalat, dan tidak menjalankan dengan rutin, tidak pula menjaga dan memperhatikan rukun-rukunnya, syarat-syarat serta hal-hal yang diwajibkan dalam shalat maka akan sulit baginya untuk melalui momen penting kedua pada hari kiamat nanti.
Imam at-Tirmizi rahimahullah dan an-Nasâ’i rahimahullah meriwayatkan sebuah dari Huraits bin Qabishah rahimahullah, dia berkata, “Saya datang ke kota Madinah dan meminta kepada Allâh agar memberiku teman yang shalih, lalu aku duduk dengan Abu Hurairah Radhiyallahu anhu dan aku berkata kepadanya, ‘Wahai Abu Hurairah! Aku telah meminta kepada Allâh Azza wa Jalla agar mengaruniaiku teman yang shalih, maka ajarilah aku sebuah hadits yang pernah kau dengar dari Rasûlullâh, semoga Allâh memberiku manfaat dengan hadits tersebut. Abu Hurairah Radhiyallahu anhu berkata: aku pernah mendengar Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِنَّ أَوَّلَ مَا يُحَاسَبُ بِهِ الْعَبْدُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ مِنْ عَمَلِهِ صَلاتُهُ فَإِنْ صَلُحَتْ فَقَدْ أَفْلَحَ وَأَنْجَحَ وَإِنْ فَسَدَتْ فَقَدْ خَابَ وَخَسِرَ
Sesungguhnya amalan seorang hamba yang pertama kali akan dihisab (dihitung) pada hari kiamat adalah shalatnya. Apabila shalatnya bagus maka sungguh dia telah beruntung dan sukses, (namun) sebaliknya bila shalatnya rusak maka dia akan celaka dan merugi[2] [Hadits ini hadits shahih]
Maka hendaklah kita memperhatikan dengan seksama, bagaimana keterkaitan yang erat antara kesuksesan seorang hamba pada momen kedua dengan bagusnya seorang hamba melalui momen pertama atau hubungan erat antara kerugian pada momen kedua dengan buruknya seorang hamba melalui momen pertama.
Orang yang menyia-nyiakan (momen penting pertamanya yaitu) shalatnya, meremehkannya, tidak benar saat menunaikannya, itu artinya dia telah memposisikan diri berada dalam kerugian –rela ataupun tidak rela- pada momen kedua saat berjumpa dengan Rabbnya. Saat itu dia akan menyesal, namun semuanya sudah terlambat, penyesalannya tidak akan bisa merubah keadaan.
Imam Ahmad meriwayatkan sebuah hadits dalam kitab Musnad, dari Abdullah bin ‘Amru bin al-‘Âsh c , dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwasanya pada suatu hari Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam berbicara tentang shalat. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ حَافَظَ عَلَيْهَا كَانَتْ لَهُ نُورًا وَبُرْهَانًا، وَنَجَاةً يَوْمَ الْقِيَامَةِ، وَمَنْ لَمْ يُحَافِظْ عَلَيْهَا لَمْ يَكُنْ لَهُ نُورٌ، وَلَا بُرْهَانٌ، وَنَجَاةٌ وَكَانَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ مَعَ قَارُونَ وَفِرْعَوْنَ وَهَامَانَ وَأُبَيِّ بْنِ خَلَفٍ
Barangsiapa menjaga shalatnya maka dia akan mendapatkan cahaya, bukti dan keselamatan pada hari kiamat. Dan barangsiapa tidak menjaga shalatnya, maka dia tidak akan mendapatkan cahaya, bukti, dan keselamatan, dan kelak pada hari kiamat dia akan dikumpulkan bersama Qârûn, Fir’aun, Hâmân, dan Ubay bin Khalaf” [3]
Barangsiapa menyia-nyiakan shalat berarti dia telah mengukuhkan dirinya – suka atau tidak – untuk siap dikumpulkan kelak di padang mahsyar bersama dengan para pembesar dan tokoh kekufuran dan kebatilan. Ketika seseorang dalam kehidupan dunia telah rela disibukkan oleh kebatilan, kesesatan, kedustaan, kefasikan, dan merelakan dirinya menjadi pengikut tokoh-tokoh sesat, serta penyeru kebatilan, maka dia pada hari kiamat akan dikumpulkan bersama orang-orang yang semisal dengannya. Allâh Azza wa Jalla berfirman:
احْشُرُوا الَّذِينَ ظَلَمُوا وَأَزْوَاجَهُمْ وَمَا كَانُوا يَعْبُدُونَ
(Kepada para Malaikat diperintahkan), “Kumpulkanlah orang-orang yang zhalim beserta teman sejawat mereka dan sembahan-sembahan yang selalu mereka sembah [As-Shaffât/37:22]
Semua orang pada hari kiamat akan dikumpulkan bersama dengan yang orang-orang yang sama dengan dia atau semisalnya dalam kehidupan dunia. Apabila saat hidup di dunia dia termasuk orang-orang yang mendirikan dan menjaga shalat di rumah-rumah Allâh (di masjid-masjid), maka dia akan mendapatkan kemuliaan di akhirat kelak dengan dikumpulkan bersama orang-orang yang senantiasa menjaga shalatnya, orang-orang yang senantiasa mentaati perintah Rabbnya, akan dikumpulkan bersama para Nabi dan orang-orang shalih. Dan sungguh mereka itu adalah sebaik-baik teman. (Namun, sebaliknya), barangsiapa tidak seperti itu keadaannya tatkala hidup di dunia, dia terlalaikan dari shalat oleh kefasikan, kesesatan, kebatilan, dan hal-hal yang sia-sia, berarti dia tidak ingin dikumpulkan bersama orang-orang shalih di atas dan dia akan dikumpulkan pada hari kiamat bersama orang-orang yang semisal dengan dia. Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
كُلُّ أُمَّتِي يَدْخُلُوْنَ الْجَنَّةَ إِلَّا مَنْ أَبَى، قَالُوا: يَا رَسُولَ اللَّهِ وَمَنْ يَأْبَى؟ قَالَ: مَنْ أَطَاعَنِي دَخَلَ الْجَنَّةَ، وَمَنْ عَصَانِي فَقَدْ أَبَى
“Semua ummatku akan masuk ke dalam surga kecuali orang yang tidak mau”, Para Shahabat g bertanya, ‘Wahai Rasûlullâh, siapakah orang yang tidak mau tersebut?’ Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Barangsiapa yang mentaatiku dia akan masuk ke dalam surga, dan barangsiapa yang menyelisihiku maka sungguh dialah orang yang tidak mau”[4]
Saudaraku kaum Muslimin!
Hendaklah kita serius memikirkan dan mempersiapkan momen penting pada hari kiamat. Ingatlah momen tersebut adalah momen yang pasti akan kita lalui atau hadapi. Sebuah momen yang susah dan menakutkan. Tahukah kalian wahai saudara-saudaraku, berapa lamakah momen tersebut? Momen tersebut sebanding dengan lima puluh ribu tahun. Manusia akan berdiri pada waktu yang saat itu seharinya sebanding dengan lima puluh ribu tahun. Sebangdingkah hari itu dengan hari-hari kita saat hidup di dunia? Kita umpakan kamu hidup di dunia ini enam puluh, tujuh puluh atau delapan puluh tahun, bahkan lebih, sebandingkah tahu-tahun tersebut dengan momen yang sulit tersebut? Sebandingkah tahun-tahun yang sedikit tersebut dengan hari yang sebanding dengan lima puluh ribu tahun?
Misalkan saja umur kita enam puluh tahun, sepertiga dari usia kita telah kita habiskan untuk tidur, karena kita tidur setiap harinya kira-kira delapan jam, padahal orang yang tidur tidak dicatat amalannya. Artinya, oarng yang berumur enam puluh tahun, dua puluh tahun dari umurnya tersebut telah dia gunakan untuk tidur. Kemudian dari enam puluh tahun itu juga kira-kira lima belas tahun pertama belum terkena taklîf ( belum baligh atau belum mukallaf), jika demikian faktanya, yang tersisa bagi kita (untuk beramal) dalam kehidupan hanya beberapa tahun saja.
Oleh karena itu, wahai saudara-saudaraku kaum Muslimin, -semoga Allâh Azza wa Jalla senantiasa menjaga kita- hendaklah kita senantiasa bertakwa kepada Allâh Azza wa Jalla dalam urusan shalat ini! Hendaklah kita terus menjaga momen ini di depan Allâh Azza wa Jalla ! Agungkanlah urusan shalat ini, maka pasti urusanmu di sisi Allâh Azza wa Jalla akan agung dan pasti engkau mendapatkan kedudukan tinggi! Janganlah kita menyia-nyiakan shalat, karena menyia-nyiakan shalat berarti kerugian nyata.
Disebutkan dalam kitab al-Mustadrak karya al-Hâkim, dari Shahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang bernama Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, bahwasanya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
يَوْمُ الْقِيَامَةِ عَلَى الْمُؤْمِنِيْنَ كَقَدْرِ مَا بَيْنَ الظُّهْرِ وَالْعَصْرِ
Bagi seorang Muslimin, hari kiamat itu seperti waktu antara shalat Zhuhur dan Ashar[5]
Dalam hadits ini disebutkan waktu diantara dua shalat. Disini terdapat peringatan kepada kita terhadap betapa besar dan pengaruh shalat dalam merealisasikan kondisi di atas.
Maka hendaklah kita bertakwa kepada Allâh dalam urusan shalat kita, sebuah kewajiban agung yang banyak diremehkan oleh manusia. Mereka menyia-nyiakan shalat, atau menyia-nyiakan syarat, rukun, dan hal-hal yang diwajibkan dalam shalat. Padahal menyia-nyiakan shalat merupakan sebab yang bisa menghalangi seseorang dari meraih kebaikan di dunia dan di akhirat, dan juga menjadi penyebab kerugian yang nyata. Janganlah kita membiarkan diri kita rela menerima kehidupan yang hina dan merugi (akibat meninggalkan shalat).
Wahai saudara-saudaraku kaum Muslimin!
Kebaikan apakah yang masih bisa diharapkan, atau keutamaan apakah yang bisa diinginkan apabila menyia-nyiakan shalat yang merupakan tali penghubung antara seorang hamba dengan Rabbnya?!
Ya Allâh, kami memohon kepada-Mu dengan perantara Nama-nama Mu yang paling indah dan sifat-sifat-Mu yang Maha tinggi, jadikanlah kami semua termasuk orang-orang yang senantiasa mendirikan shalat.
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 10/Tahun XVIII/1436H/2015M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196.Kontak Pemasaran 085290093792, 08121533647, 081575792961, Redaksi 08122589079 ]
_______
Footnote
[1] Diangkat dari kitab beliau Ta’zhîmus Shâlat, 30-35
[2] Hadits ini dikeluarkan oleh Imam at-Tirmidzi (413), an-Nasa’i (465) dan hadits ini dinilai shahih oleh Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani rahimahullah dalam Shahîh al-Jâmi’ ( 2020)
[3] Musnad, no. 6576. Syaikh Bin Baz mengatakan bahwa hadits ini diriwayatkan dengan sanad hasan (Majmû Fatâwâ, 10/278)
[4] HR. Imam al-Bukhâri (7280) dari hadist Abi Hurairah Radhiyallahu anhu
[5] (1/158) dan dishahihkan oleh Imam al-AlBani dalam Shahîh al- Jâmi’ (8193)
**| republished by Lentera Kabah
Lentera Kabah
Tidak ada komentar