Bagi yang kurang mengenal kesempurnaan dan keadilan agama Islam maka ia akan menilai bahwa hukuman/ had rajam adalah suatu yang keji dan kejam, tidak berperikemanusiaan sebagaimana yang digembar-gemborkan oleh negara-negara kafir atas nama tunganggan Hak Asasi Manusia. Akan tetapi jika mau mempelajari Islam lebih dalam maka ia akan melihat bahwa ajaran Islam adalah sempurna, adil dan paling sesuai dengan kodrat manusia.
Penetapan syariat had rajam tersimpan hikmah yaitu menjaga nasab dan kejelasan keturunan dan juga menunjukkan sulitnya jatuh kehormatan seorang muslim. Artinya tidak gampang menerapkan hukum had rajam dan membuktikan bahwasanya seorang muslim telah berzina. Berikut pembahasannya
Jika menuduh muslim berzina dan tidak membawa saksi, harus dicambuk
Islam sangat melindungi kehormatan seorang muslim dan tidak mudah jatuh kehormataannya, Allah Ta’ala berfirman,
وَالَّذِينَ يَرْمُونَ الْمُحْصَنَاتِ ثُمَّ لَمْ يَأْتُوا بِأَرْبَعَةِ شُهَدَاء فَاجْلِدُوهُمْ ثَمَانِينَ جَلْدَةً
وَلَا تَقْبَلُوا لَهُمْ شَهَادَةً أَبَداً وَأُوْلَئِكَ هُمُ الْفَاسِقُونَ
“Dan orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik (berbuat zina) dan mereka tidak mendatangkan empat orang-orang saksi, maka deralah mereka (yang menuduh itu) delapan puluh kali cambukan, dan janganlah kamu terima kesaksian yang mereka buat selama-lamanya. Dan mereka itulah orang-orang yang fasik.” [An-Nuur: 4]
Sehingga seseorang tidak boleh main tuduh sembarangan tanpa bukti, dan menuduh berzina seperti ini termasuk dosa besar yang membinasakan. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ
اجْتَنِبُوا السَّبْعَ الْمُوبِقَاتِ قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ وَمَا هُنَّ قَالَ الشِّرْكُ بِاللَّهِ وَالسِّحْرُ
وَقَتْلُ النَّفْسِ الَّتِي حَرَّمَ اللَّهُ إِلَّا بِالْحَقِّ وَأَكْلُ الرِّبَا وَأَكْلُ مَالِ الْيَتِيمِ
وَالتَّوَلِّي يَوْمَ الزَّحْفِ وَقَذْفُ الْمُحْصَنَاتِ الْمُؤْمِنَاتِ الْغَافِلَاتِ
Dari Abu Hurairah, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam , beliau bersabda, “Jauhilah tujuh (dosa) yang membinasakan!” Mereka (para sahabat) bertanya, “Wahai Rasulullah, apakah itu?” Beliau menjawab, “Syirik kepada Allah; sihir; membunuh jiwa yang Allah haramkan kecuali dengan haq; memakan riba; memakan harta anak yatim; berpaling dari perang yang berkecamuk; menuduh zina terhadap wanita-wanita merdeka yang menjaga kehormatan, yang beriman, dan yang bersih dari zina.” (Hadits Shahih Riwayat Bukhari, no. 3456; Muslim, no. 2669)
Jadi menuduh zina sembarangan ada ancamannya di dunia dan akhirat
Harus ada empat saksi laki-laki, tidak boleh kurang
Tidak boleh ada salah satu saksi wanita dari keempat saksi dan jika kurang dari empat maka persaksian ditolak dan yang menuduh dan yang menjadi saksi dicambuk semuanya. Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di rahimahullahu berkata,
و من قذف بالزنى محصنا أو شهد عليه به, ولم تكمل الشهادة: جلد ثمانين جلدة
“Barangsiapa menuduh berzina seorang “muhshan” [yang menjaga kehormataannya] atau menjadi saksi, dan saksi belum lengkap [empat orang laki-laki] maka dicambuk 80 kali” [Manhajus Salikin Wa Taudihil Fiqh Fid Din hal. 240, cetakan pertama, Darul Wathan]
Syaikh Abdul Adzim Badawi Hafidzahullah menjelaskan,
فإذا سهد ثلاثة و تخلف الرابع حد الثلاثة خد القذف,
للأية الكريمة و لما جاء قسامة بن زهير
“jika bersaksi tiga orang dan saksi keempat menyelisihi, maka tiga orang saksi tersebut dicambuk sebagaimana dicambuknya penuduh karena dalil di ayat yang mulia [An-Nur:4] dan hadits Qusamah bin Zuhair” [Al-Wajiz Fi Fiqhis Sunnah Wal Kitabil Aziz hal. 435, cet. III, Dar Ibnu Rajab]
dari Qusamah bin Zuhair, ia berkata, “Ketika terjadi masalah antara Abi Bakrah dengan al-Mughirah -lalu menyebutkan kelanjutannya-.” (Perawi) berkata, “Kemudian ia memanggil para saksi. Kemudian Abu Bakrah, Syibl bin Ma’bad, dan Abu ‘Abdillah Nafi’ memberikan persaksian. Tatkala mereka bertiga telah bersaksi, ‘Umar berkata, ‘Urusannya membuat ‘Umar merasa berat.’ Tatkala Ziyad datang ia berkata, ‘Insya Allah, engkau tidak bersaksi melainkan dengan kebenaran.’ Ziyad berkata, ‘Adapun zina, aku tidak bersaksi atasnya, namun aku telah melihat perkara yang menjijikkan.’ ‘Umar berkata, ‘Allahu Akbar, laksanakan hukum hadd terhadap mereka dan cambuklah mereka!’ Perawi mengatakan, “Berkata Abu Bakrah setelah ia dipukul, ‘Aku bersaksi bahwa ia seorang pezina.’ Kemudian ‘Umar bermaksud mengulangi hukuman cambuk atasnya, maka ‘Ali Radhiyallahu ‘anhu melarangnya seraya berkata, ‘Jika engkau mencambuknya, maka rajamlah temanmu.’ Maka ‘Umar meninggalkannya dan beliau tidak mencambuknya lagi.” [Sanadnya shahih: Al-Irwaa’ VIII/29, al-Baihaqi VIII/334]
lihat, betapa sulitnya membuktikan, harus empat orang saksi laki-laki, jika melihat maka ia harus mencari empat orang dulu, kemudian mengajak mereka melihat. Inilah yang dirasakan oleh sahabat Hilal bin Umayyah yang melihat dengan nyata Istrinya berzina dengan lelaki lain, akan tetapi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tetap meminta empat orang saksi laki-laki, beliau berkata kepada Hilal bin Umayyah,
البينة أو حد في ظهرك
“Bukti/saksi atau had cambuk kepunggungmu?”
Berkata Hilal bin Umayyah,
يا رسول الله, إذا رأى أحدنا على امراته رجلا يلتمس البينة؟
“Wahai Rasulullah, apakah jika seseorang melihat istrinya bersama laki-laki lain kemudian harus mencari saksi?
Akan tetapi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tetap mengharuskan dan bersabda menegaskan,
البينة و إلا حد في ظهرك
“Bukti/saksi jika tidak had cambuk kepunggungmu?” [HR. Bukhari no.4747]
Harus melihat “seperti ember masuk ke sumur”
Syaikh Abdul Adzim Badawi Hafidzahullah berkata,
فإذا شهد أربعة رجال من المسلمين الأحرار العدول بأنهم رأوا ذكر فلان
في فرج فلانة كالمرود في المكحلة, و الرشاء في البئر, حد الرجل و المرأة
“Jika bersaksi empat orang muslim merdeka dan adil bahwasanya mereka melihat kemaluan laki-laki masuk pada kemaluan wanita seperti celak masuk ke tempat celak dan seperti ember masuk ke sumur, maka laki-laki dan wanita tersebut dirajam” [Al-Wajiz Fi Fiqhis Sunnah Wal Kitabil Aziz hal. 435, cet. III, Dar Ibnu Rajab
Jadi jika sekedar melihat laki-laki dan wanita menempel badannya tanpa melihat seperti ember masuk ke sumur, maka tidak bisa menjadi bukti. Ini membuktikan lagi bahwa sulit menjatuhkan kehormatan seorang muslim.
Pelaku zina Harus sudah menikah/muhshan dan sudah bersetubuh, baru dirajam
Syaikh Abdullah Al-Jibrin Rahimahullahu berkata,
و المحصن: هو الذي قد تزوج زواجا صحيحا و قد وطئ امراة
و هما حران مكلفان, فإذا تزوج و لم يدخل بزوحته فلا يصير محصنا
كما إذا لم يتزوج فهو غير محصن, و إذا تزوج و دخل قبل التكليف,
أي: قبل البلوغ أو في حالة الجنون, فلا يصير محصنا
“ Muhshan adalah seseorang yang telah menikah dengan pernikahan yang sah dan telah bersetubuh dengan istrinya, dan keduanya merdeka dan mukallaf/ baligh, jika telah menikah dan belum bersetubuh dengan istrinya maka tidak disebut muhshan. Begitu juga jika belum menikah [kemudian berhubungan badan/zina] maka tidak disebut muhshan, jika sudah menikah dan bersetubuh sebelum “taklif” yaitu akil baligh atau dalam keadaan kurang waras maka tidak disebut muhshan” [Ibhajul Mu’minin Syarh Manhajus Salikin jilid II hal 389, cet. I, Darul Wathan]
Syaikh Abdullah Al Bassam rahimahullahu menjelaskan,
المحصن: هو من جامع في نكاح صحيح, و هو حر مكلف,
أن حد الزاني الذي لم يحصن, مائة جلدة و يغريب عام
“Muhshan adalah seseorang yang sudah berhubungan badan dalam pernikahan yang sah, sedangkan hukuman had bagi yang bukan muhshan adalah dicambuk 100 kali da diasingkan satu tahun” [Taisir Allam Syarh Umdatul Ahkam hal. 481, cet. II, Darul Kutubil ‘Ilmiyyah].
Jika mengaku berzina dan kemudian menarik pengakuan, tidak jadi dirajam
Jika ia mengaku berzina di depan pengadilan dan qhadi, kemudian ia tarik kembali pengakuannya, maka ia tidak jadi dirajam berdasarkan hadits Nu’aim bin Hazzal,
Dahulu Ma’iz bin Malik adalah seorang anak yatim dalam pengasuhan ayahku, lalu ia berzina dengan seorang budak wanita dari suatu kabilah (al-hadits), sampai perkataan perawi, “Kemudian Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan agar ia dirajam, lalu ia dibawa ke-luar menuju padang pasir. Pada saat ia dirajam dan merasakan sakitnya lemparan batu, ia tidak sabar menahan sakit dan akhirnya berontak. Lalu ia lari keluar dan terkejar oleh ‘Abdullah bin Unais sementara para sahabatnya telah kepayahan. Kemudian ia mengambil wadzifu ba’iir [yaitu tulang siku dan kaki kuda atau unta] dan dilemparkan kepadanya sehingga membunuhnya. Kemudian ia mendatangi Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan menceritakan hal tersebut. Lalu beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
هَلاَّ تَرَكْتُمُوْهُ لَعَلَّهُ أَنْ يَتُوْبَ فَيَتُوْبَ اللهُ عَلَيْهِ.
“Kenapa tidak kalian biarkan ia pergi, bisa jadi ia bertaubat dan Allah menerima taubatnya.” [Shahih: Shahiih Sunan Abi Dawud no. 3716, Sunan Abi Dawud XII/99, no. 4397]
Kasusnya Harus sampai kepada pemerintah/pengadilan qhadi
Jika seseorang berzina dan yang mengetahui tidak melaporkan ke pemerintah/qhadi, maka ia tidak dirajam. Bahkan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam lebih suka agar orang yang berzina, menyembunyikan aibnya dan bertaubat kepada Allah.
Dari Sulaiman bin Baridah dari ayahnya, ia menerangkan bahwasanya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam didatangi seorang wanita dari suku Ghamid dari daerah Azd, lalu wanita itu berkata, “Wahai Rasulullah, sucikanlah aku.” Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
وَيْحَكِ اِرْجِعِي فَاسْتَغْفِرِيْ اللهَ وَتُوبِي إِلَيْهِ! فَقَالَتْ: أَرَاكَ تُرِيْدُ أَنْ تُرَدِّدَنِي
كَمَا رَدَّدْتَ مَاعِزَ بْنَ مَالِكٍ، قَالَ: وَمَا ذَاكِ؟ قَالَتْ: إِنَّهَا حُبْلَى مِنَ الزِّنَى، فَقَالَ: أَنْتِ؟
قَالَتْ: نَعَمْ، فَقَالَ لَهَا حَتَّى تَضَعِي مَا فِي بَطْنِكِ، قَالَ: فَكَفَلَهَا رَجُلٌ مِنَ اْلأَنْصَارِ
حَتَّى وَضَعَتْ، قَالَ: فَأَتَى النَّبِيَّ j، فَقَالَ: قَدْ وَضَعَتِ الْغَامِدِيَّةُ، فَقَالَ:
إِذًا لاَ نَرْجُمُهَا وَنَدَعُ وَلَدَهَا صَغِيْرًا لَيْسَ لَهُ مَنْ يُرْضِعُهُ،
فَقَامَ رَجُلٌ مِنَ اْلأَنْصَارِ فَقَالَ: إِلَيَّ رَضَاعُهُ يَا نَبِيَّ اللهِ، قَالَ: فَرَجَمَهَا.
“Celaka engkau! Pulanglah dan mintalah ampun kepada Allah serta bertaubatlah!” Kemudian wanita itu menjawab, “Aku melihat engkau menolak (pengakuan)ku sebagaimana engkau menolak (pengakuan) Ma’iz bin Malik.” Beliau bersabda, “Apa yang terjadi padamu?” Wanita itu menjawab, “Ini adalah ke-hamilan dari perzinaan.” Beliau meyakinkan, “Apakah engkau melakukannya?” Ia menjawab, “Benar.” Lalu beliau bersabda kepadanya, “Sampai engkau melahirkan apa yang engkau kandung.” (Perawi) berkata, “Lalu wanita itu ditanggung kesehari-annya oleh seorang laki-laki dari Anshar sampai melahirkan.” (Perawi) melanjutkan, “Kemudian ia (laki-laki Anshar) men-datangi Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan berkata, ‘Perempuan Ghamidiyyah itu sudah melahirkan.’ Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Kalau begitu, kita tidak akan merajamnya dan membiarkan anaknya yang masih kecil tanpa ada yang menyusui.’ Lalu seorang laki-laki dari Anshar berkata, ‘Aku yang akan bertanggung jawab atas penyusuannya, wahai Nabi Allah.’” (Perawi) berkata, “Maka Nabi pun merajam wanita tersebut.” [Shahih: Mukhtashar Shahih Muslim no. 1039, Shahiih Muslim III/1321, no. 1695]
Rajam harus dilakukan oleh pemerintah yang sah
Jika seseorang terbukti berzina baik dengan empat saksi laki-laki atau mengaku atau ia hamil dan belum menikah, maka walaupun ia mendapat had rajam, hukuman harus dilakukan oleh pemerintah atau qhadi yang berwenang. Semisal di negara Indonesia misalnya, maka tidak boleh sekelompok orang atau masyarakat merajam seseorang tanpa perintah dari pemerintah. Sebagaimana rajam di zaman Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka atas perintah beliau karena beliau adalah pemerintah yang sah.
Dari Abu Hurairah dan Zaid bin Khalid, keduanya menceritakan bahwa ada dua orang yang bertengkar menghadap Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan seseorang dari mereka berkata, “Putuskanlah perkara kami dengan Kitabullah.” Dan berkata yang satunya -dan ia yang lebih mengerti hukum-, “Benar wahai Rasulullah, putuskanlah perkara kami dengan Kitabullah dan izinkan aku berbicara.” Beliau bersabda, “Bicaralah!” Ia berkata, “Sesungguhnya anakku bekerja untuk orang ini, kemudian ia (anakku) berzina dengan isterinya. Lalu orang-orang memberitahu bahwa anakku harus dirajam. Kemudian aku menebusnya dengan seratus kambing dan seorang budak wanitaku. Setelah itu aku bertanya kepada ahli ilmu dan mereka memberitahukan kepadaku bahwa anakku harus dicambuk seratus kali dan diasingkan selama satu tahun. Adapun rajam hanya bagi isteri orang ini.” Lalu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Adapun aku -demi Rabb yang jiwaku berada pada-Nya, aku akan memutuskan perkara kalian dengan Kitabullah, adapun kambing dan budak wanitamu, maka akan dikembalikan kepadamu.” Kemudian beliau mencambuk anaknya seratus kali dan mengasingkannya setahun. Lalu menyuruh Unais al-Aslami untuk mendatangi isteri pihak yang bertengkar. Apabila ia mengaku, ia akan merajamnya. Maka wanita itu pun mengaku dan ia pun dirajam.” [HR. Bukhari XII/136, no. 6828, 27, Muslim III/1324, no. 1698, 97]
Jika dipaksa berzina, maka tidak dirajam
Orang yang diperkosa atau dipaksa juga tidak dirajam walaupun ia sudah menikah/muhshan
Dari Abu ‘Abdirrahman as-Sulami, ia berkata, “Dihadapkan kepada ‘Umar bin al-Khaththab Radhiyallahu ‘anhu seorang wanita (yang dipaksa berzina). Pada suatu hari wanita tersebut sangat kehausan, lalu ia mendatangi seorang penggembala untuk meminta air. Namun penggembala itu enggan memberinya, kecuali jika ia mau berzina dengannya, maka wanita itu pun terpaksa melakukannya. Lalu orang-orang berunding untuk merajamnya. Kemudian ‘Ali Radhiyallahu ‘anhu berkata, ‘Ia dalam keadaan terpaksa, pendapatku hendaknya kalian membebaskannya.’ Maka beliau (‘Umar Radhiyallahu ‘anhu) pun melepaskannya.” [Shahih: Al-Irwaa’ no. 2313, al-Baihaqi VIII/236]
Alhamdulillahilladzi bi ni’matihi tatimmush sholihaat, wa shallallahu ‘ala nabiyyina Muhammad wa ‘ala alihi wa shohbihi wa sallam.
Penyusun: Raehanul Bahraen
**| republished by Lentera Kabah
Lentera Kabah
Tidak ada komentar