Nu’man bin Tsabit adalah salah seorang pendiri mazhab fiqih yang diakui dalam Islam. Ia lebih dikenal dengan nama Imam Abu Hanifah, madzab yang didirikannya dikenal dengan nama madzab Hanafiyah.
Abu Hanifah merupakan guru besar fiqih di kawasan Iraq. Mazhab fiqihnya kental dengan suasana ra’yu (analisa akal fikiran). Sebab, daerah tempat tinggalnya memang jauh dari sumber hadits. Hadits-hadits Rasulullah SAW yang sampai di Iraq lebih banyak yang palsu dan dha’if daripada yang shahih.
Tentu, kefaqihan dan kedalaman ilmu Abu Hanifah tidak didapat secara instan. Semua itu didapat dengan kesungguhan dalam menuntut ilmu dan keistiqomahan di dalamnya. Seperti jamaknya orang-orang yang memegang teguh agamanya, hal pertama yang dilakukan Abu Hanifah adalah menghafalkan Al-Qur’an. Abu Hanifah belajar ilmu qira’ah kepada imam Ashim, salah satu imam Qira’ah Sab’ah (tujuh jenis bacaan Al-Qur’an).
Sebelum berguru kepada ulama, Abu Hanifah adalah seorang pedagang karena ayahnya seorang pedagang. Dan ia tetap menjalani profesinya ini seumur hidupnya. Profesi pedagang ini membuatnya mahir membuat kaidah-kaidah fiqih yang terkait dengan perdagangan berdasarkan dalil-dalil agama yang kuat.
Praktek Dagang Imam Abu Hanifah
Perniagaan orang awam dan para ulama tentu berbeda. Tidak hanya keuntungan yang dikejar, keberkahan dan kejujuranlah yang senantiasa diutamakan. Abu Bakar Ash-Shiddiq adalah teladan Abu Hanifah dalam berdagang, bergaul, bertakwa, dan mencari keuntungan yang halal.
Lantas, seperti apa praktek dagang yang dijalankan imam Abu Hanifah? Berikut ini kisahnya:
Teladan Pertama
Suatu hari, seorang wanita menawarkan sepotong baju sutra seharga 100 dirham. Abu Hanifah memeriksanya dan mengatakan, “Kamu bisa menawarkannya lebih mahal lagi.”
Wanita itu pun menawarkannya 200 dirham. Lalu menawarkannya lagi dan menawarkannya lagi hingga mencapai 400 dirham.
Abu Hanifah tetap berkata, “Kamu bisa menawarkannya lebih mahal lagi,”
“Kamu menghinaku?” jawab wanita itu sedikit marah.
“Tidak!” jawab Abu Hanifah sambil meminta maaf, “Panggil seseorang untuk menaksirnya.”
Akhirnya, wanita itu memanggil seseorang dan ia menaksirnya 500 dirham. Abu Hanifah pun membelinya.
Teladan Kedua
Pada kesempatan lain, seorang wanita tua bermaksud membeli sepotong baju darinya.
“Kamu cukup membayarnya empat dirham saja,” kata Abu Hanifah.
“Kamu menghinaku karena aku seorang wanita tua?” bentak wanita tua itu.
“Tidak,” jawab Abu Hanifah. Ia lalu menjelaskan, “Aku membeli dua baju dan aku telah menjual salah satunya sebesar modal yang aku keluarkan yang kurang empat dirham. Karena itu, baju ini aku hargai empat dirham.”
Teladan Ketiga
Pada suatu pagi, Abu Hanifah berniat pergi mengunjungi salah seorang kerabatnya dengan meninggalkan salah satu rekannya di toko. Dan sebelum berangkat, Abu Hanifah memberitahunya bahwa salah satu baju sutra yang dijualnya punya cacat yang tidak kelihatan. Karenanya, ia harus memberitahukannya kepada orang yang akan membelinya.
Saat pulang, Abu Hanifah tak melihat baju itu.
“Di mana baju sutra yang cacat tadi?” tanya Abu Hanifah
“Dibeli seorang pria dari Syam,” jawab rekannya
“Kamu memberitahukan cacatnya?” sahut Abu Hanifah
“Tidak.” jawab rekannya
Abu Hanifah pun mencari pria Syam tersebut selama seminggu penuh untuk memberitahukan cacatnya dan mengembalikan separuh uang yang telah diberikannya. Namun sayang, dia tak menemukannya. Ia pun menyedekahkan seluruh uang yang diperoleh dari penjualan baju tersebut dan memutus hubungan dengan rekanannya itu.
Subhanallah, seandainya seluruh pedagang di dunia ini berakhlak seperti Abu Hanifah, bukan tidak mungkin lapis-lapis keberkahan akan menyelimuti seluruh manusia.
Disadur dari buku “Biografi Empat Imam Mazhab” karya Abdul Aziz Asy-Syinawi, Penerbit Aqwam[www.tribunislam.com]
**: kiblat.net
**| republished by Lentera Kabah
Lentera Kabah
Tidak ada komentar