logo blog

LANTANG! Elisa Sutanudjaja: Saya KECEWA dan PROTES Atas Keterlibatan Keuskupan Agung Jakarta Dalam Parade 19/11

LANTANG! Elisa Sutanudjaja: Saya KECEWA dan PROTES Atas Keterlibatan Keuskupan Agung Jakarta Dalam Parade 19/11



 Dalam catatan terdahulu berjudul "Membaca Keberpihakan Parade Bhinneka Tunggal Ika", telah dituliskan tentang adanya dua sisi mata uang dalam aksi yang diikuti dan didukung beberapa aktivis perempuan, pemerhati isu gender dan rohaniwan rohaniwati Katolik serta pemuka lintas agama.

Ahad malam, 20 November 2016, sebuah status twitter milik Elisa Sutanudjaja, seorang pemerhati perkotaan yang aktif mengawal kasus penggusuran di berbagai lokasi di Jakarta, mengejutkan beberapa netizen.

Cornelia Elisa Sutanudjaja, demikian nama lengkap perempuan cerdas yang selalu menunjukkan keberpihakan nyata pada kaum urban perkotaan, menuliskan sebuah "surat terbuka" sebagai otokritik.

Tak tanggung-tanggung, yang dikritik Elisa adalah sebuah institusi suci tempat dimana Elisa bernaung sebagai umat. Ya. Elisa membuat surat terbuka kepada Uskup Agung Jakarta, pimpinan hierarki Gereja Katolik tertinggi untuk wilayah Jakarta.

Surat terbuka yang ditulis Elisa pada laman faceboknya ini berisi kekecewaan Elisa atas diamnya Institusi Gereja Katolik Jakarta pada kasus-kasus penggusuran masyarakat miskin kota yang menurut Elisa sangat bertentangan dengan pokok ajaran kasih.

Kekecewaan Elisa pada Keuskupan Agung Jakarta bertambah setelah ia melihat adanya dukungan, dalam bahasa Elisa sebuah "endorse" pada Parade Tunggal Ika 19 November 2016 lalu.

Elisa, yang banyak menggeluti persoalan real dan selalu menunjukkan keberpihakan nyata pada kaum urban perkotaan Jakarta, yang di era pemerintahan Ahok kerap mengalami relokasi paksa, memahami bahwa Aksi 19/11  berpotensi menambah lebar jurang perbedaan di antara umat beragama. Lebih jauh lagi Elisa sangat yakin bahwa Aksi ini sarat unsur politisasinya.

Berikut isi surat terbuka Elisa kepada USkup Agung Jakarta Monseigneur Ignasius Suharyo:

Menanggapi keterlibatan Keuskupan Agung Jakarta pada Parade tanggal 19 November 2016.
Tanggal 28 September 2016, setelah penggusuran Bukit Duri, saya menuliskan seruan domba kepada gembala saya, yaitu Uskup Agung Jakarta. Bagi yang mengetahui bahwa saya menulis surat tersebut kerap meminta saya agar membuatnya juga menjadi surat terbuka, terlebih setelah tidak ada tanggapan sama sekali dari KAJ.
Kemarin saya membaca tanggapan KAJ terhadap aksi tanggal 19 November (hari ini) dan keterlibatan romo-romo. Karena itu akhirnya saya memutuskan membuka surat ini kepada umum.
Di saat institusimu dan agamamu kemungkinan mendapatkan ancaman, kalian cepat dan tanggap sekali bereaksi. Namun ketika kaum-kaum yang dikasihi Tuhanmu terus menerus tergusur dan mengalami kekerasan, kamu diam.
——-
Jakarta, 28 September 2016
Kepada Yth.
Uskup Agung Jakarta
Mgr. Ignatius Suharyo
Keuskupan Agung Jakarta
Salam damai,
Perkenalkan nama saya Cornelia Elisa Sutanudjaja. Saya menuliskan seruan ini untuk disampaikan kepada Uskup Agung Jakarta, Mgr. Ignatius Suharyo, selaku gembala umat Katolik dan perwakilan Paus Fransiskus I di Keuskupan Agung Jakarta.
Saya memaparkan kejadian biadab yang terus terulang di Jakarta yang berlawanan dengan prinsip cinta kasih dan kemanusian. Dalam 13 bulan ke belakang, saya menyaksikan 4 penggusuran dengan mata saya sendiri. Saya menyaksikan penggusuran Kampung Pulo, dengan ribuan aparat dan belasan alat berat meratakan rumah-rumah warga. Saya menyaksikan puluhan truk-truk berisikan ribuan aparat gabungan meninggalkan Kalijodo paska meratakan Kalijodo yang telah berusia lebih dari 2 abad. April 2016, saya menyaksikan aparat dan alat berat meratakan Kampung Pasar Ikan dan Aquarium sambil diiringi tangisan dan gema Allahuakbar para ibu.
Dan hari ini, saya kembali menyaksikan penggusuran di Bukit Duri dengan ratusan aparat melawan 100an keluarga. Saya hanya berjarak 5 meter dari alat berat, dan menyaksikan menghancurkan rumah satu-persatu tanpa mempedulikan sejarah panjang, kehidupan sosial ekonomi dan budaya yang sudah mengakar lebih dari 1 abad di Bukit Duri. Di saat bersamaan, warga-warga Bukit Duri berusaha mendapatkan keadilan dengan berproses di Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tata Usaha Negara pada saat penggusuran terjadi.

Saya menyaksikan bagaimana alat berat menghancurkan pelan-pelan Sanggar Ciliwung Merdeka yang didirikan Bapak Sandyawan Sumardi, yang adalah bagian dari keluarga Katolik, seperti saya dan anda.
Selama 13 bulan ini, sama sekali saya tidak mendengar suara Keuskupan Agung Jakarta terhadap penggusuran yang terjadi di Jakarta. Dalam tahun 2015, menurut data LBH Jakarta, telah terjadi 113 kasus penggusuran paksa, yang melibatkan aparat Satpol PP, Kepolisian hingga Militer. Penggusuran Pasar Ikan sendiri membawa 4000 aparat gabungan. Sebagai umat Katolik saya bertanya, dimanakah Gereja Katolik? Dimana posisi Gereja Katolik dalam membela hak hidup manusia, terutama kaum miskin yang selama ini menjadi prioritas Tuhan Yesus Kristus? Sementara di saat bersamaan, ada pastur di salah satu gereja yang alih-alih membangun solidaritas terhadap rakyat miskin malah menggunakan jubahnya untuk mengkampanyekan Gubernur.
Dalam ensiklik luar biasa yang dikeluarkan oleh Paus kita, Laudato Si, tertulis jelas:
152. Lack of housing is a grave problem in many parts of the world, both in rural areas and in large cities, since state budgets usually cover only a small portion of the demand. Not only the poor, but many other members of society as well, find it difficult to own a home. Having a home has much to do with a sense of personal dignity and the growth of families. This is a major issue for human ecology. In some places, where makeshift shanty towns have sprung up, this will mean developing those neighbourhoods rather than razing or displacing them. When the poor live in unsanitary slums or in dangerous tenements, “in cases where it is necessary to relocate them, in order not to heap suffering upon suffering, adequate information needs to be given beforehand, with choices of decent housing offered, and the people directly involved must be part of the process”.[118]
At the same time, creativity should be shown in integrating rundown neighbourhoods into a welcoming city: “How beautiful those cities which overcome paralyzing mistrust, integrate those who are different and make this very integration a new factor of development! How attractive are those cities which, even in their architectural design, are full of spaces which connect, relate and favour the recognition of others!”[119]

Dalam ensiklik tersebut, total jumlah kata miskin dan kemiskinan adalah 71 kata, menunjukkan betapa besar prioritas ensiklik dan Paus Fransiskus i terhadap kaum miskin.
Selama ini praktek penggusuran yang terjadi di DKI Jakarta sangat berlawanan dengan apa yang diharapkan dalam Ensiklik, bahwa seharusnya rumah adalah bagian dari martabat manusia. Dan jikapun kondisi permukiman ada pada kondisi yang memungkinkan, upaya relokasi harus menjadi alternatif terakhir dengan syarat-syarat yang demikian berat. Bahkan tidak ada satu kata penggusuran paksa dalam Ensiklik ini.
Sudah begitu banyak penggusuran terjadi, hingga akhirnya hanya seperti statistik saja, sementara Gereja Katolik sebagai pembela orang miskin hanya diam menyaksikan. Karena itu saya sebagai umat Katolik dan intelektual publik, mendesak Uskup Agung Jakarta dan Gereja Katolik untuk bersikap tegas sesuai dengan mandatnya untuk melindungi kaum miskin dan terpinggirkan.
Salam hormat,
Elisa Sutanudjaja

**| republished by Lentera Kabah
Lentera Kabah

Share this:

Enter your email address to get update from ISLAM TERKINI.

Tidak ada komentar

About / Contact / Privacy Policy / Disclaimer
Copyright © 2015. Fajar Islam - All Rights Reserved
Template Proudly Blogger