SESEORANG yang memiliki harta berlebih, maka alangkah lebih baik jika ia mengeluarkan hartanya di jalan Allah SWT. Sedekah melalui harta itu lebih baik baginya. Sebab, ada hak orang lain dari harta yang ia miliki itu. Dan hak itu wajib untuk ditunaikan. Dengan begitu, kemaslahatan di antara lingkungan masyarakat akan terjalin dengan baik.
Tetapi, tahukah Anda bahwa ternyata ada yang lebih baik daripada sedekah? Qurban merupakan cara memberi yang lebih baik daripada sedekah. Hal ini dikatan oleh banyak ulama.
Mereka menjelaskan bahwa menyembelih hewan qurban pada hari idul Adha lebih utama daripada sedekah yang senilai atau harga hewan qurban atau bahkan sedekah yang lebih banyak daripada nilai hewan qurban. Karena maksud terpenting dalam berqurban adalah mendekatkan diri kepada Allah. Di samping itu, menyembelih qurban lebih menampakkan syi’ar Islam dan lebih sesuai dengan sunnah (lihat Shahih Fiqh Sunnah 2/379 & Syarhul Mumthi’ 7/521).
Jadi, ketika kita memiliki rezeki berlebih di hari Idul Adha, lebih baik kita berqurban. Sebab, dengan berqurban, sama halnya kita bersedekah dengan daging hewan yang kita qurbankan. Sehingga, mereka, orang-orang yang tidak mampu pun merasakan nikmatnya menyantap daging qurban. Memang, apa sih hukumnya berqurban?
Dalam hal ini para ulama terbagi dalam dua pendapat:
Pertama, wajib bagi orang yang berkelapangan. Ulama yang berpendapat demikian adalah Rabi’ah (guru Imam Malik), Al-Auza’i, Abu Hanifah, Imam Ahmad dalam salah satu pendapatnya, Laits bin Sa’ad serta sebagian ulama pengikut Imam Malik, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, dan Syaikh Ibnu ‘Utsaimin Rahimahumullah.
Syaikh Ibn Utsaimin mengatakan, “Pendapat yang menyatakan wajib itu tampak lebih kuat daripada pendapat yang menyatakan tidak wajib. Akan tetapi hal itu hanya diwajibkan bagi yang mampu,” (lihat Syarhul Mumti’, III/408).
Di antara dalilnya adalah hadis Abu Hurairah yang menyatakan bahwa Rasulullah ﷺ bersabda, “Barangsiapa yang berkelapangan (harta) namun tidak mau berqurban maka jangan sekali-kali mendekati tempat shalat kami,” (HR. Ibnu Majah 3123, Al Hakim 7672 dan dihasankan oleh Syaikh Al Albani).
Pendapat kedua menyatakan Sunnah Mu’akkadah (ditekankan). Dan ini adalah pendapat mayoritas ulama yaitu Malik, Syafi’i, Ahmad, Ibnu Hazm dan lain-lain. Ulama yang mengambil pendapat ini berdalil dengan riwayat dari Abu Mas’ud Al-Anshari Radhiyallahu ‘anhu. Beliau mengatakan, “Sesungguhnya aku sedang tidak akan berqurban. Padahal aku adalah orang yang berkelapangan. Itu kulakukan karena aku khawatir kalau-kalau tetanggaku mengira qurban itu adalah wajib bagiku,” (HR. Abdur Razzaq dan Baihaqi dengan sanad shahih).
Demikian pula dikatakan oleh Abu Sarihah, “Aku melihat Abu Bakar dan Umar sementara mereka berdua tidak berqurban,” (HR. Abdur Razzaaq dan Baihaqi, sanadnya shahih).
Ibnu Hazm berkata, “Tidak ada riwayat shahih dari seorang sahabat pun yang menyatakan bahwa qurban itu wajib,” (lihat Shahih Fiqih Sunnah, II/367-368, Taudhihul Ahkaam, IV/454).
Dalil-dalil di atas merupakan dalil pokok yang digunakan masing-masing pendapat. Jika dijabarkan semuanya menunjukkan masing-masing pendapat sama kuat. Sebagian ulama memberikan jalan keluar dari perselisihan dengan menasehatkan, “Selayaknya bagi mereka yang mampu, tidak meninggalkan berqurban. Karena dengan berqurban akan lebih menenangkan hati dan melepaskan tanggungan, wallahu a’lam,” (Tafsir Adwa’ul Bayan, 1120).
Yakinlah, bagi mereka yang berqurban, Allah akan segera memberikan ganti biaya qurban yang dia keluarkan. Karena setiap pagi Allah mengutus dua malaikat. Yang satu berdo’a, “Ya Allah, berikanlah ganti bagi orang yang berinfaq.” Dan yang kedua berdo’a, “Ya Allah, berikanlah kehancuran bagi orang yang menahan hartanya (pelit),” (HR. Al Bukhari 1374 & Muslim 1010).
Jadi, selagi ada kesempatan dan rezeki sedang dilapangkan, berqurbanlah. Pikirkanlah bahwa hidup di dunia ini hanyalah sementara. Boleh jadi, tahun depan Allah SWT tidak lagi memberikan kesempatan kita untuk berqurban.
**| republished by Lentera Kabah
Lentera Kabah
Tidak ada komentar