Oleh
Ustadz Abu Ihsan al-Atsary
Bani Abbâsiyah atau kekhalifahan Abbâsiyah adalah kekhalifahan Islam kedua yang berkuasa di Baghdad (sekarang ibu kota Irak). Kekhalifahan ini berkembang pesat dan menjadikan dunia Islam sebagai pusat ilmu pengetahuan. Kekhalifahan ini berkuasa setelah merebutnya dari Bani Umayyah dan menundukan semua wilayahnya kecuali Andalusia. Bani Abbâsiyah dirujuk kepada keturunan dari paman Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang termuda, yaitu Abbâs bin Abdul Muththalib (566 H – 652 H). Oleh karena itu mereka juga termasuk Bani Hâsyim. Kekhilafahan ini berkuasa mulai tahun 750 M dan memindahkan ibukota dari Damaskus ke Baghdad. Berkembang selama dua abad, tetapi pelan-pelan meredup setelah naiknya bangsa Turki yang sebelumnya merupakan bagian dari tentara kekhalifahan yang mereka bentuk, dan dikenal dengan sebutan Mamlûk. Selama 150 tahun berkuasa, kekhalifahan dipaksa untuk menyerahkan kekuasaan kepada dinasti-dinasti setempat, yang sering disebut amîr atau sultan.
Menyerahkan Andalusia kepada keturunan Bani Umayyah yang melarikan diri, Marocco dan Africa kepada Aghlabid dan Fathimiyah. Kejatuhan totalnya pada tahun 1258 M disebabkan serangan bangsa Mongol yang dipimpin Hulaghu Khan yang menghancurkan Baghdad dan tak menyisakan sedikitpun dari pengetahuan yang dihimpun di perpustakaan Baghdad.
Bani Abbâsiyah berhasil memegang kekuasaan kekhalifahan selama tiga abad, mengkonsolidasikan kembali kepemimpinan gaya Islam dan menyuburkan ilmu pengetahuan dan pengembangan budaya Timur Tengah. Tetapi pada tahun 940 M kekuatan kekhalifahan menyusut ketika orang-orang non-Arab, khususnya bangsa Turki (kemudian diikuti oleh Mamlûk di Mesir pada pertengahan abad ke-13), mulai mendapatkan pengaruh dan mulai memisahkan diri dari kekhalifahan.
Khilafah Abbâsiyah merupakan kelanjutan dari khilafah sebelumnya dari Bani Umayyah, dimana pendiri dari khilafah ini adalah Abdullah al-Saffah bin Muhammad bin Ali bin Abdullâh bin al-Abbâs rahimahullah. Pola pemerintahan yang diterapkan oleh Daulah Abbâsiyah berbeda-beda sesuai dengan perubahan politik, sosial, dan budaya. Kekuasaannya berlangsung dalam rentang waktu yang panjang, dari tahun 132 H (750 M) s/d. 656 H (1258 M).
Berdasarkan perubahan pola pemerintahan dan politik, ahli sejarah membagi masa pemerintahan Daulah Abbâsiyah menjadi lima periode :
1. Periode Pertama (132 H/750 M – 232 H/847 M), disebut periode pengaruh Arab dan Persia pertama.
2. Periode Kedua (232 H/847 M – 334 H/945 M), disebut periode pengaruh Turki pertama.
3. Periode Ketiga (334 H/945 M – 447 H/1055 M), masa kekuasaan dinasti Bani Buwaih dalam pemerintahan khilafah Abbâsiyah. Periode ini disebut juga masa pengaruh Persia kedua.
4. Periode Keempat (447 H/1055 M – 590 H/l194 M), masa kekuasaan daulah Bani Seljuk dalam pemerintahan khilafah Abbâsiyah; biasanya disebut juga dengan masa pengaruh Turki kedua (di bawah kendali) Kesultanan Seljuk Raya (salajiqah al-Kubra/Seljuk agung).
5. Periode Kelima (590 H/1194 M – 656 H/1258 M), masa khalifah bebas dari pengaruh dinasti lain, tetapi kekuasaannya hanya efektif di sekitar kota Baghdad dan diakhiri oleh invasi dari bangsa Mongol.
Pada periode pertama pemerintahan Bani Abbâsiyyah mencapai masa keemasan. Secara politis, para khalifah betul-betul tokoh yang kuat dan merupakan pusat kekuasaan politik dan agama sekaligus. Di sisi lain, kemakmuran masyarakat mencapai tingkat tertinggi. Periode ini juga berhasil menyiapkan landasan bagi ilmu pengetahuan dalam Islam. Namun setelah periode ini berakhir, pemerintahan Bani Abbas mulai menurun dalam bidang politik, meskipun ilmu pengetahuan terus berkembang.
Masa pemerintahan Abu al-Abbâs, pendiri dinasti ini sangat singkat, yaitu dari tahun 750-754 M. Selanjutnya digantikan oleh Abu Ja’far al-Manshûr (754-775 M), yang keras menghadapi lawan-lawannya terutama dari Bani Umayyah, Khawarij dan juga Syi’ah. Untuk memperkuat kekuasaannya, tokoh-tokoh besar yang mungkin menjadi saingannya disingkirkan satu persatu. Abdullah bin Ali dan Shalih bin Ali, keduanya adalah pamannya sendiri yang ditunjuk sebagai gubernur oleh khalifah sebelumnya di Syria dan Mesir dibunuh karena tidak bersedia membaiatnya. al-Manshûr memerintahkan Abu Muslim al-Khurasani melakukannya, dan kemudian menghukum mati Abu Muslim al-Khurasani pada tahun 755 M, karena dikhawatirkan akan menjadi pesaing baginya.
Pada mulanya ibu kota negara adalah al-Hâsyimiyah, dekat Kufah. Namun, untuk lebih memantapkan dan menjaga stabilitas negara yang baru berdiri itu, al-Manshûr memindahkan ibu kota negara ke kota yang baru dibangunnya, Baghdad, dekat bekas ibu kota Persia, Ctesiphon, tahun 762 M. Dengan demikian, pusat pemerintahan dinasti Bani Abbâs berada di tengah-tengah bangsa Persia. Di ibu kota yang baru ini al-Manshûr melakukan konsolidasi dan penertiban pemerintahannya, di antaranya dengan membuat semacam lembaga eksekutif dan yudikatif. Di bidang pemerintahan, dia menciptakan tradisi baru dengan mengangkat wazîr (Perdana Menteri) sebagai koordinator dari kementrian yang ada. Wazîr pertama yang diangkat adalah Khâlid bin Barmak, berasal dari Balkh, Persia.
Dia juga membentuk lembaga protokol negara, sekretaris negara, dan kepolisian negara disamping membenahi angkatan bersenjata. Dia menunjuk Muhammad bin Abdurrahman sebagai hakim pada lembaga kehakiman negara. Jawatan pos yang sudah ada sejak masa dinasti Bani Umayyah ditingkatkan peranannya dengan tambahan tugas. Kalau dulu hanya sekedar untuk mengantar surat. Pada masa al-Manshûr, jawatan pos ditugaskan untuk menghimpun seluruh informasi di daerah-daerah sehingga administrasi kenegaraan dapat berjalan lancar. Para direktur jawatan pos bertugas melaporkan tingkah laku gubernur setempat kepada khalifah.
Khalifah al-Manshûr berusaha menaklukkan kembali daerah-daerah yang sebelumnya membebaskan diri dari pemerintah pusat, dan memantapkan keamanan di daerah perbatasan. Di antara usaha-usaha tersebut adalah merebut benteng-benteng di Asia, kota Malatia, wilayah Coppadocia dan Cicilia pada tahun 756-758 M. Ke utara bala tentaranya melintasi pegunungan Taurus dan mendekati selat Bosphorus. Di pihak lain, dia berdamai dengan kaisar Constantine V dan selama gencatan senjata 758-765 M, Byzantium membayar upeti tahunan. Bala tentaranya juga berhadapan dengan pasukan Turki Khazar di Kaukasus, Daylami di laut Kaspia, Turki di bagian lain Oxus dan India.
Kalau dasar-dasar pemerintahan Daulah Abbâsiyah diletakkan dan dibangun oleh Abul Abbâs as-Saffah dan al-Manshûr, maka puncak keemasan dari dinasti ini berada pada tujuh khalifah sesudahnya, yaitu al-Mahdi (775-785 M), al-Hâdi (775- 786 M), Harun ar-Rasyîd (786-809 M), al-Ma’mûn (813-833 M), al-Mu’tashim (833-842 M), al-Watsîq (842-847 M), dan al-Mutawakkil (847-861 M).
Pada masa al-Mahdi perekonomian mulai meningkat dengan peningkatan di sektor pertanian melalui irigasi dan peningkatan hasil pertambangan seperti perak, emas, tembaga dan besi. Terkecuali itu dagang transit antara Timur dan Barat juga banyak membawa kekayaan. Bashrah menjadi pelabuhan yang penting.
Popularitas Daulah Abbâsiyah mencapai puncaknya di zaman khalifah Harun ar-Rasyîd t (786-809 M) dan puteranya al-Ma’mûn (813-833 M). Kekayaan negara banyak dimanfaatkan Harun al-Rasyîd untuk keperluan sosial, dan mendirikan rumah sakit, lembaga pendidikan dokter dan farmasi. Pada masanya sudah terdapat paling tidak sekitar 800 orang dokter. Disamping itu, pemandian-pemandian umum juga dibangun. Kesejahteraan, sosial, kesehatan, pendidikan, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan serta kesusasteraan berada pada zaman keemasannya. Pada masa inilah negara Islam menempatkan dirinya sebagai negara terkuat dan tak tertandingi.
DIAMBANG KERUNTUHAN
Faktor yang menyebabkan peran politik Bani Abbâsiyyah menurun adalah perebutan kekuasaan di pusat pemerintahan, dengan membiarkan jabatan tetap dipegang Bani Abbas, karena khalifah sudah dianggap sebagai jabatan keagamaan yang sakral dan tidak bisa diganggu gugat lagi, sedangkan kekusaan dapat didirikan di pusat maupun daerah yang jauh dari pusat pemerintahan dalam bentuk dinasti-dinasti kecil yang merdeka. Hal ini sebenarnya juga terjadi pada pemerintahan-pemerintahan Islam sebelumnya. Tetapi, apa yang terjadi pada pemerintahan Abbâsiyah berbeda dengan yang terjadi sebelumnya.
Pada masa pemerintahan Bani Abbas, perebutan kekuasaan sering terjadi, terutama di awal berdirinya. Akan tetapi, pada masa-masa berikutnya, seperti terlihat pada periode kedua dan seterusnya, meskipun khalifah tidak berdaya, tidak ada usaha untuk merebut jabatan khilafah dari tangan Bani Abbas. Yang ada hanyalah usaha merebut kekuasaannya dengan membiarkan jabatan khalifah tetap dipegang Bani Abbas.
Tentara Turki berhasil merebut kekuasaan tersebut. Di tangan mereka khalifah bagaikan boneka yang tak bisa berbuat apa-apa. Bahkan merekalah yang memilih dan menjatuhkan khalifah sesuai dengan keinginan politik mereka. Setelah kekuasaan berada di tangan orang-orang Turki pada periode kedua, pada periode ketiga (334-447 H/l055 M), Daulah Abbâsiyah berada di bawah pengaruh kekuasaan Bani Buwaih yang berpaham Syi’ah.
Faktor-faktor penting yang menyebabkan kemunduran Daulah Bani Abbâsiyah pada masa ini, sehingga banyak daerah memerdekakan diri, adalah :
1. Luasnya wilayah kekuasaan daulah Abbasiyyah sementara komunikasi pusat dengan daerah sulit dilakukan. Bersamaan dengan itu, tingkat saling percaya di kalangan para penguasa dan pelaksana pemerintahan sangat rendah.
2. Profesionalisasi angkatan bersenjata membuat ketergantungan khalifah kepada mereka sangat tinggi.
3. Keuangan negara sangat sulit karena biaya yang dikeluarkan untuk tentara bayaran sangat besar. Pada saat kekuatan militer menurun, khalifah tidak sanggup memaksa pengiriman pajak ke Baghdad.
4. Posisi-posisi penting negara dipercayakan kepada ahli bid’ah, khususnya jabatan wazîr (perdana menteri) dan penasihat yang diserahkan kepada Syi’ah.
5. Penyakit wahan (cinta dunia dan takut mati) yang menguasai para penguasa dan jajarannya.
KEMEROSOTAN EKONOMI
Khilafah Abbâsiyah juga mengalami kemunduran di bidang ekonomi bersamaan dengan kemunduran di bidang politik. Pada periode pertama, pemerintahan Bani Abbas merupakan pemerintahan yang kaya. Dana yang masuk lebih besar dari yang keluar, sehingga Baitul-Mal penuh dengan harta. Pertambahan dana yang besar diperoleh antara lain dari al-kharaj, semacam pajak hasil bumi.
Setelah khilafah memasuki periode kemunduran, pendapatan negara menurun sementara pengeluaran meningkat lebih besar. Menurunnya pendapatan negara itu disebabkan oleh makin menyempitnya wilayah kekuasaan, banyaknya terjadi kerusuhan yang mengganggu perekonomian rakyat. Diperingannya pajak dan banyaknya dinasti-dinasti kecil yang memerdekakan diri dan tidak lagi membayar upeti. Sedangkan pengeluaran membengkak antara lain disebabkan oleh kehidupan para khalifah dan pejabat semakin mewah. jenis pengeluaran makin beragam dan para pejabat melakukan korupsi. Kondisi politik yang tidak stabil menyebabkan perekonomian negara morat-marit. Sebaliknya, kondisi ekonomi yang buruk memperlemah kekuatan politik dinasti Abbâsiyah kedua, faktor ini saling berkaitan dan tak terpisahkan.
MUNCULNYA ALIRAN-ALIRAN SESAT DAN FANATISME KESUKUAN
Fanatisme keagamaan berkaitan erat dengan persoalan kebangsaan. Karena cita-cita orang Persia tidak sepenuhnya tercapai, kekecewaan mendorong sebagian mereka mempropagandakan ajaran Manuisme, Zoroasterisme dan Mazdakisme. Munculnya gerakan yang dikenal dengan gerakan Zindiq ini menggoda rasa keimanan para khalifah. al-Manshûr berusaha keras memberantasnya, bahkan al-Mahdi merasa perlu mendirikan jawatan khusus untuk mengawasi kegiatan orang-orang zindiq dan melakukan mihnah dengan tujuan memberantas bid’ah. Akan tetapi, semua itu tidak menghentikan kegiatan mereka.
Konflik antara ahlus Sunnah dengan golongan Zindiq berlanjut mulai dari bentuk yang sangat sederhana seperti polemik tentang ajaran, sampai kepada konflik bersenjata yang menumpahkan darah di kedua belah pihak. Gerakan al-Afsyin dan Qaramithah adalah contoh konflik bersenjata itu.
Pada saat gerakan ini mulai tersudut, pendukungnya banyak berlindung di balik ajaran Syi’ah, sehingga banyak aliran Syi’ah yang dipandang ghulat (ekstrim) dan dianggap menyimpang oleh penganut Syi’ah sendiri. Aliran Syi’ah memang dikenal sebagai aliran yang berlawanan dengan paham Ahlussunnah.
ANCAMAN DARI LUAR
Apa yang disebutkan di atas adalah faktor-faktor internal. Disamping itu, ada pula faktor-faktor eksternal yang menyebabkan khilafah Abbâsiyah lemah dan akhirnya hancur.
Perang Salib yang berlangsung beberapa gelombang atau periode dan menelan banyak korban.
Serangan tentara Mongol ke wilayah kekuasaan Islam. Sebagaimana telah disebutkan, orang-orang Kristen Eropa terpanggil untuk ikut berperang setelah Paus Urbanus II (1088-1099 M) mengeluarkan fatwanya.
Perang Salib itu juga membakar semangat perlawanan orang-orang Kristen yang berada di wilayah kekuasaan Islam. Namun, di antara komunitas-komunitas Kristen Timur, hanya Armenia dan Maronit Lebanon yang tertarik dengan Perang Salib dan melibatkan diri dalam tentara Salib. Pengaruh perang salib juga terlihat dalam penyerbuan tentara Mongol. Disebutkan bahwa Hulaghu Khan, panglima tentara Mongol, sangat membenci Islam karena ia banyak dipengaruhi oleh orang-orang Budha dan Kristen Nestorian. Gereja-gereja Kristen berasosiasi dengan orang-orang Mongol yang anti Islam itu dan diperkeras di kantong-kantong ahlul-kitab. Tentara Mongol, setelah menghancur leburkan pusat-pusat Islam, ikut memperbaiki Yerusalem.
SERANGAN BANGSA MONGOL DAN KERUNTUHAN BAGHDAD
Pada tahun 565 H/1258 M, tentara Mongol yang berkekuatan sekitar 200.000 orang tiba di salah satu pintu Baghdad. Khalifah al-Musta’shim, penguasa terakhir Bani Abbas di Baghdad (1243 – 1258), betul-betul tidak berdaya dan tidak mampu membendung “topan” tentara Hulaghu Khan.
Jatuhnya kota Baghdad pada tahun 1258 M ke tangan bangsa Mongol bukan saja mengakhiri kekuasaan khilafah Bani Abbâsiyah di sana, tetapi juga merupakan awal dari masa kemunduran politik dan peradaban Islam, karena Baghdad sebagai pusat kebudayaan dan peradaban Islam yang sangat kaya dengan khazanah ilmu pengetahuan itu ikut pula lenyap dibumihanguskan oleh pasukan Mongol yang dipimpin Hulaghu Khan tersebut.
Berikut ini detik-detik runtuhnya Khilafah Abbâsiyah dan jatuhnya Baghdad seperti yang direkam oleh Ibnu Katsîr rahimahullah :
“Runtuhnya Baghdad di tangan bangsa Mongol (Tatar) tidak lepas dari pengkhianatan yang dilakukan oleh wazîr (perdana menteri) Muhammad bin al-Alqami, seorang penganut paham Syi’ah yang sangat dendam terhadap Ahlussunnah. Ia menjabat wazîr (Perdana Menteri) bagi Khalifah al-Musta’shim billah, khalifah terakhir Bani Abbas di Iraq,
Ini terjadi pada tanggal 12 Muharram 656 H. Hulaghu Khan, cucu Jengghis Khan mengepung Baghdad dengan seluruh bala tentaranya yang berjumlah lebih kurang 200.000 personil. Mereka mengepung istana Khalifah dan menghujaninya dengan anak panah dari segala penjuru, hingga menewaskan seorang budak wanita yang sedang menari di hadapan Khalifah untuk menghiburnya. Budak wanita itu adalah seorang selir yang bernama Arafah. Sebilah anak panah datang dari arah jendela menembus tubuhnya pada saat ia menari di hadapan Khalifah. Hal itu membuat cemas Khalifah dan ia amat terkejut. Pada anak panah yang menewaskan selirnya itu mereka dapati tulisan, “Jika Tuhan hendak melaksanakan ketentuan-Nya maka Dia akan melenyapkan akal waras orang yang berakal.” Setelah kejadian itu Khalifah memerintahkan agar memperketat keamanan.
Pengkhianatan Ibnul al-Alqami yang begitu dendam terhadap Ahlussunnah ini disebabkan pada tahun sebelumnya (655 H) pecah peperangan hebat antara kaum Sunni dan Syi’ah yang berakhir dengan direbutnya kota al-Karkh yang merupakan pusat kaum Syi’ah Rafidhah, beberapa rumah milik sanak famili Ibnu al-Alqami sempat kena jarah.
Sebelum runtuhnya Baghdad, Ibnul al-Alqami secara diam-diam mengurangi jumlah tentara, yaitu dengan memecat sebagian besar tentara dan mencoret mereka dari dinas kemiliteran. Sebelumnya, jumlah tentara pada masa kekhalifahan al-Mustanshir mencapai 100.000 personil. Jumlah ini terus dikurangi oleh Ibnu al-Alqami hingga menjadi 10.000 personil saja.
Kemudian setelah itu, barulah ia mengirim surat rahasia kepada bangsa Mongol dan memprovokasi mereka untuk menyerang Baghdad. Dalam surat tersebut dia beberkan kelemahan angkatan bersenjata Daulah Abbâsiyah. Ini merupakan salah satu sebab begitu mudahnya pasukan Mongol menguasai Baghdad.
Semua itu dilakukan oleh Ibnu al-Alqami untuk melampiaskan dendam kesumatnya dan ambisinya untuk melenyapkan sunnah dan memunculkan bid’ah syi’ah Rafidhah, wallahul musta’an.
Tatkala pasukan Mongol mengepung benteng kota Baghdad pada tanggal 12 Muharram 656 H, mulailah wazir Ibnu al-Alqami menunjukkan pengkhianatannya yang kedua, yaitu dialah orang yang pertama kali menemui pasukan Mongol. Dia keluar bersama keluarga, pembantu dan pengikutnya menemui Hulaghu Khan untuk meminta perlindungan kepadanya. Kemudian dia kembali ke Baghdad lalu membujuk Khalifah agar keluar bersamanya untuk menemui Hulaghu Khan dengan alasan bahwa Hulaghu ingin berdamai dengannya dan mengawinkan puterinya dengan putera Khalifah serta pembagian hasil devisa setengah untuk Khalifah dan setengah untuk Hulaghu.
Maka berangkatlah Khalifah bersama para qadhi, ahli fiqh, kaum sufi, tokoh-tokoh negara, masyarakat dan petinggi-petinggi negara dengan 700 kendaraan. Tatkala mereka hampir mendekati markas Hulaghu mereka ditahan oleh pasukan Mongol dan tidak diizinkan bertemu Hulaghu kecuali Khalifah bersama 17 orang saja.
Lalu Khalifah pun menemui Hulaghu Khan bersama 17 orang tersebut sedangkan yang lain menunggu di atas tunggangan mereka. Sepeninggal Khalifah, mereka dirampok dan dibunuh oleh pasukan Mongol. Selanjutnya, Khalifah dibawa ke hadapan Hulaghu dan disandera bersama 17 orang yang ikut dengannya. Mereka diteror, diancam dan diintimidasi serta dipaksa agar menyetujui apa yang diinginkan oleh Hulaghu.
Kemudian Khalifah kembali ke Baghdad bersama Ibnu al-Alqami dan Nashiruddin ath-Thusi yang semadzhab dengan Ibnul al-Alqami. Dan dibawah rasa takut dan tekanan yang hebat Khalifah pun mengeluarkan emas, perak, perhiasan, permata dan barang-barang berharga lainnya yang jumlahnya sangat banyak untuk diserahkan kepada Hulaghu. Akan tetapi sebelumnya Ibnu al-Alqami bersama Nashiruddin ath-Thusi sudah membisiki Hulaghu agar tidak menerima tawaran perdamaian dari Khalifah. Mereka berhasil mempengaruhi Hulaghu bahwa perdamaian itu hanya bertahan 1 atau 2 tahun saja. Mereka pun mendorong Hulaghu agar menghabisi Khalifah.
Tatkala Khalifah kembali dengan membawa barang-barang yang banyak, Hulaghu justeru menginstruksikan agar mengeksekusi Khalifah. Maka pada hari Rabu tanggal 14 Shafar terbunuhlah Khalifah al-Musta’shim billahi. Dalang dibalik terbunuhnya Khalifah adalah Ibnu al-Alqami dan Nashiruddin ath-Thusi.
Bersamaan dengan gugurnya Khalifah maka pasukan Mongol pun menyerbu masuk ke Baghdad tanpa perlawanan yang berarti. Dengan demikian, jatuhlah Baghdad di tangan pasukan Mongol. Dilaporkan bahwa jumlah orang yang tewas kala itu adalah 2 juta jiwa.Tak ada yang selamat kecuali Yahudi dan Nasrani serta orang-orang yang meminta perlindungan kepada pasukan Mongol atau berlindung di rumah Ibnu al-Alqami serta para konglomerat yang membagi-bagikan harta mereka kepada pasukan Mongol dengan jaminan keamanan pribadi…!
BELAJAR DARI SEJARAH
Ibnu Katsir dan Ibnul Atsir yang mengabadikan kisah pilu ini dalam kitab mereka (al-Bidayah wan Nihayah, juz 18 halaman 213-224) mengatakan, “Kalau bukan untuk memberikan pelajaran kepada generasi yang akan datang, kami malu menyantumkan kisah tragis ini dalam buku kami.”
Demikianlah, mengangkat orang kafir dan ahli bid’ah sebagai pemangku jabatan merupakan salah satu faktor penyebab kehancuran Daulah Bani Abbâsiyah. Disamping itu, jauhnya umat dari Islam dan sikap mereka yang memusuhi sunnah Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam merupakan salah satu sebab yang mempercepat kehancuran suatu negeri. Ingatlah firman Allah Subhanahu wa Ta’ala :
فَلْيَحْذَرِ الَّذِينَ يُخَالِفُونَ عَنْ أَمْرِهِ أَنْ تُصِيبَهُمْ فِتْنَةٌ أَوْ يُصِيبَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ
Maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah-Nya takut akan ditimpa cobaan atau ditimpa azab yang pedih. [an-Nûr/24:63]
.
Demikian pula, Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda:
جُعِلَ الذُّلُّ وَ الصَّغَارُ عَلَى مَنْ خَالَفَ أَمْرِي
Akan ditimpakan kehinaan dan kerendahan bagi siapa saja yang menyalahi perintahku [1]
Apa yang terjadi dahulu tidak jauh berbeda dengan apa yang terjadi sekarang.
Umat manusia sekarang ini, berada dalam jurang yang sangat terjal dan dalam. Belenggu-belenggu kebinasaan siap menghancurleburkan mereka. Realita ini merupakan akibat buruk yang dipetik oleh umat manusia karena telah menjauh dari al-haq. Mereka menjadi bulan-bulanan panah kebatilan. Kenyataan yang ada cukup menjadi bukti dan petunjuk yang jelas. Tanda-tanda kehancuran itu terpampang jelas di hadapan setiap orang yang masih punya pikiran waras dan punya pengetahuan. Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengabarkan kepada umat beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa mereka akan terpecah belah dan terpuruk, Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata :
إِنَّ اْلإِسْلاَمُ بَدَأَ غَرِيبًا وَسَيَعُودُ كَمَا بَدَأَ غَرِيبًا فَطُوبَى لِلْغُرَبَاءِ
Islam pada awalnya asing kemudian akan kembali asing maka beruntunglah orang-orang yang dianggap asing (ghurabaa’)[2]
Hadits ghuraba’ di atas merupakan gambaran global dari suatu perkara yang detail. Hadits di atas menegaskan bahwa Islam akan kembali asing di tengah kehidupan manusia. Keadaan itu berarti manusia secara keseluruhan telah keluar dari jalur Islam. Mereka menempuh jalur yang terjal dan curam lagi berat. Berbagai bentuk kehinaan dan keterpurukan terus menimpa mereka. Dan pada akhirnya mereka harus gigit jari seraya menyesali nasib diri, namun…….penyelasan tiada berguna![3]
Umat manusia berpaling dari Kitabullah, lalu menggantinya dengan undang-undang buatan manusia dan menjadikannya sebagai pedoman dalam berbagai bidang kehidupan.
Para penguasa menyedot kekayaan negara untuk dirinya sendiri dan menetapkan hukum secara sewenang-wenang terhadap masyarakat menurut selera mereka. Siapa saja yang menyanjung perbuatan mereka yang melanggar syariat pasti akan dinaikkan pangkatnya. Dan siapa saja yang menyelisihi atau mengingkari kemungkaran dan perbuatan buruk itu pasti akan dihancurkan haknya dan akan direndahkan kedudukannya. Itulah yang diisyaratkan oleh Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam sebuah hadits :
إِنَّكُمْ سَتَرَوْنَ بَعْدِي أَثَرَةً وَأُمُورًا تُنْكِرُونَهَا قَالُوا فَمَا تَأْمُرُنَا يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ أَدُّوا إِلَيْهِمْ حَقَّهُمْ وَسَلُوا اللَّهَ حَقَّكُمْ
Sepeninggalku nanti kalian akan melihat atsarah (lebih mementingkan urusan dunia-pent) dan perkara-perkara agama yang kalian ingkari.” Para sahabat bertanya: “Apa yang engkau perintahkan kepada kami wahai Rasûlullâh ?” Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tunaikanlah hak-hak penguasa dan mintalah kepada Allâh Azza wa Jalla hak-hak kalian.”[4]
Seiring rusaknya kehidupan politik yang semakin terpuruk, pada akhirnya juga merusak kehidupan sosial hingga jatuh ke derajat yang paling hina dan rendah. Sebagaimana dimaklumi bahwa aspek-aspek kehidupan manusia saling terkait satu sama lainnya.
Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengabarkan bahwa akan muncul nanti beberapa kaum yang tidak lagi menepati perjanjian dan melesat keluar dari agama. Mereka melakukan apa yang tidak diperintahkan, memberikan persaksian sedangkan mereka tidak diminta untuk bersaksi.
Karakter yang paling tepat bagi zaman kita sekarang ini adalah firman Allah:
فَخَلَفَ مِنْ بَعْدِهِمْ خَلْفٌ أَضَاعُوا الصَّلَاةَ وَاتَّبَعُوا الشَّهَوَاتِ ۖ فَسَوْفَ يَلْقَوْنَ غَيًّا
Maka datanglah sesudah mereka, pengganti (yang jelek) yang menyia-nyiakan shalat dan memperturutkan hawa nafsunya, maka kelak mereka akan menemui kesesatan. [Maryam/19:59]
Ini merupakan kondisi umum manusia sekarang. Manusia telah menjadi hamba nafsu syahwatnya bagaikan seekor anjing yang selalu menjulurkan lidahnya. Mereka tega menjual kehormatan dan amanat dengan harga yang murah di pasar murahan dan hina. Mereka rela mempersembahkan diri sebagai tumbal syahwat. Mereka ini tidak mengingkari kemungkaran dan tidak mengenal perkara kebajikan (kecuali segelintir orang yang dirahmati Allâh dan itupun jumlahnya sangat sedikit). Bahkan sebaliknya, mereka menyuruh kepada perkara mungkar dan melarang dari perkara yang ma’ruf dengan meneriakkan slogan-slogan yang gemerlap lagi menipu, dengan kata-kata yang penuh hiasan dan kiasan, lewat mulut-mulut penuh dusta dan lisan-lisan para kaum munafik.
Sebagai akibat langsung keterpurukan politik dan keganjilan sosial masyarakat maka yang menjadi penentu segala sikap dan kebijakan adalah dinar dan dirham (uang). Uang begitu mendominasi kehidupan manusia sehingga menjadi sangat diagungkan dan didewakan. Manusia pun menyungkur sujud menyembah uang di samping menyembah Allâh Azza wa Jalla . Sampai-sampai yang menjadi semboyan manusia sekarang ini adalah, “Siapa yang tidak punya uang tidak akan dipandang. Harga seorang manusia dilihat dari harta yang dimilikinya!”
Sehingga demi meraih kebahagian hidup yang diiming-imingi oleh iblis dan bala tentaranya, maka merekapun menghalalkan segala cara.
Para penguasa yang berkuasa di negeri-negeri Islam menjauhkan generasi Muslim dari nilai-nilai Islam yang merupakan keistimewaan dan menjadi kebanggaan setiap muslim serta menjadi penggerak bagi jiwa menuju kemuliaan. Lalu mereka menggantinya dengan budaya rendahan, sia-sia dan penuh dusta. Maka lahirlah generasi yang minim pengetahuan, tidak memiliki pengetahuan agama dan tidak pernah merasakan cita rasa ilmu. Lantas mereka mengangkat orang-orang jahil sebagai pemimpin. Apabila mereka dimintai fatwa oleh masyarakat, mereka berfatwa tanpa ilmu, akibatnya mereka sesat lagi menyesatkan.
Realita di atas menimbulkan dampak munculnya kelompok-kelompok dan golongan-golongan yang saling bermusuhan dan bertentangan. Sehingga umat Islam menjadi terpecah belah berkeping-keping tak karuan.
Fenomena kelompok tersebut memicu pertentangan dan menyebabkan tercerai berainya barisan. Dan juga menebar benih perpecahan dan permusuhan di tubuh umat yang satu. Sehingga dengan mudah musuh dapat memporakporandakan negeri-negeri kaum Muslimin, menjajah dan menjarah harta kekayaan mereka, wallâhul musta’ân.
وَأَطِيعُوا اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَلَا تَنَازَعُوا فَتَفْشَلُوا وَتَذْهَبَ رِيحُكُمْ ۖ وَاصْبِرُوا ۚ إِنَّ اللَّهَ مَعَ الصَّابِرِينَ
Dan taatlah kepada Allâh dan Rasul-Nya dan janganlah kamu berbantah-bantahan, yang menyebabkan kamu menjadi gentar dan hilang kekuatanmu dan bersabarlah. Sesungguhnya Allâh beserta orang-orang yang sabar. [al-Anfâl/8:46]
Kita harus belajar dari sejarah, mengambil ibrah dari apa yang telah dialami oleh para pendahulu kita. Merupakan karakter umat ini adalah tidak jatuh dalam satu lobang dua kali, apalagi berkali-kali. Keruntuhan khilafah Abbâsiyah bukanlah terjadi begitu saja, tetapi ada sebab-sebab yang memicunya. Bila kita tidak belajar dari sejarah umat terdahulu maka bukan tidak mungkin kita akan mengalami apa yang sudah mereka alami.
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 07/Tahun XV/1433H/2012M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]
_______
Footnote
[1]. HR. Ahmad dan dishahihkan oleh al-Albâni dalam Shahîh al-Jâmi’ (2831).
[2]. HR. Muslim.
[3]. Al-Jamâ’ah al-Islâmiyah fi Dhauil Kitâb was Sunnah, tulisan Syaikh Salîm bin ‘Ied al-Hilâli.
[4]. HR. al-Bukhâri
**| republished by Lentera Kabah
Lentera Kabah
Tidak ada komentar