Wanita mulia ini bernama Khaulah bintu Malik bin Tsa’labah bin Ashram bin Fahr bin Tsa’labah bin Ghannam bin ‘Auf bin ‘Amr al Anshariyah al Khazrajiyah. Ia adalah isteri dari Aus bin ash Shamit, seorang wanita yang mengajukan gugatan (kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang hukum) zhihar yang dilakukan oleh suaminya terhadapnya. Maka Allah menurunkan ayat-ayat pertama dalam surat al Mujadilah berkaitan dengan permasalahan wanita ini.
‘Aisyah Radhiyallahu anhuma berkata : Segala puji bagi Allah Yang pendengaranNya meliputi segenap suara. Sungguh telah datang seorang wanita yang mengajukan gugatan kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam , sedangkan aku berada di tepi rumah. Wanita itu mengeluhkan (sikap) suaminya, dan (sebagian) ucapannya yang bisa aku dengar. Maka Allah Ta’ala menurunkan ayat
قَدْ سَمِعَ الهُ قَوْلَ الَّتِي تُجَادِلُكَ فِي زَوْجِهَا وَتَشْتَكِي إِلَى الهِl وَالهُs يَسْمَعُ تَحَاوُرَكُمَا إِنَّ الهَl سَمِيعٌ بَصِيرٌ
Sesungguhnya Allah telah mendengar perkataan yang memajukan gugatan kepada kamu tentang suaminya, dan mengadukan (halnya) kepada Allah. Dan Allah mendengar soal jawab antara kamu berdua.
Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Melihat. [ Al Mujadalah / 58:1] [1].
Khaulah mengisahkan,”Demi Allah, dalam (permasalahan)ku dan Aus bin ash Shamit, Allah Azza wa Jalla telah menurunkan awal ayat surat al Mujadilah. Kala itu, statusku adalah isterinya. Ia seorang laki-laki yang telah renta, perangainya telah berubah menjadi kasar dan suka membentak. Suatu hari, ia menemuiku. Kala itu aku membantahnya dengan sesuatu. Ia pun marah, lantas berkata,”Engkau ibarat punggung ibuku bagiku,”[2] lalu ia keluar dan duduk-duduk di tempat berkumpul kaumnya.
Beberapa saat kemudian ia masuk menemuiku, dan saat itu ia menginginkan diriku. Kukatakan kepadanya,”Sekali-kali tidak. Demi Dzat Yang jiwa Khaulah berada dalam genggamanNya. Janganlah engkau mendekatiku. Engkau telah mengucapkan apa yang telah kau ucapkan, sampai Allah memutuskan hukumNya dalam permasalahan kita,” lantas ia melompat hendak menangkapku. Aku pun menghindar darinya dan berusaha melawan dengan kekuatan seorang wanita menghadapi lelaki tua lagi lemah. Aku berhasil mendorong tubuhnya dariku. Kemudian aku keluar menemui tetangga wanitaku dan meminjam bajunya. Aku pergi menemui Rasulullah, lalu duduk di hadapannya. Aku ceritakan apa yang aku hadapai dengan suamiku, mengeluh kepada beliau tentang perilaku kasar suamiku.[3]
Rasulullah berkata,”Wahai Khuwailah, anak pamanmu itu adalah seorang laki-laki yang telah tua, maka bertaqwalah engkau kepada Allah terhadap suamimu.”
Aku berkata,”Demi Allah, aku tidak beranjak dari sisi beliau sampai turun al Qur`an. Ketika itu Rasulullah diliputi sesuatu dan diwahyukan kepada beliau. Lalu beliau berkata kepadaku,”Wahai, Khuwailah. Allah telah menurunkan firmanNya tentang permasalahanmu dan suamimu.” Beliau membaca ayat … -yaitu surat al Mujadalah / 58 ayat 1-4,.
Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepadaku,”Perintahkan kepadanya, agar ia membebaskan seorang budak”.
Aku berkata,”Demi Allah, wahai Rasulullah. Dia tidak memilki seorang budak”.
Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata,”Kalau begitu, hendaklah ia berpuasa selama dua bulan berturut-turut.”
Aku berkata,”Demi Allah, wahai Rasulullah. Dia adalah seorang lelaki tua yang tidak sanggup lagi berpuasa.”
Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam kembali berkata,”Jika demikian, hendaklah ia memberi makan enam puluh orang miskin dengan satu wasaq kurma.”
Aku berkata,”Demi Allah, wahai Rasulullah. Dia tidak memiliki kurma sebanyak itu.”
Akhirnya beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata,”Maka kami akan membantunya dengan sekeranjang kurma.”
Aku berkata,”Aku juga, wahai Rasulullah. Aku akan membantunya dengan sekeranjang lagi.”
Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata,”Perbuatanmu benar dan bagus. Pergilah dan bersedekahlah untuk suamimu. Dan berwasiatlah dengan anak pamanmu dengan baik,” maka aku pun melakukan perintah Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam .[4]
Para sahabat juga mengakui keutamaan dan keberanian wanita mulia ini dalam kebenaran, sepeninggal Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Para sahabat diam mendengarkan perkataannya, sebagai penghormatan terhadap wanita yang telah didengar pengaduannya oleh Allah.
Sebagai contoh, suatu hari Umar bin al Khaththab keluar bersama orang-orang. Lalu ia melewati seorang wanita tua. Wanita itu meminta ‘Umar untuk berhenti. ‘Umar pun berhenti, dan mereka berdua bercakap-cakap.
Seseorang berkata kepada Umar,”Wahai, Amirul Mu’minin, engkau menahan (perjalanan) orang-orang karena wanita tua ini.”
Mendengar seruan itu, ‘Umar menjawabnya : “Celakalah engkau! Tidakkah engkau tahu, siapa wanita ini? Dialah wanita yang telah didengar pengaduannya oleh Allah dari langit ke tujuh. Wanita ini adalah Khaulah bintu Tsa’labah yang Allah turunkan ayat tentang permasalahannya : ( قَدْ سَمِعَ اللَّه… ). Demi Allah, seandainya ia menahanku sampai malam, aku tidak akan meninggalkannya kecuali untuk shalat, kemudian aku menemuinya lagi”.
Juga diriwayatkan dari Qatadah, ia berkata : ‘Umar bin al Khaththab keluar dari masjid dan al Jarud al ‘Abdi sedang bersamanya. Tiba-tiba ada seorang wanita di tepi jalan. ‘Umar mengucapkan salam kepadanya, dan wanita itu menjawabnya.
Wanita itu berkata,”Wahai ‘Umar, dulu aku menemuimu saat engkau masih bernama Umair di pasar ‘Ukazh. Engkau menakut-nakuti anak-anak dengan tongkatmu. Hingga hari berlalu dan namamu berganti ‘Umar. Dan masa terus berlalu hingga engkau menjadi seorang Amirul Mu’minin. Maka bertaqwalah kepada Allah terhadap rakyatmu. Dan ketahuilah, barangsiapa yang takut ancaman Allah, dia akan merasakan bahwa siksa Allah itu amat dekat. Dan barangsiapa yang takut terhadap kematian, maka kematian itu pasti tidak akan luput darinya”.
Mendengar pembicaraan wanitu itu, al Jarud kemudian menimpalinya : “Sungguh engkau telah memperbanyak ucapan terhadap Amirul Mu’minin, wahai wanita”.
Tetapi ‘Umar justru berkata,”Biarkanlah ia! Tidakkah engkau mengenalinya? Wanita ini adalah Khaulah bintu Hakim, isteri Aus bin ash Shamit yang telah Allah dengar ucapannya dari atas langit yang ke tujuh. Maka ‘Umar sangat lebih layak untuk mendengar perkataannya.”[5]
Semoga Allah senantiasa melimpahkan keridhaanNya kepada Khaulah bintu Tsa’labah. (Hanin Ummu Abdillah)
( **: ar Rijal wan-Nisaa` Haula ar Rasul, halaman 352-356, karya ‘Athif Shabir Syahin, Darul-Ghadul-Jadid, Mesir, Cet. I, Tahun 1424 H/2003 M)
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 09/Tahun X/1427H/2006M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl9 Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-761016]
_______
Footnote
[1]. Hadits ini dikeluarkan oleh Bukhari dalam kitab at Tauhid, bab (Wa Kana Allahu Sami’an Bashira) secara mu’allaq, dan dikeluarkan pula oleh an Nasaa-i dalam kitab ath Thalaq, no. 3460, dan Ibnu Majah dalam muqaddimahnya, no. 188.
[2]. Pada masa jahiliyah, azh zhihar merupakan salah satu bentuk thalaq.
[3]. Dalam sebagian jalan hadits ini, bahwa ia (Khaulah) berkata,”Wahai Rasulullah, ia telah menikmati masa mudaku, aku pun telah memberinya anak. Lalu ketika usiaku telah tua dan aku sudah tidak bisa lagi memberikan anak untuknya, ia menzhiharku. Ya Allah, sesungguhnya aku mengadu kepadaMu. Aku tidak beranjak dari sisi beliau sampai Jibril datang membawa wahyu :( قَدْ سَمِعَ اللَّه…)”.
Dan dalam sebuah riwayat: … Maka ia (Aus bin ash Ashamit) berkata,”Engkau ibarat punggung ibuku bagiku”. Dan ilaa’ serta zhihar termasuk thalaq pada masa jahiliyah. Khaulah bertanya kepada Nabi n , beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepadanya,”Engkau telah haram bagi suamimu”. Khaulah berkata,”Demi Allah, ia tidak menyebutkan kata thalaq,” kemudian Khaulah berkata,”Aku mengadu kepada Allah tentang kesendirianku dan perpisahan yang dilakukan suamiku, padahal aku telah memberinya anak”.
Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata,”Engkau telah haram bagi suamimu.” Mereka berdua terus berdiskusi sampai akhirnya turun wahyu kepada beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam .
[4]. Hadits ini dikeluarkan oleh Bukhari dalam kita at Tauhid bab (Wa Kana Allahu Sami’an Bashira) secara mu’allaq, dan dikeluarkan pula oleh an Nasaa-i dalam kitab ath Thalaq, no. 3460, dan Ibnu Majah, no. 188. Ketiga-tiganya dari ‘Aisyah secara ringkas. Dikeluarkan juga oleh Ibnu Majah dalam kitab ath Thalaq, no. 2063 dengan menyebutkan diskusi Khaulah dengan Nabi. Dan dishahihkan oleh al Hafizh al Albani dalam Shahih Ibnu Majah, no. 1678, dan dikeluarkan oleh Ahmad dalam Musnad-nya, 6/410, 411 dengan lafazh seperti ini.
[5]. Kisah ini disebutkan oleh al Qurthubi dalam tafsirnya, 17/269, dan disebutkan juga oleh al Hafizh Ibnu Hajar di dalam al Ishabah, 8/115, ia menyebutkan bahwa dalam sanadnya terdapat perawi bernama Khulaid bin Da’laj, sedangkan ia buruk hafalannya. Oleh karena itu, aku bawakan (kisah ini) dengan lafazh at tamridh [yakni lafazh periwayatan hadits yang lebih lemah derajatnya, seperti ruwiya (diriwayatkan) atau qiila (dikatakan), Pent.].
**| republished by Lentera Kabah
Lentera Kabah
Tidak ada komentar