Pertanyaan:
Ustadz, antum sebutkan bahwa tidak setiap perselisihan dapat kita hormati. Yang seperti apa yang bisa dihormati dan yang tidak bisa dihormati? Mohon penjelasannya.
Ustadz Abu Yahya Badrusalam, Lc. menjawab:
Perselisihan pendapat dilihat dari sisi dapat di tolerir atau tidaknya ada dua macam:
Pertama : Perselisihan yang dapat ditolerir.
Yaitu apabila kedua pendapat berdasarkan dalil yang shahih dan diterima pemahamannya secara kaidah kaidah syari’at. Dan tidak ada nash yang sharih dalam masalah tersebut.
Contohnya perselisihan ulama tentang hukum membaca al fatihah bagi makmum; apakah wajib atau tidak? Masing masing pendapat berhujjah dengan hadits hadits yang shahih dan kuat dari sisi kaidah syari’at. Maka kewajiban kita adalah memilih pendapat yang kita lihat paling kuat dengan tanpa menyesatkan yang lain.
Kedua: perselisihan yang tidak dapat ditolerir.
Yaitu apabila salah satu pendapat yang berselisih:
1. Menyalahi ijma atau kesepakatan seluruh ulama. Karena ijma adalah hujjah dan orang yang menyelisihinya diancam oleh Allah dengan api Neraka. Allah berfirman:
“Barang siapa yang menyelisihi Rosul setelah menjadi jelas kepadanya petunjuk dan mengikuti selain jalam kaum mukminin, maka Kami biarkan ia leluasa dalam kesesatannya tersebut dan Kami akan membakarnya dengan neraka Jahannam. Dan itu adalah seburuk buruk tempat kembali” (QS. An Nisaa: 115).
2. Menyalahi dalil yang shahih, sharih, tidak mansukh, dan tidak berlawanan dengan hadits lain yang shahih.
Hadits yang sharih adalah nash yang maknanya amat jelas dan tidak ada kemungkinan makna lain.
Contohnya hadits: “Setiap yang memabukkan adalah arak, dan setiap arak adalah haram“. HR Muslim.
Hadits ini amat jelas menunjukkan bahwa semua yang memabukkan itu arak. Maka dari itu para ulama mengingkari pendapat Abu Hanifah yang mengatakan bahwa arak itu adalah yang terbuat dari anggur saja.
3. Berdasarkan dalil yang palsu atau sangat lemah.
Karena semua ulama bersepakat haramnya mengamalkan hadits palsu atau hadits yang amat lemah dalam semua permasalahan baik aqidah, ibadah, maupun fadlilah amal. Demikian pula para ulama bersepakat haramnya menetapkan hadits lemah yang ringan dalam masalah aqidah.
Yang diperselisihkan adalah hukum mengamalkan hadits lemah yang ringan dalam fadlilah amal. Yang paling kuat adalah pendapat yang tidak memperbolehkannya karena hadits lemah hanya menghasilkan dugaan yang lemah.
4. Hanya berdasarkan hawa nafsu bukan berdasarkan wahyu.
Karena agama kita tidak dibangun di atas hawa nafsu manusia. Tapi harus berdasarkan wahyu dari Allah Ta’ala yang disampaikan kepada RasulNya shallallahu alaihi wasallam.
Inilah pendapat yang tidak dapat ditolerir dalam masalah agama, dan hendaknya kita meluruskan dan mengingkari pendapat seperti itu.
Wallahu a’lam.
***
Sumber: channel Al Fawaid
Penulis: Ust. Badrusalam, Lc.
Ustadz Abu Yahya Badrusalam, Lc. menjawab:
Perselisihan pendapat dilihat dari sisi dapat di tolerir atau tidaknya ada dua macam:
Pertama : Perselisihan yang dapat ditolerir.
Yaitu apabila kedua pendapat berdasarkan dalil yang shahih dan diterima pemahamannya secara kaidah kaidah syari’at. Dan tidak ada nash yang sharih dalam masalah tersebut.
Contohnya perselisihan ulama tentang hukum membaca al fatihah bagi makmum; apakah wajib atau tidak? Masing masing pendapat berhujjah dengan hadits hadits yang shahih dan kuat dari sisi kaidah syari’at. Maka kewajiban kita adalah memilih pendapat yang kita lihat paling kuat dengan tanpa menyesatkan yang lain.
Kedua: perselisihan yang tidak dapat ditolerir.
Yaitu apabila salah satu pendapat yang berselisih:
1. Menyalahi ijma atau kesepakatan seluruh ulama. Karena ijma adalah hujjah dan orang yang menyelisihinya diancam oleh Allah dengan api Neraka. Allah berfirman:
ومن يشاقق الرسول من بعد ما تبين له الهدى ويتبع غير سبيل المؤمنين نوله ما تولى ونصله جهنم وساءت مصيرا
“Barang siapa yang menyelisihi Rosul setelah menjadi jelas kepadanya petunjuk dan mengikuti selain jalam kaum mukminin, maka Kami biarkan ia leluasa dalam kesesatannya tersebut dan Kami akan membakarnya dengan neraka Jahannam. Dan itu adalah seburuk buruk tempat kembali” (QS. An Nisaa: 115).
2. Menyalahi dalil yang shahih, sharih, tidak mansukh, dan tidak berlawanan dengan hadits lain yang shahih.
Hadits yang sharih adalah nash yang maknanya amat jelas dan tidak ada kemungkinan makna lain.
Contohnya hadits: “Setiap yang memabukkan adalah arak, dan setiap arak adalah haram“. HR Muslim.
Hadits ini amat jelas menunjukkan bahwa semua yang memabukkan itu arak. Maka dari itu para ulama mengingkari pendapat Abu Hanifah yang mengatakan bahwa arak itu adalah yang terbuat dari anggur saja.
3. Berdasarkan dalil yang palsu atau sangat lemah.
Karena semua ulama bersepakat haramnya mengamalkan hadits palsu atau hadits yang amat lemah dalam semua permasalahan baik aqidah, ibadah, maupun fadlilah amal. Demikian pula para ulama bersepakat haramnya menetapkan hadits lemah yang ringan dalam masalah aqidah.
Yang diperselisihkan adalah hukum mengamalkan hadits lemah yang ringan dalam fadlilah amal. Yang paling kuat adalah pendapat yang tidak memperbolehkannya karena hadits lemah hanya menghasilkan dugaan yang lemah.
4. Hanya berdasarkan hawa nafsu bukan berdasarkan wahyu.
Karena agama kita tidak dibangun di atas hawa nafsu manusia. Tapi harus berdasarkan wahyu dari Allah Ta’ala yang disampaikan kepada RasulNya shallallahu alaihi wasallam.
Inilah pendapat yang tidak dapat ditolerir dalam masalah agama, dan hendaknya kita meluruskan dan mengingkari pendapat seperti itu.
Wallahu a’lam.
***
Sumber: channel Al Fawaid
Penulis: Ust. Badrusalam, Lc.
**| republished by Lentera Kabah
Lentera Kabah
Tidak ada komentar