TANYA: Ada orang yang baru diterima kerja. Gaji pertama 5 jt/bln. Setiap kali dia mendapat gaji, dia zakati 2,5%. Alasannya, dari pada zakatnya diakhirkan, lebih baik dicicil setiap bulan. Jadi tabungannya semua sudah dizakati. Sehingga, nanti tidak perlu dizakati. Katanya, ini zakat profesi. Apakah zakatnya benar? mohon pencerahnnya.
JAWAB: Bismillah was shalatu was salamu ‘ala Rasulillah, wa ba’du, dikutip dari Konsultasi Syariah. Zakat, tidak seperti sedekah atau infak yang sifatnya anjuran. Zakat itu kewajiban yang ada ukurannya. Islam memberikan aturan khusus untuk zakat. Sehingga, tidak semua bentuk memberikan harta kepada fakir miskin, bisa disebut zakat. Memberikan harta kepada fakir miskin hanya bisa disebut zakat, jika memenuhi aturan zakat. Jika tidak sesuai aturan, itu bukan zakat.
Sebagaimana shalat, di sana ada rukun dan syarat. Jika itu shalat wajib, di sana ada ketentuan mengenai waktu pelaksanaan. Orang hanya boleh shalat subuh, setelah terbit fajar shodiq. Orang yang shalat 2 rakaat 5 menit sebelum terbit fajar, tidak disebut shalat subuh, meskipun dia niat untuk shalat subuh.
Ketentuan umum zakat, dinyatakan dalam hadis dari Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
فَإِذَا كَانَ لَكَ عِشْرُونَ دِينَارًا وَحَالَ عَلَيْهَا الْحَوْلُ فَفِيهَا نِصْفُ دِينَارٍ ، فَمَا زَادَ فَبِحِسَابِ ذَلِكَ
Jika kamu memiliki 20 dinar, dan sudah genap selama setahun, maka zakatnya ½ dinar. Lebih dari itu, mengikuti hitungan sebelumnya. (HR. Abu Daud 1575 dan dishahihkan al-Albani).
Dalam hadis ini, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menetapkan adanya nishab dan haul untuk zakat mal. Dan ini aturan baku. Siapapun tidak dibenarkan untuk membayar zakat dengan aturan berdasarkan inisiatif pribadi. Karena ibadah itu wahyu dan bukan berdasarkan inisiatif manusia.
Nishab, Sebab Wajibnya Zakat
Nishab adalah batas minimal harta yang wajib dizakati. Selama seseorang belum memiliki harta satu nishab, tidak ada kewajiban zakat baginya. Karena itu, membayar zakat sebelum nishab, sama dengan membayar zakat sebelum ada sebabnya. Para ulama meng-analogikan ini seperti orang shalat sebelum masuk waktu.
Untuk itulah ulama sepakat tidak boleh membayar zakat sebelum memiliki harta satu nishab.
Ibnu Qudamah mengatakan,
ولا يجوز تعجيل الزكاة قبل ملك النصاب بغير خلاف علمناه ، ولو ملك بعض نصاب فعجل زكاته أو زكاة نصاب : لم يجُز ؛ لأنه تعجَّل الحكم قبل سببه
Tidak boleh mendahulukan zakat sebelum memiliki harta satu nishab, tanpa ada perbedaan pendapat ulama yang kami tahu. Jika ada orang memiliki harta separuh nisab, lalu dia menyegerahkan zakat, atau dia bayar zakat satu nishab, hukumnya tidak boleh. Karena dia mendahulukan hukum sebelum sebab. (al-Mughni, 2/495)
Dalam Ensiklopedi Fiqh juga dinyatakan,
لا خلاف بين الفقهاء في عدم جواز التكفير قبل اليمين ؛ لأنه تقديم الحكم قبل سببه ، كتقديم الزكاة قبل ملك النصاب ، وكتقديم الصلاة قبل دخول وقتها .
Tidak ada perbedaan pendapat di kalangan ulama tentang tidak bolehnya membayar kaffarah sumpah sebelum ada sumpah, karena berarti mendahulukan hukum sebelum ada sebabnya. Seperti mendahulukan zakat sebelum memiliki satu nishab, atau mendahulukan shalat sebelum masuk waktunya. (al-Masusu’ah al-Fiqhiyah, 35/48)
Kami tegaskan ulang, kesimpulan bahwa membayar zakat sebelum nishab, zakatnya tidak sah. Tidak sah dalam arti tidak terhitung sebagai zakat. Meskipun dia mendapat pahala sedekah dari harta yang dia berikan ke fakir miskin.
Kasus Zakat Bulanan
Ketika si A memiliki gaji 5 jt/bulan, secara perhitungan, dalam setahun pemasukan si A senilai 60 jt. Nilai ini di atas satu nishab. Apakah si A wajib zakat?
Bahwa yang dihitung dari zakat adalah tabungan, akumulasi uang mengendap, dan bukan akumulasi pemasukan. Pemasukan si A 5jt/bln. Tapi jika dikurangi biaya hidup dan semua pengeluarannya, si A hanya menyisakan Rp 1 jt yang bisa ditabung.
Jika penghasilan si A hanya ini, sementara dia tidak punya tabungan, maka si A tidak wajib zakat. Dalam waktu setahun, tabungan si A baru terkumpul 12 jt.
Itu artinya, jika si A membayar zakat 2,5% dari sejak dia mendapatkan gaji di bulan pertama, berarti si A membayar zakat sebelum memiliki harta satu nishab. Dan tentu saja, tidak sah sebagai zakat, meskipun dia mendapat pahala sedekah.
Jika kita asumsikan kondisi si A selalu stabil, maka dia baru memiliki harta 1 nishab, setelah kurang lebih 3,5 tahun bekerja. Sehingga si A memiliki tabungan 43 juta. Di titik itu, si A baru memiliki harta satu nishab. Tapi si A belum diwajibkan bayar zakat. Sampai uang itu mengendap selama setahun.
Sisi Negatif Zakat Profesi
Fokus di pertanyaan.
Masyarakat menganggap model zakat semacam ini dengan zakat profesi. Setidaknya ada 2 konsekuensi buruk ketika zakat profesi diterapkan,
[1] Orang yang belum memiliki harta sebesar nishab, membayar zakat. Padahal itu zakat sebelum ada sebabnya. Dan ulama sepakat, zakatnya tidak sah.
[2] Muncul anggapan tidak lagi wajib zakat karena sudah dikeluarkan zakat profesinya setiap bulan ketika menerima gaji. Padahal dia punya tabungan di atas nishab tersimpan tahunan, yang seharusnya itu dizakati.
Dari kasus si A. Dengan asumsi penghasilan si A tetap, mungkin di tahun keempat, si A tabungannya menjadi 48 jt. Di atas nishab. Tapi si A merasa dia sudah zakat, sehingga tidak bayar zakat lagi. Padahal tabungan itulah yang seharusnya dizakati.
Menurut mayoritas para ulama kontemporer bahwa zakat profesi tidak dikeluarkan pada saat diterima akan tetapi digabungkan dengan uang yang lain yang mencapai nishab dan mengikuti haulnya (berlalu 1 tahun qamariyah).
Pendapat ini juga merupakan hasil keputusan muktamar zakat pertama se-dunia di Kuwait pada tahun 1984, yang berbunyi,
”Zakat upah, gaji dan profesi tidak dikeluarkan pada saat diterima, akan tetapi digabungkan dengan harta yang sejenis lalu dizakatkan seluruhnya pada saat cukup haul dan nishabnya.”
Kisah: Penghasilan Milyaran, Tidak Wajib Zakat
Berpenghasilan besar, belum tentu mendapat kewajiban zakat. Karena zakat hanya dibebankan untuk orang yang memiliki harta mengendap satu nishab selama setahun.
Meskipun seseorang memiliki harta di atas satu nishab, namun habis sebelum satu tahun, dia tidak wajib zakat.
Dulu ada ulama besar yang Allah berikan kekayaan melimpah, namun beliau tidak pernah berzakat. Karena hartanya habis sebelum genap setahun. Beliau adalah al-Laits bin Sa’d rahimahullah.
Qutaibah menceritakan,
كان الليث يستغل عشرين ألف دينار في كل سنة وقال ما وجبت علي زكاة قط
Penghasilan Al-Laits mencapai 12.000 dinar dalam setahun. Dan beliau mengatakan, “Aku tidak pernah mendapat kewajiban zakat.”
12.000 dinar itu berapa rupiah? 25.500.000.000. Biar gampang bacanya, kita ringkas: 25 M + 500 jt.
Mengapa beliau tidak pernah zakat?
Uang itu habis sebelum haul. Beliau pernah memberikan 1000 dinar ke Manshur bin Ammar, 1000 dinar kepada Ibnu Lahai’ah (seorang ulama hadis). 500 dinar kepada Imam Malik, dst. dan masih banyak lagi yang belum tercatat. Wallahu a’lam.
**| republished by Lentera Kabah
Lentera Kabah
Tidak ada komentar