Namanya adalah Sa`d bin Mâlik bin Uhaib Radhiyallahu anhu, ada yang mengatakan Ibnu Wuhaib bin Abdu Manâf bin Zahrah bin Kilab al-Qurasyiy az-Zuhri atau Abu Ishak bin Abi Waqas . Ibunya bernama Hamzah bintu Sufyan bin Umayyah, anak paman Abu Sufyan bin Harb bin Umayah. Sa’d bin Waqash Radhiyallahu anhu adalah satu di antara Sahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang memiliki banyak keutamaan, di antaranya adalah termasuk Sahabat yang pertama-tama masuk Islam dan meninggal paling akhir. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga memberikan rekomendasi kepadanya bahwa dia termasuk ahli surga. Maka, tak heran jika dia termasuk mujâbud da`wah (orang yang di kabulkan doanya).
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah berdoa.
اللَّهُمَّ اسْتَجِبْ لَهُ إِذَادَعاَك
Ya Allah Azza wa Jalla kabulkanlah doanya (Sa`d) jika dia berdoa
Berikut ini adalah kisahnya sebagai sang mujâbud da`wah.
Disebutkan dalam hadits Bukhâri bahwa Jâbir bin `Abdullah bin Samurah Radhiyallahu anhu berkata, “Sebagian penduduk Kufah mengeluhkan Sa`d bin Abi Waqâsh Radhiyallahu anhu kepada Umar bin khaththâb Radhiyallahu anhu . Umar Radhiyallahu anhu pun memberhentikan jabatan Sa’d Radhiyallahu anhu ;dan memilih Ammâr bin Yâsir Radhiyallahu anhu sebagai penggantinya. Mereka mengeluhkan Sa`d Radhiyallahu anhu karena dia tidak bagus dalam shalatnya (dalam riwayat lain mereka mengeluhkan segala sesuatu darinya termasuk shalatnya). Umar Radhiyallahu anhu mengutus seseorang kepadanya, kemudian sampailah utusan itu kepada Umar bersama. Sa`d Radhiyallahu anhu menghadap Umar Radhiyallahu anhu . Umar Radhiyallahu anhu berkata kepada Sa`d Radhiyallahu anhu , “Wahai Abu Ishâk (panggilan Sa`d Radhiyallahu anhu ), sesungguhnya penduduk Kufah menganggap engkau tidak bagus dalam shalatmu.” Sa`d Radhiyallahu anhu menjawab,”Adapun aku, demi Allah Azza wa Jalla aku shalat dengan mereka, sebagaimana shalat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan aku tidak pernah menguranginya sedikitpun. Aku mengerjakan shalat Isya`; aku panjangkan pada rakaat awalnya dan aku pendekkan pada rakaat akhirnya.” Umar Radhiyallahu anhu berkata, “Sudah kami duga wahai Abu Ishâk .” Kemudian Umar Radhiyallahu anhu menyuruhnya kembali bersama seseorang atau beberapa orang lainnya ke Kufah. Utusan bertanya kepada penduduk Kufah tentang Sa`d bin Abi Waqâsh Radhiyallahu anhu . Tidak ada satu masjid pun yang mereka lewati, kecuali pasti ia bertanya kepada mereka (tentang Sa`d Radhiyallahu anhu).
Mereka memuji tentang kebaikan-kebaikannya Sa’d Radhiyallahu anhu, hingga utusan itu masuk masjid milik Bani Abs. Seseorang yang bernama Usâmah bin Qatâdah berdiri dan berkata, “Apabila kalian meminta kami untuk berbicara tentang Sa`d Radhiyallahu anhu, maka sesungguhnya Sa`d Radhiyallahu anhu tidak pernah ikut dalam sariyah (peperangan yang tidak di ikuti oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam), tidak pernah membagi sama rata dan tidak menetapkan hukum dengan adil.” Ketika mendengar informasi tentang ucapan Usâmah itu, Sa`d Radhiyallahu anhu marah sambil berkata, “Demi Allah Azza wa Jalla , aku benar-benar berdoa untuk tiga hal ; “Ya Allah Azza wa Jalla jika hambamu ini dusta, berdiri karena riyâ` atau sum`ah, maka panjangkanlah umurnya, panjangkanlah kefakirannya dan hadapkanlah dia kepada fitnah/cobaan.” Berkaitan dengan ucapan Sa’d Radhiyallahu anhu ini, Abdul Mâlik bin Umair berkata, “Setiap kali dia (Usâmah Bin Qatâdah) ditanya, “Bagaimana keadaanmu?” dia menjawab, “Aku adalah orang tua yang telah terkena terkena doanya Sa`d bin Abi Waqash Radhiyallahu anhu .” `Abdul Mâlik menambahkan, “Setelah itu aku melihatnya buta karena tua.
Mâlik mengatakan, “Umar Bin Khaththâb Radhiyallahu anhu melepaskan jabatan Sa`d Radhiyallahu anhu -padahal Sa’d Radhiyallahu anhu adalah orang yang paling adil setelah Umar Radhiyallahu anhu – yang nampak, Umar Radhiyallahu anhu melepas jabatannya dalam rangka mengantisipasi timbulnya fitnah.[1]
Jadi, bisa difahami bahwa Umar bin Khatthâb Radhiyallahu anhu melepaskan jabatan Sa`d Radhiyallahu anhu bukan karena percaya dengan informasi tentang kekurangan Sa`d Radhiyallahu anhu , tetapi merupakan langkah preventif. Umar bin khaththâb Radhiyallahu anhu berkata, “Aku melepaskan jabatannya bukan karena dia tidak mampu atau khianat”.[2]
Dalam kitab al-Mustadrak disebutkan bahwa Qais bin Hâzim berkata,“ Tatkala aku keliling pasar di Madinah, aku sampai di Ahjâr Zait. Aku melihat ada suatu kaum yang berkumpul di hadapan seorang penunggang kuda yang menaiki tunggangannya. Penunggang kuda itu mencela Ali bin Abi Thâlib Radhiyallahu anhu padahal banyak orang di sekelilingnya. Tiba-tiba, datanglah Sa`d bin Abi Waqash Radhiyallahu anhu dan bertanya kepada mereka,“Ada apa ini?” Mereka menjawab, “Ini, ada seseorang yang mencela Ali bin Abi Thâlib Radhiyallahu anhu .” Lalu Sa`d Radhiyallahu anhu maju ke hadapannya dan berkata, “Hai, atas dasar kamu yang mencela Sahabat Ali bin Abi Thâlib Radhiyallahu anhu ? Bukanlah dia termasuk orang yang pertama masuk Islam? Bukankah dia orang yang pertama shalat dengan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ? Bukankah dia orang yang paling zuhud? Bukankah dia orang yang paling alim?” Dia bertanya terus hingga mengatakan, “Bukankah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengawinkannya dengan putrinya?” Bukankah dia pembawa panji Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam beberapa peperangannya?” Kemudian Sa`d Radhiyallahu anhu menghadap kiblat dan mengangkat kedua tangannya seraya berdoa, “Ya Allah Azza wa Jalla , sesungguhnya orang ini mencela salah satu walimu, maka janganlah Engkau pisahkan kumpulan orang ini hingga Engkau menampakkan kekuasaan-Mu kepada mereka.” Qais berkata , “Demi Allah Azza wa Jalla , kami tidak berpencar hingga kudanya tersungkur dan ia terlempar darinya; kemudian kepalanya pecah dan ia pun mati.” [al-Mustadrak 3/99]
Demikianlah kisah yang menunjukkan bukti kekuasaan Allah Azza wa Jalla yang di berikannya kepada Sa`d bin Abi Waqash berupa doa yang mustajab. Doa-doa yang secara langsung dikabulkan oleh Allah Azza wa Jalla di muka bumi ini.
(Disadur dari kitab Ash-Shahîhul Musnad Min Fadhâilish Shahâbah, Dâr Ibnu Affân hal: 155,160-161. karya Abu `Abdillâh Musthafa bin al-Adawi dan sedikit tambahan dari Fathul Bâri)
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 03/Tahun XIII/1430H/2009M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl9 Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-761016]
_______
Footnote
[1]. Fathul bâri , kitâbul adzân juz 2/ 658
[2]. Fathul bâri , kitâbul adzân juz 2/ 654
**| republished by Lentera Kabah
Lentera Kabah
Tidak ada komentar