Lebih dari 370.000 anak beresiko mengalami kelaparan di Yaman, kata Perserikatan Bangsa-Bangsa, setelah 15 bulan negara itu mengalami perang.
Menurut laporan terbaru PBB, lebih dari 14 juta orang, sekitar setengah populasi, mengalami kelaparan dan sangat membutuhkan bantuan pangan serta kesehatan.
Sekitar 500.000 anak di bawah usia lima tahun mengalami malnutrisi, dengan dua pertiga dari mereka sangat parah hingga bisa mengalami kematian jika tidak segera ditangani, kata PBB.
“Sedikitnya 370.000 anak mengalami malnutrisi akut parah,” kata Mohammed Al-Asaadi, juru bicara PBB untuk urusan anak-anak di Yaman kepada Aljazeera Rabu (3/8/2016).
“Kita bicara soal kenaikan 50 persenn dibanding angka sebelumnya awal tahun ini.”
Malnutrisi akut parah adalah penyebab kematian terbanyak anak-anak di bawah usia 5 tahun, dan sangat kentara jika seorang anak memiliki berat badan sangat rendah dibanding tinggi badannya dan kelihatan kurus kering.
Yaman tercabik-cabik perang sejak 2014, ketika kelompok pemberontak Syiah Hautsi (Houthi), yang bersekutu dengan tentara loyalis mantan presiden Ali Abdullah Saleh, menguasai sebagian wilayah negeri itu, termasuk ibukota Sanaa.
Pasukan koalisi negara Arab pimpinan Saudi melancarkan serangan udara terhadap pemberontak pada Maret 2015. Sejak itu lebih dari 9.000 orang tewas dan 2,8 juta orang terpaksa meninggalkan rumah-rumah mereka.
Kondisi semakin parah, terutama bagi kaum miskin papa, dengan kenaikan inflasi harga pangan dan bahan bakar.
“Orang-orang tidak bisa membeli makanan. Hasil panen yang bagus sebenarnya dapat membantu keadaan, tetapi jutaan orang tidak bisa bekerja dan banyak orang kehilangan tempat tinggal. Sampai inflasi diatasi situasinya akan terus memburuk,” kata Asaadi.
Warga bernama Taqwa Muhammad, penduduk Hudeidah, kota di barat Yaman yang dikuasai pemberontak Hautsi, mengatakan kepada Aljazeera bahwa kenaikan harga pangan berdampak buruk pada anak-anaknya.
“Saya tidak mampu membeli susu atau obat-obatan untuk anak-anak. Jika salah satu dari mereka sakit, saya tidak bisa membawanya ke dokter, saya meminjam obat demam dan batuk dari tetangga,” kata wanita itu.
Organisasi-organisasi kemanusiaan, seperti Médecins Sans Frontières (MSF) alias Doctors Without Borders, mengaku kesulitan untuk mengirimkan bantuan ke banyak daerah, karena adanya pertempuran dan serangan udara.
Menurut mereka, pemberontak Hautsi membuat keadaan bertambah parah dengan melarang bantuan medis masuk ke wilayah-wilayah yang dikuasainya.
Hari Ahad (31/7/2016), pemberontak Syiah Hautsi menolak kesepakatan damai yang dijembatani PBB di Kuwait, yang isinya antara lain mengharuskan mereka menarik diri dari Sanaa, serta kota Taiz dan Hudeida, dan menyerahkan kekuasaannya ke pemerintahan Yaman yang sah yang sekarang berada di pengasingan.*
**| republished by Lentera Kabah
Lentera Kabah
Tidak ada komentar