SUATU pagi di bulan November 1954, Profesor Katsh—seorang Rabbi Yahudi, berdebat dengan para mahasiswanya soal monoteisme yang diajarkan oleh Musa (AS). Menurut Katsh, moral buatan manusia, seperti budaya etika dan filosofi agnostik dan ateis, bisa diubah sesuai keinginan, menurut kehendak belaka, kenyamanan atau keadaan seseorang.
Di kelas itu ada Margaret (Peggy) Marcus. Pertama kali Peggy masuk ke kelas Profesor Katsh, Peggy melihat sekeliling ruangan untuk mencari kursi yang masih kosong.
Ia duduk di sana mendengarkan Katsh. Tepat sebelum kuliah sang Rabbi Katsh dimulai, seorang gadis tinggi, sangat ramping dengan kulit pucat dan rambut pirang tebal, duduk di sebelah Peggy. Penampilannya begitu khas. Namanya Zenita. “Saya pikir dia pasti mahasisi asing dari Turki, Suriah, atau negara Timur Dekat lainnya,” kenangnya waktu itu, seperti dikutip dari onislam.net.
Sebagian besar siswa lain adalah para pemuda muda yang mengenakan topi hitam Ortodoks Yahudi, persis seperti rabi. Hanya Peggy dan Zenita yang merupakan perempuan di kelas itu.
“Ketika kami pergi perpustakaan sore itu, dia memperkenalkan dirinya kepada saya. Lahir dari keluarga Yahudi Ortodoks, orang tuanya telah bermigrasi ke Amerika dari Rusia hanya beberapa tahun sebelum Revolusi Oktober tahun 1917 untuk menghindari penganiayaan,” tutur Peggy.
Ada yang diingat oleh Peggy dari Zenita saat itu. Selain menguasai bahasa Ibrani yang fasih, oleh ayahnya Zenita juga menghabiskan waktu luangnya untuk belajar bahasa Arab.
Ketika itu, Zenita dan Peggy berteman biasa saja. Sampai suatu waktu, tiba-tiba Zenita menelepon dan meminta Peggy untuk menemuinya di Museum Metropolitan dan pergi bersamanya untuk melihat pameran khusus indah kaligrafi Arab dan manuskrip kuno Quran.
Ada yang dikatakan oleh Zenita ketika itu. Selama jalan-jalan ke museum, Zenita bercerita ternyata dia telah memeluk Islam dengan dua teman dari Palestina sebagai saksi.
“Mengapa kau memutuskan untuk menjadi seorang Muslim?” tanya Peggy heran.
Zenita mengatakan bahwa satu waktu dia jatuh sakit dengan infeksi ginjal yang parah. Kondisinya sangat kritis, dan bahkan ayah dan ibunya tidak menyangka dia bisa bertahan hidup.
“Suatu sore sambil menahan demam tinggi, aku meraih Quran di meja samping tempat tidur dan mulai membaca dan sementara aku membacakan ayat-ayat, aku merasa sangat tersentuh begitu dalam sehingga aku jadi menangis. Ketika itu aku tahu aku akan sembuh. Ketika sudah bisa cukup kuat untuk meninggalkan tempat tidurku, aku memanggil dua teman Muslim dan mengucapkan syahadat,” jujur Zenita memaparkan.
Sejak saat itu, keduanya semakin sering jalan bersama. Peggy juga masih terus mengikuti kelas Profesor Katsh. Namun sekarang, dengan isi pikiran yang berbeda.
Ia terus membandingkan dalam pikirannya sendiri apa yang telah ia baca dalam Perjanjian Lama dan Talmud dengan apa yang diajarkan dalam Al-Quran dan Hadis. Semakin lama, perbandingannya pun menjurus, dan akhirnya Peggy memutuskan masuk Islam. Ia pun mengganti namanya menjadi Maryam Jamilah. Selamat, Maryam!
** | republished by Lentera Kabah
Lentera Kabah
Tidak ada komentar