Oleh
Ustadz Anas Burhanuddin MA
Pertanyaan.
Assalamu ‘alaikum. Bagaimana hukumnya seorang laki-laki ajnabi (bukan mahram) menguburkan mayyit wanita? Apa diwajibkan kepada lelaki ajnabi ini untuk izin terlebih dahulu kepada pihak mahram si mayyit untuk turun atau masuk ke lubang kubur dan ketika lelaki ajnabi itu masuk bersama mahram si mayyit, lelaki yang menjadi mahram dari mayit tidak marah bahkan mengucapkn terima kasih kepada lelaki ajnabi. Anehnya, yang marah adalah orang-orang lain dan para ustadznya pun tidak ada yang berusaha mendekati atau bertanya atau memberi nasehat tentang benar dan tidak perbuatan lelaki ajnabi tersebut.
Apakah perbuatan lelaki ajnabi itu dibenarkn menurut hukum syar’i ustadz? Jazâkumullâh khairan
Jawaban.
Wa’alaikum salam warahmatullah wabarakatuh. Semoga Allâh Azza wa Jalla menambah semangat Anda untuk terus mendalami ilmu agama.
Semua Ulama sepakat bahwa orang yang paling berhak untuk turun ke liang lahat atau kubur dan menguburkan jenazah seorang wanita adalah mahramnya.[1] Dasarnya adalah atsar berikut ini :
عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ أَبْزَى، قَالَ: ” صَلَّيْتُ مَعَ عُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ عَلَى زَيْنَبَ زَوْجِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَكَبَّرَ أَرْبَعًا، ثُمَّ أَرْسَلَ إِلَى أَزْوَاجِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ يُدْخِلُهَا قَبْرَهَا، وَكَانَ عُمَرُ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ يُعْجِبُهُ أَنْ يُدْخِلَهَا قَبْرَهَا، فَأَرْسَلْنَ إِلَيْهِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُنَّ: يُدْخِلُهَا قَبْرَهَا مَنْ كَانَ يَرَاهَا فِي حَيَاتِهَا قَالَ: صَدَقْنَ
Abdurrahman bin Abza berkata, “Saya menyhalatkan Zainab isteri Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersama Umar Radhiyallahu anhu, maka Beliau menyhalatkannya dengan takbir empat kali, kemudian mengirim orang kepada para isteri Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk menanyakan siapa yang akan memasukkan jenazah ke dalam kubur. Umar Radhiyallahu anhu sendiri ingin Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang memasukkan jenazah ke kuburan. Lalu para isteri mengirimkan jawaban bahwa yang akan memasukkan ke kuburan adalah kerabat yang dibolehkan melihat (wajah) Zainab saat masih hidup (para mahramnya). Umar Radhiyallahu anhu mengatakan, “Mereka benar.” [HR. al-Baihaqi no. 6.949, dihukumi shahih oleh al-Albani]
Jika si wanita tidak memiliki mahram, atau memiliki mahram namun berhalangan, pria yang bukan mahramnya boleh membantu penguburannya dengan turun ke liang kubur atau mengangkatnya. Hal itu dijelaskan dalam hadits berikut:
عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، قَالَ: شَهِدْنَا بِنْتًا لِرَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، قَالَ: وَرَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ جَالِسٌ عَلَى القَبْرِ، قَالَ: فَرَأَيْتُ عَيْنَيْهِ تَدْمَعَانِ، قَالَ: فَقَالَ: «هَلْ مِنْكُمْ رَجُلٌ لَمْ يُقَارِفِ اللَّيْلَةَ؟» فَقَالَ أَبُو طَلْحَةَ: أَنَا، قَالَ: «فَانْزِلْ» قَالَ: فَنَزَلَ فِي قَبْرِهَا
Anas bin Mâlik z berkata, “Kami menghadiri pemakaman salah seorang puteri Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Rasûlullâh duduk di atas pekuburan dan saya melihat kedua mata Beliau berlinang. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya, ‘Adakah di antara kalian yang tidak berhubungan tadi malam?’ Abu Thalhah z menjawab, ‘Saya.’ Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, ‘Turunlah!’ Maka Abu Thalhah z turun ke liang kuburnya.” [HR. Al-Bukhâri no. 1.285]
Puteri Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang dikubur dalam kisah hadits ini adalah seorang puteri yang sudah dewasa, yakni Ummu Kultsûm Radhiyallahu anhuma, isteri dari ‘Utsmân bin ‘Affân Radhiyallahu anhu. Sedangkan Abu Thalhah Radhiyallahu anhu adalah ayah tiri Anas bin Malik Radhiyallahu anhu dan bukan mahram bagi Ummu Kultsum.
Kata لَمْ يُقَارِفِ dalam hadits ditafsirkan oleh sebagian Ulama dengan melakukan dosa besar, dan sebagian lagi menafsirkannya dengan berhubungan intim, dan penafsiran kedua ini lebih kuat.[2] Mendengar pertanyaan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tersebut, ‘Utsman selaku suami Ummu Kultsûm mundur dan tidak ikut turun ke liang kubur.
Bukan berarti orang yang berhubungan intim pada malam sebelumnya tidak boleh menguburkan, namun yang tidak berhubungan lebih diutamakan, terutama jika lebih mahir dan berpengalaman, meskipun bukan mahram.[3]
Demikian telah diajarkan oleh Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam .
Dengan demikian, menjadi jelas bahwa orang yang bukan mahram bagi mayit wanita boleh menguburkan jenazah wanita. Namun untuk menghindari su`uzhan dan simpang siur dalam penguburan, hendaknya ada tokoh masyarakat atau keluarga mayit yang menjadi koordinator pengurusan jenazah, sebagaimana dicontohkan oleh Umar bin al-Khaththab Radhiyallahu anhu dalam atsar di atas. Di samping itu, hukum dan adab pengurusan jenazah secara islami hendaknya secara berkala diangkat dalam khutbah Jum’at atau pengajian-pengajian, karena masih banyak umat Islam yang belum mengetahuinya.
________
Footnote
[1] Lihat al-Mughni 2/189.
[2] Lihat Nailul Authâr 4/105.
[3] Lihat: Liqa`at al-Bâb al-Maftûh (Tanya Jawab Terbuka bersama Syaikh al-‘Utsaimain) no. 77.
**| republished by Lentera Kabah
Lentera Kabah
Tidak ada komentar