Oleh
Ustadz Kholid Syamhudi, Lc
Sangat banyak pernyataan Imam asy-Syâfi’i rahimahullah yang menjelaskan komitmennya yang sangat tinggi terhadap Sunnah Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Juga menjelaskan besarnya beliau bersandar kepada Sunnah dan menjadikan Sunnah sebagai dasar ijtihadnya. Bahkan beliau tidak memandang hujjah pada selainnya bila Sunnah tersebut shahîh.
Ar-Rabî’ menceritakan pernyataan Imam asy- Syâfi’i rahimahullah kepada beliau: “Aku telah memberikan kepadamu pesan -yang insya Allah- mencukupkanmu, (yaitu): jangan tinggalkan satu pun hadits Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam kecuali ada yang menyelisihinya (dari nash syariat), amalkanlah hadits-hadits tersebut sesuai ilmumu apabila berselisih”.[1]
Sedangkan murid dekat beliau, Imam al-Muzani rahimahullah berkata: “Imam asy-Syâfi’i rahimahullah berkata,’Apabila kamu dapati satu Sunnah (hadits) yang shahîh, maka ikutilah dan jangan berpaling kepada pendapat dari seorang pun’.”[2]
Sedemikian tinggi komitmen beliau dalam mengikuti Sunnah Rasûlullâh sehingga di Negeri Iraq dijuluki dengan Nâshir as-Sunnah (pembela Sunnah). Hal ini disampaikan al-Khathib al-Baghdadi dengan pernyataannya: “Al-Imam asy-Syâfi’i (adalah) perhiasan ahli fikih dan mahkota para ulama,” kemudian al-Baghdadi juga berkata: “Memasuki kota Baghdad dua kali dan menyampaikan hadits disana serta mereka namakan Nashir as-Sunnah (pembela Sunnah)”.[3]
Imam ahli Hadits Ahmad bin Hambal memberikan persaksian tentang ketinggian Imam asy-Syâfi’i rahimahullah dalam komitmennya mengikuti hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Seorang ulama besar bernama Abdulmalik bin Abdulhamid bin Mihram (wafat 274 H) pernah berkata: “Ahmad bin Hambal rahimahullah pernah berkata kepadaku,’Mengapa kamu tidak melihat buku-buku karya Imam asy-Syâfi’i? Tiada seorang pun yang menulis kitab sejak adanya kitab-kitab tersebut yang lebih mengikuti Sunnah Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dari asy-Syâfi’i’.”[4]
Imam Ahmad rahimahullah pun menyatakan: “Apabila hadits tersebut shahîh menurut Imam asy-Syâfi’i rahimahullah pasti dia berpendapat dengannya”.[5] Sedangkan Imam Abdurrahmân bin Mahdi rahimahullah berkata: “Wafat ats-Tsauri dan hilanglah sifat wara`, dan wafat asy-Syâfi’i rahimahullahdan hilang juga sunnah-sunnah, serta wafat Ahmad bin Hambal, dan muncullah kebidahan-kebidahan”.[6] Sehingga tidaklah berlebihan bila seorang ulama bernama Abul-Azhar Hautsarah bin Muhammad al-Munqiri rahimahullah (wafat tahum 256 H ) berkata: “Sunnah menjadi jelas pada seseorang dalam dua perkara, yaitu: cintanya kepada Ahmad bin Hambal dan menulis buku-buku karya Imam asy-Syâfi’i”.[7]
Sejauh mana bukti Imam asy-Syâfi’i rahimahullah dengan komitmennya mendahulukan hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam , meninggalkan semua kaidah dan pendapat yang menyelisihi dalil al-Qur`ân dan Sunnah? Berikut penukilan berkaitan dengan hal tersebut.
1. Imam ar-Rabi’ rahimahullah menceritakan bahwa Imam asy-Syâfi’i rahimahullah berkata: “Pasti tidak ada seorang pun yang sempurna menguasai seluruh hadits Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Semua pendapat yang pernah aku sampaikan dan kaidah yang pernah aku tetapkan menyelisihi yang telah disampaikan Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka pendapat yang benar adalah pendapat Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan itulah pendapatku juga”. Imam asy- Syâfi’i rahimahullah sering mengulang-ulang ucapan ini.[8]
2. Abu Tsaur meriwayatkan perkataan Imam asy- Syâfi’i rahimahullah : “Semua hadits dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam maka ia adalah pendapatku walaupun kalian tidak pernah mendengarnya dariku”.[9]
3. Imam Ahmad bin Hambal rahimahullah berkata: “Imam asy- Syâfi’i rahimahullah pernah berkata kepada kami: ‘Kalian lebih mengetahui hadits dan perawi hadits dariku. Apabila hadits itu shahih maka beritahukanlah kepadaku, baik itu dari Kufah, Bashrah maupun Syam hingga aku berpendapat dengannya apabila haditsnya shahîh.”[10]
Beliau disini tidak menyebutkan hadits dari Makkah atau Madinah, karena Imam asy-Syafi’i orang yang lebih mengerti dari selainnya. Namun yang perlu dilihat adalah bagaiman komitmennya terhadap hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam sehingga beliau berhujjah dengan semua hadits yang shahîh.
4. Imam ar-Rabi’ rahimahullah menyampaikan pernyataan Imam asy-Syafi’i rahimahullah : “Apabila kalian mendapatkan dalam kitabku yang menyelisihi Sunnah (hadits) Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam maka berpendapatlah dengan Sunnah tersebut dan tinggalkanlah pendapatku tersebut”.
5. Imam ar-Rabi’ rahimahullah menyatakan: “Aku telah mendengar Imam asy- Syâfi’i rahimahullahberkata: ‘Bilamana sampai kepadaku hadits yang shahîh dari Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan (aku) tidak mengambilnya, maka persaksikanlah kalian bahwa akalku telah hilang’.”[12]
6. Imam ar-Rabi’ rahimahullah juga meriwayatkan pernyataan Imam asy- Syâfi’i rahimahullah: “Semua masalah yang telah aku fatwakan lalu ada hadits yang shahih dari Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang menyelisihi pendapatku tersebut, maka aku ruju` darinya saat masa hidup dan setelah kematianku”.[13]
7. Imam al-Muzani rahimahullah menyampaikan pernyataan Imam asy-Syafi’i rahimahullah : “Apabila kalian mendapatkan Sunnah (hadits) yang shahîh, maka ikutilah Sunnah tersebut dan jangan berpaling kepada pendapat seorang pun”[14].
Demikian juga telah masyhur pernyataan beliau yang berbunyi: “Apabila hadits itu shahîh, maka ia adalah madzhabku”, dan lebih tegas lagi Imam asy- Syâfi’i rahimahullah mengatakan: “Apabila haditsnya shahîh, maka buang jauh-jauh pendapatku”[15]
Pernyataan ini menunjukan kehati-hatian beliau dalam beragama, dan menunjukkan kekhawatiran beliau atas masuknya ajaran selain Islam ke dalam agama ini. Apalagi manusia sangat memberikan kepercayaan dan apresiasi tinggi terhadap agama, keshalihan dan ijtihad beliau. Sehingga dengan menyampaikan sikap dan pernyataan ini, beliau memiliki hujjah di hadapan Allâh Azza wa Jalla apabila terdapat fatwa dan pernyataannya yang menyelisihi kebenaran, hingga al-Buwaithi menceritakan bahwa asy- Syâfi’i rahimahullah berkata: “Aku telah menulis kitab-kitab ini dan tidak mencukupkan hanya dengannya dan mesti terdapat kesalahan; karena Allâh Ta’ala berfirman:
وَلَوْ كَانَ مِنْ عِنْدِ غَيْرِ اللَّهِ لَوَجَدُوا فِيهِ اخْتِلَافًا كَثِيرًا
(Kalau kiranya al-Qur`ân itu bukan dari sisi Allâh, tentulah mereka mendapat pertentangan yang banyak di dalamnya – an-Nisâ`/4 ayat 82). Apa yang kalian dapatkan dalam kitab-kitabku ini ada yang menyelisihi al-Qur`ân dan as-Sunnah maka aku telah ruju` darinya”.[16]
Sedemikian tinggi komitmen beliau terhadap hadits-hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam sehingga menyatakan secara tegas bahwa semua pendapat beliau yang menyelisihi hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang shahîh maka itu salah dan ruju` dari kesalahan tersebut. Tidak hanya sekedar ruju` bahkan sampai menyatakan itulah pendapat beliau. Baik ketika masih hidup maupun setelah kematiannya.
Dengan itu semua, marilah kita yang mencintai Imam asy-Syafi rahimahullah dan mengaku sebagai pengikut madzhab beliau segera mengikuti langkah dan sikap imam besar yang mulia ini. Semoga kita dapat melakukannya. Wallâhu a’lam.
_______
Footnote
[1]. Tawalli at-Ta’sis, hlm. 63.
[2]. Tawalli at-Ta’sis, hlm. 63.
[3]. Târikh al-Baghdadi, 2/56.
[4]. Adâb asy-Syâfi’i wa Manaqibuhu, hlm. 61.
[5]. Tawalli at-Ta’sis, hlm. 63.
[6]. Thabaqât asy-Syâfi’iyah, 2/29.
[7]. Al-Intiqa`, hlm. 89.
[8]. Mu’jam al-Adab, 17/311.
[9]. Adab asy-Syâfi’i, hlm. 94.
[10]. Adab asy-Syâfi’i, hlm. 94.
[11]. Tawalli at-Ta’sis, hlm. 63.
[12]. Tawalli at-Ta’sis, hlm. 63.
[13]. Tawalli at-Ta’sis, hlm. 63.
[14]. Tawalli at-Ta’sis, hlm. 63.
[15]. Al-Wafi wal-Wafiyaat, 2/173.
[16]. Tawalli at-Ta’sis, hlm. 62.
**| republished by Lentera Kabah
Lentera Kabah
Tidak ada komentar