Oleh
Al-Ustadz Yazid bin ‘Abdul Qadir Jawas
حفظه الله
Dari Ibnu ‘Abbâs Radhiyalllahu anhuma ia berkata, “Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
…وَإِيَّاكُمْ وَالْغُلُوَّ فِيْ الدِّيْنِ، فَإِنَّمَـا هَلَكَ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ بِالْغُلُوِّ فِيْ الدِّيْنِ
‘… Dan jauhilah oleh kalian sikap ghuluw (berlebihan) dalam agama, karena sesungguhnya orang-orang sebelum kalian telah binasa karena sikap ghuluw (berlebihan) dalam agama.’”
TAKHRIJ HADITS :
Hadits ini shahîh. Diriwayatkan oleh Ahmad (I/215, 347); An-Nasâi (V/268); Ibnu Mâjah (no. 3029); Ibnu Khuzaimah (no. 2867); Ibnu Hibbân (no. 3860-at-Ta’lîqâtul Hisân ‘ala Shahîh Ibni Hibbân) dan (no. 1011-Mawâriduzh Zham’âan ila Zawâidi Ibni Hibbân); Ibnul Jârûd (no. 473); Al-Hâkim (I/466), ia menshahihkannya sesuai dengan syarat al-Bukhâri dan Muslim dan adz-Dzahabi menyepakatinya; Al-Baihaqi dalam as-Sunanul Kubra (V/127).
An-Nawawi berkata dalam al-Majmû’ (VIII/137), “Sanadnya shahih sesuai dengan syarat Muslim.” Begitu juga yang dikatakan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah dalam Iqtidhâ Shirâthil Mustaqîm (I/328). Lihat Silsilah al-Ahâdîts ash-Shahîhah (no. 1283).
KOSA KATA HADITS :
اَلْغُلُوُّ : al-Ghuluw berasal dari kata “غَلاَ يَغْلُو غُلُوًّا” yang bermakna melampaui batas dalam ukuran.
SYARH HADITSs :
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam memperingatkan ummatnya dari sikap ghuluw dan mengatakan dengan jelas bahwa itu adalah sebab kehancuran dan kebinasaan, karena menyelesihi syari’at dan menjadi penyebab kebinasaan ummat-ummat terdahulu. Bahkan ghuluw menyebabkan manusia bisa menjadi kafir dan meninggalkan agama mereka.
Di antara bentuk ghuluw, yaitu sikap ghuluw terhadap orang-orang shalih dengan mengagungkan mereka, membangun kubur-kubur mereka, membuat patung-patung yang menyerupai mereka, bahkan sampai akhirnya mereka disembah.
Ibnul Qayyim al-Jauziyyah rahimahullah berkata, “Ini adalah penyakit pertama yang paling besar yang terjadi pada kaum Nûh Alaihissallam , sebagaimana Allâh Azza wa Jalla telah mengabarkan tentang mereka dalam al-Qur’ân, Allâh Azza wa Jalla berfirman :
قَالَ نُوحٌ رَبِّ إِنَّهُمْ عَصَوْنِي وَاتَّبَعُوا مَنْ لَمْ يَزِدْهُ مَالُهُ وَوَلَدُهُ إِلَّا خَسَارًا ﴿٢١﴾ وَمَكَرُوا مَكْرًا كُبَّارًا ﴿٢٢﴾ وَقَالُوا لَا تَذَرُنَّ آلِهَتَكُمْ وَلَا تَذَرُنَّ وَدًّا وَلَا سُوَاعًا وَلَا يَغُوثَ وَيَعُوقَ وَنَسْرًا ﴿٢٣﴾ وَقَدْ أَضَلُّوا كَثِيرًا ۖ وَلَا تَزِدِ الظَّالِمِينَ إِلَّا ضَلَالًا
Nuh berkata, ‘Ya Rabbku, sesungguhnya mereka durhaka kepadaku, dan mereka mengikuti orang-orang yang harta dan anak-anaknya hanya menambah kerugian baginya, dan mereka melakukan tipu daya yang sangat besar.” Dan mereka berkata, “Jangan sekali-kali kamu meninggalkan (penyembahan) tuhan-tuhan kamu dan jangan pula sekali-kali kamu meninggalkan (penyembahan) Wadd, dan jangan pula Suwa’, Yaguts, Ya‘uq dan Nasr. Dan sungguh, mereka telah menyesatkan orang banyak; dan janganlah Engkau tambahkan bagi orang-orang yang zalim itu selain kesesatan.” [Nûh/71:21-24]”[1]
Ibnu ‘Abbâs Radhiyalllahu anhumaberkata tentang ayat ini, “Berhala-berhala yang ada pada kaum Nabi Nûh (kemudian) diwarisi oleh orang-orang Arab setelah itu. Wadd menjadi berhala milik Kalb di Daumah al-Jandal. Suwa’ milik Hudzail, Yaghûts milik Murad kemudian Bani Ghuthaif di al-Juruf di negeri Saba’. Ya’uq milik Hamdan, Nasr milik Himyar alu Dzil Kala’, mereka (sebenarnya) adalah nama orang-orang shalih dari kaum Nabi Nûh. Tatkala mereka meninggal, setan membisikkan kepada kaum mereka, agar mereka mendirikan patung-patung pada tempat yang pernah diadakan pertemuan di sana oleh mereka, dan menamai patung-patung itu dengan nama-nama mereka. Orang-orang itu pun melaksanakan bisikan setan tersebut, tetapi patung-patung mereka ketika itu belum disembah. Hingga orang-orang yang mendirikan patung itu meninggal dan ilmu agama dilupakan orang, barulah patung-patung tadi disembah.”[2]
Hadits ini menunjukkan peringatan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dari sikap ghuluw dan segala sarana yang membawa kepada kesyirikan, walaupun itu semua ditujukan untuk kebaikan. Karena sesungguhnya setan memasukkan mereka ke dalam perbuatan syirik dengan sikap ghuluw terhadap orang-orang shalih, berlebihan dalam mencintai mereka, sebagaimana yang terjadi juga dalam ummat ini. Setan menampakkan kepada mereka bid’ah-bid’ah dan ghuluw dalam mengagungkan dan mencintai orang-orang shalih, agar mereka terjatuh pada perkara yang lebih besar dari itu, yaitu beribadah, berdoa, meminta tolong di saat sulit kepada orang-orang shalih tersebut dan menyekutukan Allâh Subhanahu wa Ta’ala .
Dari ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma bahwa Ummu Salamah Radhiyallahu anhuma menceritakan kepada Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang gereja dengan rupaka-rupaka yang ada di dalamnya yang dilihatnya di negeri Habsyah (Ethiopia). Maka beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
أُولَئِكِ إِذَا مَاتَ فِيْهِمُ الرَّجُلُ الصَّالِحُ ، أَوِ الْعَبْدُ الصَّالِحُ ، بَنَوْا عَلَى قَبْرِهِ مَسْجِدًا ، وَصَوَّرُوْا فِيْهِ تِلْكَ الصُّوَرَ ، أُولَئِكِ شِرَارُ الْـخَلْقِ عِنْدَ اللهِ.
“Mereka itu, apabila ada orang yang shalih atau seorang hamba yang shalih meninggal, mereka bangun di atas kuburnya sebuah tempat ibadah dan membuat di dalam tempat itu rupaka-rupaka. Mereka itulah sejelek-jelek makhluk di hadapan Allâh .”[3]
Mereka itu membuat rupaka (patung) orang-orang terdahulu untuk mengikuti (mencontoh) mereka dengannya dan mengingat perbuatan-perbuatan shalih mereka agar dapat bersungguh-sungguh seperti kesungguhan mereka, serta beribadah kepada Allâh Azza wa Jalla di sisi kubur-kubur mereka. Kemudian setelah mereka, hiduplah kaum yang bodoh (tidak tahu) apa tujuan mereka (membuat rupaka tersebut), akhirnya setan membisikkan kepada mereka bahwa orang-orang sebelum mereka menyembah rupaka-rupaka tersebut dan mengagungkannya. Maka Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam memperingatkan dari hal yang semacam itu untuk mencegah sarana yang dapat menyebabkan penyembahan kubur tersebut[4]. “Mereka itulah sejelek-jelek makhluk,” karena amalan mereka mengantarkan mereka kepada perbuatan kufur dan syirik.[5]
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah (wafat th. 728 H) berkata, “Maka mereka itu mengumpulkan dua fitnah sekaligus: fitnah memuja kuburan dengan membangun tempat di atasnya dan fitnah membuat rupaka-rupaka.”[6]
Beliau rahimahullah juga berkata, “Sebab ini –yang karenanya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang untuk membangun masjid di atas kuburan- telah terjadi pada banyak umat, dalam syirik besar, ataupun dalam syirik yang lainnya. Karena sesungguhnya jiwa itu telah menyekutukan Allâh Azza wa Jalla dengan rupaka-rupaka (patung-patung) orang shalih dan rupaka yang mereka sangka bahwa itu adalah jimat dan yang semacamnya. Melakukan syirik di kuburan orang shalih yang telah diyakini keshalihannya lebih diterima oleh jiwa daripada syirik dengan kayu atau batu. Karena inilah, engkau mendapati bahwa orang yang melakukan syirik mereka merendahkan diri, khusyu’ dan tunduk di sisinya, mereka juga beribadah dengan sepenuh hati mereka, yang ibadah tersebut tidak mereka lakukan di baitullah maupun di waktu sahur (sepertiga malam). Ada juga di antara mereka yang sujud kepada kuburan tersebut, dan kebanyakan dari mereka mengharap keberkahan shalat di sisinya dan berdoa dengan doa yang tidak mereka lakukan di masjid-masjid.
Karena kerusakan inilah, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menghancurkan unsur tersebut, sampai melarang untuk shalat di kubur secara mutlak, walaupun orang yang shalat itu tidak bermaksud untuk mendapat berkah dengan shalatnya sebagaimana orang yang bermaksud mendapat keberkahan masjid dengan shalatnya itu. Seperti juga Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang untuk shalat pada waktu terbit dan terbenamnya matahari, karena itu adalah waktu-waktu yang ditujukan orang-orang musyrik untuk shalat kepada matahari. Maka Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang umatnya dari shalat pada waktu tersebut walaupun dia tidak bermaksud seperti tujuannya orang musyrik, untuk mencegah sarana (yang dapat mengantarkan kepada perbuatan tersebut).
Adapun jika seseorang shalat di sisi kubur dengan tujuan mendapat berkah dari shalatnya di tempat itu, maka ini termasuk menentang Allâh dan Rasul-Nya, menyelisihi agama-Nya, dan mengadakan perbuatan baru yang Allâh tidak mengizinkannya.
Sesungguhnya kaum Muslimin telah sepakat atas apa-apa yang mereka ketahui dari agama Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahwasanya shalat di sisi kubur itu terlarang dan orang yang menjadikannya sebagai masjid terlaknat. Termasuk dari perkara baru yang paling besar dan merupakan penyebab syirik yaitu shalat di sisi kubur, mejadikannya sebagai masjid, dan membangun masjid di atasnya. Telah banyak hadits-hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang melarang dari perbuatan tersebut dan keras terhadapnya. Semua golongan jelas-jelas melarang membangun masjid di atas kuburan, karena mereka mengikuti sunnah (Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam ) yang shahih dan jelas.”[7]
Membangun kubur, menembok kubur, membuat bangunan, monument, dan patung di atas kuburan adalah sikap ghuluw dan bid’ah yang membawa manusia kepada kesyirikan. Oleh karena itu dalam Islam tidak boleh membangun kuburan, disemen, dan lainnya. Tidak boleh juga menjadikan kuburan sebagai tempat ibadah.
Ghuluw ini ada bermacam-macam. Ghuluw dalam ‘aqidah, yaitu ghuluw yang berkaitan dengan seluruh syari’at Islam dan pokok masalahnya (perkara ‘aqidah). Ghuluw dalam perkara ‘aqidah ini lebih berbahaya daripada ghuluw dalam perkara amal karena dapat menyebabkan manusia keluar dari agama Islam, meninggalkan agama mereka dan menyebabkan terjadinya perpecahan kaum Muslimin dan adanya jama’ah-jama’ah yang menyimpang dari jalan yang lurus. Di antara bentuk ghuluw dalam aqidah yaitu berlebihan dalam mensucikan Allâh Subhanahu wa Ta’ala , akhirnya mereka mengingkari nama-nama dan sifat-sifat Allâh yang tinggi dan indah. Ada juga yang mengingkari seluruhnya seperti Jahmiyyah, ada pula yang mengingkari sebagiannya, ada yang menta’wîl (menyelewengkan) dari makna yang sebenarnya kepada makna yang lain.
Ada juga yang berlebihan dalam menetapkan sifat Allâh Azza wa Jalla , mereka hanya mengambil sebagian dalil saja. Akhirnya mereka menyerupakan Allâh Azza wa Jalla dengan makhluk-Nya, seperti kelompok Musyabbihah. Kedua golongan tersebut sesat dan menyesatkan. Sebagian Ulama ada yang mengatakan bahwa Jahmiyyah dan Musyabbihah telah keluar dari Islam. Kedua golongan ini telah menyalahi al-Qur-an dan as-Sunnah. Allâh Subhanahu wa Ta’ala berfirman :
لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ ۖ وَهُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ
“…Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan-Nya. Dan Dia-lah Yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” [Asy-Syûrâ/42: 11]
Termasuk ghuluw dalam aqidah juga yaitu seperti kaum Rafidhah, mereka bersikap berlebihan terhadap Ali Radhiyallahu anhu dan Ahlul Bait Radhiyallahu anhum , serta mereka menyatakan permusuhan terhadap sebagian besar shahabat, khususnya Abu Bakar dan Umar Radhiyallahu anhuma. Rafidhah (syi’ah) adalah golongan yang sesat dan menyesatkan.
Adapun ghuluw dalam ibadah yaitu segala apa yang terkait dengan satu bagian atau lebih dari satu bagian syari’at Islam. Di antara bentuk ghuluw dalam ibadah yaitu melakukan shalat malam semalam suntuk. Ini termasuk orang yang ghuluw dalam amalannya. Padahal sesungguhnya agama Islam dibangun di atas kemudahan dan menghilangkan kesulitan. Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
إِنَّ اللهَ عَزَّ وَجَلَّ لَـمْ يَبْعَثْنِيْ مُعَنّـِـتًا وَلَكِنْ بَعَثَنِيْ مُعَلِّمًـا مُيَسِّرًا
Sesungguhnya Allâh Subhanahu wa Ta’ala tidak mengutus aku untuk menyulitkan, akan tetapi Allâh mengutus aku untuk mengajarkan dan memudahkan.[8]
Termasuk ghuluw dalam ibadah ialah memanjangkan bacaan shalat ketika mengimami shalat, sebagaimana yang terjadi pada masa Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menegur seorang Shahabat yang memanjangkan bacaan shalat berjama’ah sehingga makmum tidak merasa nyaman dan gelisah. Saat hal itu diadukan kepada Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam , beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam marah lantas bersabda :
يَا أَيُّـهَـا النَّاسُ، إِنَّ مِنْكُمْ مُنَفِـّرِيْنَ، فَأَيُّـكُمْ أَمَّ النَّاسَ فَلْيُوْجِزْ، فَإِنَّ مِنْ وَرَائِهِ الْكَبِيْـرَ وَالضَّعِيْفَ وَذَا الْـحَاجَةِ.
Wahai manusia! Sesungguhnya di antara kalian ada yang membuat orang lain lari! Siapa saja di antara kalian mengimami orang lain, hendaklah ia meringankan shalatnya (tidak terlalu lama) karena di belakangnya ada orang tua, orang-orang yang lemah, dan orang yang mempunyai keperluan.[9]
Pernah suatu ketika tiga orang Shahabat Radhiyallahu anhum datang bertanya kepada isteri-isteri Nabi tentang ibadah beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Kemudian setelah diterangkan, masing-masing ingin meningkatkan ibadah mereka. Salah seorang dari mereka berkata, “Adapun saya, maka sungguh, saya akan puasa sepanjang masa tanpa putus.” Shahabat yang lain berkata, “Adapun saya, maka saya akan shalat malam selama-lamanya.” Yang lain berkata, “Sungguh saya akan menjauhi wanita, saya tidak akan nikah selama-lamanya…” Ketika hal itu didengar oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam , beliau keluar seraya bersabda:
أَنْتُمُ الَّذِيْنَ قُلْتُمْ كَذَا وَكَذَا ؟ أَمَا وَاللهِ إِنِـّي لَأَخْشَاكُمْ لِلهِ وَأَتْقَاكُمْ لَهُ، وَلَكِنِـّي أَصُوْمُ وَأُفْطِرُ، وَأُصَلِّى وَأَرْقُدُ، وَأَتَزَوَّجُ النِـّسَاءَ، فَمَنْ رَغِبَ عَنْ سُنَّتِـي فَلَيْسَ مِنِـّي.
Benarkah kalian yang telah berkata begini dan begitu ? Demi Allâh , sesungguhnya aku adalah orang yang paling takut kepada Allâh dan paling taqwa kepada-Nya di antara kalian. Akan tetapi aku berpuasa dan aku pun berbuka, aku shalat dan aku pun tidur, dan aku juga menikahi wanita. Maka, barangsiapa tidak menyukai sunnahku, ia tidak termasuk golonganku.[10]
Termasuk dari sikap ghuluw juga yaitu berlebihan dan melampaui batas dalam menyanjung Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam , sehingga mengangkatnya di atas derajatnya sebagai hamba dan Rasul (utusan) Allâh, menisbatkan kepadanya sebagian dari sifat-sifat Ilahiyyah. Hal itu misalnya dengan memohon dan meminta pertolongan kepada beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam , tawassul dengan beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam , atau tawassul dengan kedudukan dan kehormatan beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam , bersumpah dengan nama beliau, sebagai bentuk ‘ubudiyyah kepada selain Allâh Subhanahu wa Ta’ala, perbuatan ini adalah syirik.
Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
لَا تُـطْـرُوْنِـيْ كَمَـا أَطْرَتِ النَّصَارَى ابْنَ مَـرْيَمَ، فَإِنَّمَـا أَنَـا عَبْدُهُ، فَـقُوْلُوْا عَبْـدُ اللّـهِ وَرَسُوْلُـهُ
Janganlah kalian berlebih-lebihan dalam memujiku, sebagaimana orang-orang Nasrani telah berlebih-lebihan memuji ‘Isa putera Maryam. Aku hanyalah hamba-Nya, maka katakanlah, ‘‘Abdullâh wa Rasûluhu (hamba Allâh dan Rasul-Nya).’”[11]
Adapun ghuluw dalam mu’amalah yaitu dengan bersikap keras dalam mengharamkan segala sesuatu. Dan yang menjadi lawan sikap keras ini adalah sikap menggampangkan, seperti perkataan seseorang yang menghalalkan segala cara yang dapat mengembangkan harta dan ekonomi hingga menghalalkan riba, penipuan, dan selain itu.
Sedangkan yang pertengahan ialah mu’amalah yang dibangun di atas sikap amanah, jujur, adil dan halal, yaitu setiap mu’amalah yang sesuai dengan nash-nash al-Qur’ân dan as-Sunnah menurut pemahaman Salafush Shalih.
Pembahasan tentang ghuluw sangat luas, ini adalah sebagian kecil yang dapat dibahas. Mudah-mudahan bermanfaat.
FAWAA-ID:
1. Bahwa syirik yang pertama kali terjadi di muka bumi ini adalah karena sikap ghuluw (berlebihan) terhadap orang-orang shalih.
2. Faktor yang menyebabkan manusia menyimpang dan keluar dari agama Islam adalah ghuluw (berlebihan) terhadap orang-orang shalih.
3. Syari’at Islam dan fitrah manusia menolak adanya ghuluw, karena membawa kepada kebinasaan.
4. Dalam Islam dilarang dan tidak boleh menyemen kubur, membangun kubur, menulis nama si mayit, dan tidak boleh membuat patung-patung.
5. Dosanya orang-orang berilmu yang mencampur-adukkan antara kebenaran dan kebatilan, serta membiarkan ummat terjatuh ke dalam ghuluw, kesyirikan, dan bid’ah.
6. Ayat dalam surat Nûh menunjukkan bahwa berlebih-lebihan dan melampaui batas terhadap orang-orang shalih adalah penyebab terjadinya syirik dan ditinggalkannya tuntunan agama para Nabi.
7. Bid’ah lebih disenangi oleh Iblis daripada maksiat, karena maksiat pelakunya masih mau taubat, sedangkan bid’ah pelakunya sulit untuk bertaubat.
8. Syirik adalah dosa besar yang paling besar dan bid’ah semuanya adalah sesat, meskipun niat pelakunya baik.
9. Kaidah umum, yaitu bahwa sikap yang berlebihan dalam agama dilarang; dan mengetahui pula dampak yang diakibatkannya.
10. Dilarang berdiam diri di kuburan dengan niat untuk suatu amal shalih, karena akan membawa kepada penyembahan terhadap kubur.
11. Larangan adanya patung-patung dan hikmah memusnahkannya, yaitu untuk menjaga kemurnian tauhid dan mengikis kemusyrikan.
12. Sikap kaum Nabi Nuh Alaihissallam yang berlebihan terhadap orang-orang shalih tidak lain karena mengharap syafa’at mereka. Akhirnya kuburan dan patung orang shalih disembah.
13. Ketulusan hati beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada kita dengan memperingatkan bahwa orang-orang yang berlebihan tindakannya akan binasa.
14. Dinyatakan dalam kisah bahwa patung-patung itu baru disembah setelah ilmu agama dilupakan. Dengan demikian, dapat diketahui pentingnya ilmu syar’i dan bahayanya apabila hilang.
MARAA’JI’:
1. Al-Qur’ânul Karîm
2. Kutubus sittah dan lainnya.
3. Iqtidhâ’-us Shirâtil Mustaqîm, tahqiq DR. Nashir bin ‘Abdul Karim al-‘Aql.
4. Ighâtsatul Lahfân, takhrij Syaikh al-Albani dan tahqiq Syaikh Ali Hasan.
5. Fat-hul Majîd li Syarh Kitâbit Tauhîd, tahqiq DR. Walid bin Abdurrahman Aal Furayyan.
6. Al-Qaulul Mufîd ‘ala Kitâbit Tauhîd, karya Syaikh al-‘Utsaimin.
_______ Footnote
[1]. Ighâtsatul Lahfân fii Mashâyid asy-Syaithân (I/346-347), karya Ibnul Qayyim al-Jauziyyah, takhrij Syaikh al-Albani, tahqiq Syaikh Ali Hasan al-Halaby.
[2]. Shahih: HR. Al-Bukhâri (no. 4920). Lihat takhrijnya dalam kitab Ighâtsatul Lahfân (I/347), takhriij Syaikh al-Albani.
[3]. Shahih: HR. Al-Bukhâri (no. 427, 434, 1341, 3878), Muslim (no. 528), An-Nasâ’i (II/41-42), Ahmad dalam al-Musnad (VI/51), dan lainnya.
[4]. Fat-hul Majîd li Syarh Kitâbit Tauhîd (I/386).
[5]. Al-Qaulul Mufîd ‘ala Kitâbit Tauhîd (hlm. 252).
[6]. Lihat Ighâtsatul Lahfân (I/348) takhriij Syaikh al-Albani dan Iqtidhâ’ush Shirâtil Mustaqîm (II/191).
[7]. Iqtidhâ’us Shirâtil Mustaqîm (II/192-193), Ighâtsatu Lahfân (I/349-350), dan Fat-hul Majîd Syarah Kitâbit Tauhîd (I/387-388).
[8]. Shahih: HR. Muslim (no. 1475) dan Ahmad (III/328) lafazh ini milik Ahmad dari Shahabat ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma .
[9]. Shahih: HR. Al-Bukhâri (no. 90) dan Muslim (no. 466) lafazh ini milik Muslim dari Shahabat Abu Mas’ud Radhiyallahu anhu .
[10]. Shahih: HR. Al-Bukhâri (no. 5063), Muslim (no. 1401), Ahmad (III/241, 259, 285), an-Nasa-i (VI/60) dan al-Baihaqi (VII/77) dari Shahabat Anas bin Mâlik Radhiyallahu anhu .
[11]. Shahih: HR. Al-Bukhari (no. 3445), at-Tirmidzi dalam Mukhtashar asy-Syamaa-il al-Muhammadiyyah (no. 284), Ahmad (I/23, 24, 47, 55), ad-Darimi (II/320) dan yang lainnya, dari Shahabat ‘Umar bin al-Khaththab Radhiyallahu anhu
**| republished by Lentera Kabah
Lentera Kabah
Tidak ada komentar