Jika perempuan memiliki perhiasan untuk berhias, maka tidak terkena peraturan zakat. Tetapi, jika untuk disimpan saja, maka terkena wajib zakatnya.
BIASANYA seorang perempuan sangat menyukai perhiasan. Hal ini ia gunakan untuk mempercantik dirinya. Tetapi, ada juga yang disimpan untuk menambah koleksinya, yang sewaktu-waktu jika ia membutuhkannya, maka ia menjualnya. Nah, sebagai muslim kita wajib membayar zakat. Lalu, apakah perhiasan pun terkena wajib zakat?
Madzhab Hanafi
Imam Abu Hanifah dan Ibnu Hazm mengatakan, wajib zakat pada perhiasan emas dan perak bila cukup satu nishab. Beliau-beliau mengambil dalil kepada beberapa hadis Rasulullah ﷺ yang diriwayatkan tentang masalah ini. Rasulullah ﷺ pernah menyuruh Aisyah RA membayar zakat cincin emas yang dipakainya, seperti tersebut dalam hadis yang diriwayatkan Abu Dawud, Daruquthni dan Baihaqi. Kemudian beliau menyuruh pula ‘Asma binti Yazid dan bibinya membayar zakat gelang emas yang dipakai mereka, seperti yang diriwayatkan oleh Ahmad. Begitu pula dua orang perempuan yang mendatangi Nabi ﷺ di rumahnya, sedangkan mereka memakai gelang emas, seperti yang diriwayatkan oleh An-Nasa’i.
Madzhab Maliki
Madzhab Maliki berpendapat tidak wajib menzakatkan perhiasan perempuan, emas dan perak seperti gelang. Kecuali pada beberapa hal tertentu sebagai di bawah ini:
1. Perhiasan itu pecah atau rusak dan tidak mungkin diperbaiki kembali melainkan dengan meleburnya.
2. Perhiasan itu rusak, namun masih dapat diperbaiki tanpa meleburnya, tetapi pemiliknya tidak berniat hendak memeperbaikinya.
3. Perhiasan itu disediakan atau disimpan untuk jaminan sewaktu-waktu si pemilik mengalami kesukaran.
4. Perhiasan itu disediakan jika sewaktu-waktu si pemilik memperoleh anak perempuan (untuk perhiasannya).
5. Perhiasan itu disediakan untuk mahar, seandainya kelak si pemilik bermaksud hendak mengawinkan anak lelakinya.
6. Perhiasan disimpan untuk maksud diperdagangkan.
Maka pada hal tersebut di atas, wajib menzakatkan perhiasan.
Madzhab Syafi’i
Madzhab Syafi’i berpendapat tidak wajib menzakatkan perhiasan yang mubah, yang telah dipakai pemiliknya selama setahun dan menyadari bahwa perhiasan itu adalah miliknya. Apabila pemiliknya tidak tahu perhiasan itu adalah miliknya seperti perempuan yang mewarisi perhiasan sampai jumlah satu nishab dan telah berlalu satu tahun, maka perempuan itu wajib menzakatkannya.
Bila perhiasan perempuan berlebih-lebihan, seperti gelang kaki sampai dua ratus mitsqal, perhiasan itu wajib dizakatkan.
Wajib pula zakat pada kalung perempuan yang terbuat dari emas, bila kalung itu tidak mempunyai tampuk (gagang) yang terbuat dari emas dan tembaga. Bila kalung itu mempunyai tampuk dari emas atau tembaga, tidak wajib zakatnya. Apabila perhiasan itu rusak, tidak wajib zakatnya bila pemilik bermaksud memperbaiki, sedangkan kerusakan dapat diperbaiki tanpa pandai emas. Jika tidak rusak, maka wajib menzakatkannya.
Madzhab Hanbali
Madzhab Hanbali berpendapat tidak wajib zakat pada perhiasan yang disediakan untuk dipakai atau dipinjamkan bagi orang yang boleh memakainya. Jiak disediakan bukan untuk dipakai, maka wajib menzakatkannya. Apabila perhiasan itu rusak, tetapi masih mungkin dipakai, berarti masih baik, maka tidak wajib menzakatkannya. Jika tidak mungkin dipakai, dan untuk memperbaiki dibutuhkan pandai emas, wajib menzakatkannya. Jika perbaikannya tidak membutuhkan pandai emas, sedangkan pemiliknya berniat memperbaiki, maka tidak wajib menzakatkannya.
Hujjah Imam yang Bertiga
Begitulah, madzhab Hanafi mewajibkan zakat pada perhiasan perempuan yang terbuat dari emas dan perak bila cukup satu nishab. Tetapi imam yang tiga berpendapat tidak wajib menzakatkan perhiasan perempuan sekalipun cukup senishab.
Dalil mereka sebagai berikut: Diriwayatkan oleh Baihaqi bahwa Asma’ binti Abu Bakar Shiddiq memakaikan putrinya emas kira-kira 500.000, namun dia tidak membayar zakat.
Diriwayatkan pula dalam ‘Muwatha’, dari Abdur Rahman bin Qasim, dari bapaknya, bahwa Aisyah RA mengasuh putri-putri saudara laki-lakinya (keponakan) di rumahnya, karena mereka telah menjadi yatim, semua dipakaikannya perhiasan emas, namun Aisyah tidak mengeluarkan zakat perhiasan keponakannya itu.
Begitu pula Abdullah bin Umar bin Khaththab memakaikan putri dan para sahayanya yang perempuan perhiasan emas, dan dia tidak membayar zakat perhiasan mereka itu. Nilai perhiasan masing-masing kira-kira empat ratus dinar untuk setiap anak.
Kata Al-Khaththabi, secara zahir, ayat tersebut menguatkan pendapat yang mewajibkan zakat pada perhiasan yang mubah, begitu pun atsar turut pula menguatkannya. Pendapat yang tidak mewajibkan ialah berdasar pemikiran (nazhar) yang ditopang oleh beberapa atsar. Pendapat yang lebih kuatb ialah wajib membayarnya.
Khilaf atau perbedaan pendapat ini terjadi pada perhiasan yang mubah (yang dibolehkan memakainya). Bila memakai perhiasan yang tidak dibolehkan, seperti pria memakai perhiasan yang tidak dibolehkan, seperti pria memakai perhiasan yang menghias pedang, maka yang seperti itu hukumnya haram dan wajib padanya zakat. Begitu pula memakai bejana-bejana yang terbuat dari emas dan perak.
Pendapat yang berbeda-beda tersebut, dengan berpegang kepada nash-nash yang diriwayatkan dalam bidang ini dapat disimpulkan bahwa jika maksud perempuan bersangkutan memiliki perhiasan karena untuk berhias, sebab berhias termasuk kebutuhan pokok perempuan, maka hal itu tidak terkena peraturan wajib zakat, sekalipun mencukupi batasan nishab.
Apabila seorang perempuan memiliki perhiasan kemudian disimpan, untuk sewaktu-waktu dipergunakan bagi mengatasi kesulitan-kesulitan yang datang mendadak, maka hal itu sia-sia saja. Fungsi perhiasan tersebut telah berfungsi menjadi uang simpanan, bukan lagi untuk memenuhi kebutuhannya yang asasi, yaitu berhias. Maka yang seperti ini wajib menzakatkannya.
Inilah pendapat yang difatwakan dan termasuk bab Rukhshah. Namun, keputusan yang didasarkan atas dasar taqwa itulah yang paling kuat, yaitu wajib membayar zakat perhiasan apabila cukup satu nishab. Itulah yang dikehendaki oleh lahir nash (teks) ayat-ayat dan hadis yang menjadi pendirian Abu Hanifah dan Ibnu Hazm.
Kata Anas Ra, “Apabila perhiasan dipinjamkan atau dipakai, wajib menzakatkannya satu kali.”
**| republished by Lentera Kabah
Lentera Kabah
Tidak ada komentar