logo blog

Menguak Tipu Daya Kompas

Menguak Tipu Daya Kompas




Masih segar dalam ingatan soal kasus razia warteg ibu Saeni di Kota Serang, Banten beberapa waktu lalu akibat melanggar Perda setempat dengan membuka warung dan melayani pembeli di siang hari bulan Ramadhan.

Peristiwa itu lantas dijadikan “batu loncatan” oleh sejumlah pihak untuk menyerang peraturan-peraturan berbau Islam dan bahkan berujung pada pencabutan ribuan Perda termasuk yang melarang peredaran miras di Bangka Belitung oleh Presiden Jokowi.

Secara massif, media-media sekuler-liberal tanah air berusaha melakukan penggiringan opini dengan menstigmakan seolah-olah umat Islam itu “tidak toleran” dan bahkan bulan Ramadhan semakin membuat mereka menjadi demikian serta propaganda-propaganda semacam itu lainnya.

Salah satu media terdepan dalam “perang melawan Islam” ini adalah Kompas, yang didirikan oleh Petrus Kanisius Ojong dan Jakob Oetama pada 1963.

Dalam pemberitaan kasus ibu Saeni, Kompas mempropagandakan klaim sepihak dari kuasa hukum yang bersangkutan bahwa “Yang Bilang Bu Saeni Punya 4 Warung Makan itu Fitnah!”

Benarkah demikian? Inilah hasil investigasi dari tim Jurnalis Islam Bersatu (JITU) pada Rabu 15 Juni lalu sebagaimana dikutip dari akun Twitter @jituofficial. :

“Warteg pertama yg kami kunjungi ada di Jl Semaun Bahri (lingkungan kaliwadas) RW 06 Kel. Lopang”

“Ini penampakan warteg1 keluarga #BuSaeni di Serang. Saat kami cek ke lokasi rupanya warteg tsb tutup”




“Kami pun bergegas ke warteg 2 #BuSaeni yg berlokasi di Jl semaun bahri (lingkungan tanggul) RT04 RW 12 Kel Cimuncang.”

“Ini penampakan warteg 2 #BuSaeni dan keluarganya.. Warteg ini dikelola Udin, putra #BuSaeni”



“Warteg ke2 ini tak bgtu jauh dari warteg ke1. Sekitar 400m saja. Saat brkunjung kami lihat pintu sebelah kiri trbuka, kami lgsg msk..”

“Di dalam warteg kami mendapati ada 3 orang sdg duduk2. 2 org di dekat pintu sedang merokok dan minum kopi, 1 lainnya sedang makan di tkp”

“Sementara, saya membeli nasi bungkus sbgai barbuk, teman saya mengambil poto Udin dan istrinya yg melayani kami.”




“Kemudian, kami melanjutkan ke warteg ke3 yg dikelola sendiri oleh #BuSaeni. Lokasinya di Jl Cikepuh (ling tanggul) RT04 RW12 Cimuncang”

“Warteg inilah yg menjadi TKP saat SatpolPP merazia #BuSaenih yg berjualan pada siang hari di bulan #Ramadan”



Masih dari status yang sama, JITU mengutarakan sebuah fakta lapangan yang perlu digarisbawahi :

“Ketiga warteg yg dimiliki kluarga #BuSaeni lokasinya cukup berdekatan. Mngkin hanya radius 1 km saja. Harusnya ini mdh diketahui wartawan“

Juga di kasus ibu Saeni, demi memperkuat argumen mereka, Kompas Online melalui akun Twitter @kompascom pada Rabu 15 Juni lalu sampai rela berbuat serendah mencatut nama Ketua Umum (Ketum) Pemuda Muhammadiyah, Dahnil A Simanjuntak secara sepihak, hingga seolah-olah yang bersangkutan ikut mengecam kebijakan Pemkot Serang yang telah mengeluarkan kebijakan penutupan warung makan di siang hari bulan Ramadhan.



Dahnil sendiri dengan tegas membantah jika pernah berpendapat sebagaimana yang dicatut itu.

“Saya tidak ngomong seperti itu, saya tidak tahu bila tafsir jadi begitu,” ujarnya melalui akunnya @Dahnilanzar pada Kamis 16 Juni 2016.

Selain itu, Kompas juga mengklaim bahwa pihak mereka tidak punya niat buruk terhadap umat Islam dalam pemberitaan mereka selama ini. Hal tersebut mereka katakan saat didatangi delegasi Front Pembela Islam (FPI) yang menuntut pertanggung jawaban dari media itu pada Kamis 16 Juni lalu.

Benarkah klaim tersebut? Nyatanya, inilah yang mereka tulis sendiri di media online mereka. Di mana melalui persepsi pribadi, Kompas dengan seenaknya coba-coba mengkait-kaitkan ibadah agama Islam dengan sesuatu yang menurut mereka “radikal”, “ekstrem” dan semacamnya :



Liciknya, kemungkinan dengan maksud menghilangkan jejak, kini judul-judul berita itu telah mereka ganti dengan “Waspadai Penyebaran Radikalisme”. Namun jika melakukan pencarian di website itu dengan memasukkan kata kunci berupa dua judul tersebut secara persis, maka akan ketemu.

Namun di satu sisi, Kompas tak pernah membuat framing pemberitaan semacam itu terkait perayaan hari Nyepi di Bali di mana bandara diperintahkan tutup selama sehari dan ratusan penerbangan ditiadakan. Perbankan pun diperintahkan tutup sampai tiga hari.

Sementara itu di Papua, Instruksi Bupati Jayawijaya Nomor 03 Tahun 2013 tentang larangan aktivitas perdagangan di hari Minggu, hari yang seharusnya digunakan untuk beribadah ke gereja bagi umat Kristen, pun luput dari pembunuhan karakter oleh Kompas. Padahal, mirip dengan Perda di Serang, para pedagang (apapun agama dan etnisnya) juga tidak diizinkan berjualan di setiap hari itu (yang jika dijumlah dalam setahun maka hasilnya lebih banyak dari hari-hari bulan Ramadhan). Bahkan kasus penangkapan para pedagang yang “membandel” oleh Satpol PP setempat pun sepi pemberitaan.

Jika mau menilik lebih jauh lagi ke belakang, maka terbesitlah kasus Aljazair pada 1997 yang mendorong lebih dari 100 tokoh Islam untuk menuntut permohonan maaf dari Kompas kepada umat Islam. Berikut adalah laporan dari Artawijaya, mantan wartawan majalah Sabili, yang dimuat di blog pribadinya artaazzamwordpresscom.wordpress.com pada 21 Oktober 2015 :
  
Dalam kasus Aljazair pada 1997, cara menggiring opini pembaca agar menjadi “ketakutan” terhadap Islam, begitu sistematis dilakukan oleh Kompas

Dua tulisan tajuk rencana yang dimuat harian nasional Kompas pada 28 Agustus 1997 dan 2 September 1997 begitu menyengat perasaan kaum muslimin.Tajuk rencana yang berjudul “Kekerasan Membuat Aljazair Runyam, Korban Terus Berjatuhan” (28/8) dan “Situasi Aljazair Semakin Kusut, Ratusan Orang Dibantai” (2/9) membuat umat Islam marah karena dinilai sangat tendensius, berbau SARA, dan provokatif. Tajuk tersebut ditulis untuk menyikapi kemenangan Partai Islam FIS (Front Islamique du Salute/Front Penyelamat Islam) di Aljazair, yang kemudian kemenangan itu diberangus oleh pemerintah berkuasa, sehingga menimbulkan gejolak.

Protes datang pertama kali dari Komite Indonesia untuk Solidaritas Dunia Islam (KISDI) yang dimotori oleh aktivis Islam H. Ahmad Sumargono dan pimpinan Perguruan Asy-Syafi’iyah Jakarta, KH. Abdul Rasyid Abdullah Syafi’i. KISDI menilai, Kompas telah memberikan citra buruk bagi partai Islam tersebut, padahal kemenangan FIS di Aljazair, dilakukan lewat mekanisme demokrasi yang sah. Tajuk rencana yang ditulis oleh Kompas, jelas mewakili sikap resmi media tersebut dalam memandang kemenangan FIS.

Mungkin harian dengan oplah cukup besar ini tak menduga, jika dua tajuk rencananya itu akan membangkitkan kemarahan kaum muslimin di Indonesia. Tak tanggung-tanggung, ratusan orang yang terdiri dari para tokoh Islam di negeri ini, anggota DPR, para aktivis ormas Islam, aktivis kampus, dan lain-lain memberikan surat kuasa kepada Tim Pembela Islam (TPI) agar menggugat surat kabar tersebut dan menuntutnya untuk meminta maaf kepada umat Islam.

Diantara deretan nama tokoh-tokoh nasional umat Islam yang memberikan surat kuasa kepada Tim Pembela Islam (TPI) adalah; Dr. M. Amien Rais, Dr. Kuntowijoyo, Prof.Dr. Deliar Noer, Prof. Daud Ali, Dr. Affan Ghafar, Dr. Ahmad Syafi’I Ma’arif, KH. Misbach, KH. Abdullah Wasi’an, KH. Abdul Rasyid Abdullah Syafi’i, KH. A. Cholil Ridwan, KH. Abdurrahim Nur, Lc., MA, KH. Dalali Oemar, KH. Abbas Aula, H. Hussein Umar, H. Ahmad Sumargono, H. A.M Fatwa, H. Syuhada Bahri, Buya Mas’oed Abidin, M.S Ka’ban, Fadli Zon, Nu’im Hidayat, Aru Syeif Assad, Lukman Hakiem, Tamsil Linrung, H. Sulaeman Zachawerus, dan lain-lain. Tercatat ada 120 nama yang memberikan surat kuasa, yang berasal dari berbagai latarbelakang dan daerah di Indonesia.

Apa yang membuat para tokoh dan aktivis tersebut marah kepada Kompas? Berikut diantara kutipan dari kalimat yang tercantum dalam tajuk rencana Kompas yang begitu memojokkan Partai FIS dengan stigma dan penggiringan opini, seolah-olah FIS adalah kelompok berbahaya, sadis, dan brutal:

(1). “Aksi orang-orang bersenjata itu digambarkan sangat kejam, sadis, dan mengerikan.” (alinea ke-7, Tajuk 2/9/97)

(2). “Kekejaman yang dilakukan kaum militan FIS memang luar biasa. Pikiran dan emosi kita terusik serangkaian aksi pembantaian di Aljazair.” (alinea ke-4, Tajuk 2/9/1997)

(3). “Berbagai kalangan geram dan marah terhadap tindakan kaum militan FIS, yang dinilai tidak berperikemanusiaan, sadis, brutal, dan tanpa ampun.” (alinea ke-6, Tajuk 2/9/1997)

(4). “Mereka adalah korban kebrutalan kaum teroris.” (alinea le-2, Tajuk 28/9/1997)

(5). “Sentimen keagamaan yang dikampanyekan FIS justru melahirkan kekejaman, teror, dan sadisme.” (aline ke-17, Tajuk 2/9/1997)

(6). “Sulit diharapkan pula FIS akan memerintah secara demokratis sekiranya mendapatkan kesempatan untuk itu.” (alinea ke-20, Tajuk 28/8/1997)

Demikian beberapa kutipan dari Tajuk Kompas yang begitu tendensius terhadap kemenangan partai Islam di Aljazair tersebut. Majalah Media Dakwah yang terbit pada Oktober 1997 mempertanyakan sikap pers milik kelompok Katholik itu. “Apakah benar, dua tajuk berturut-turut untuk suatu masalah yang jauh letaknya dari Indonesia tersebut dibuat dengan niat yang luhur? Cara menggiring opini pembaca agar menjadi “ketakutan” terhadap Islam, begitu sistematis dilakukan oleh Kompas,” demikian tulis majalah yang menjadi corong Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII) itu.

Selain dua tajuk rencana itu, beberapa judul berita Kompas pun tak luput dari protes umat Islam. Abu Alif Iman, seorang aktivis KISDI mengumpulkan beberapa kliping pemberitaan Kompas, diantaranya berjudul; 28 Orang Tewas Dibantai di Aljazair (11/2), Wanita Hamil Jadi Korban Pembantaian di Aljazair (26/6), Malam Neraka di Aljazair (28/8), dan 345 Tewas Dibantai di Aljazair (31/8).

Jauh sebelum itu, pada 1 Mei 1997, Kompas juga menulis Tajuk yang sangat berbahaya dan tendensius dengan memojokkan Necmettin Erbakan (Najmuddin Erbakan), tokoh Partai Refah (Welfare Party), Turki, yang juga guru dan senior dari Presiden Turki Recep Tayyep Erdogan. Kompas membuat judul tajuk rencana, “PM Erbakan Dinilai Melakukan Siasat Politik Berbahaya Bagi Turki”. Dalam tajuknya, Kompas memuji sekularisme ala Mustafa Kemal Attaturk dan menyudutkan umat Islam sebagai ancaman serius bagi sekularisme yang sudah ada di negeri itu. Kompas menulis, “Aktivisme kaum fanatisme dalam kehidupan publik dinilai sudah semakin mencolok, seperti sistem pendidikan. Sekiranya kecenderungan ini dibiarkan, lambat laun prinsip negara sekular yang ditanamkan pahlawan Mustafa Kemal Attaturk akan terdesak,” demikian tertulis dalam Tajuk tertanggal 1 Mei 1997 itu.

Apa yang dilakukan oleh Kompas melalui tajuknya tersebut terkesan ceroboh. Sebab, media-media besar seperti The Washington Post, The New York Time, dan Newsweek saja tidak berani menuduh FIS sebagai pelaku dari serangkaian aksi kekerasan yang terjadi di Aljazair. Apalagi, setelah melemparkan tuduhan, dengan bahasa yang sangat vulgar, Kompas menulis bahwa korban pembantaian sadis adalah anak-anak, orangtua, wanita hamil yang dirobek perutnya dan dipenggal lehernya. Kemudian penggalan kepala itu digantung di atas pintu rumah. Luar biasa vulgarnya bahasa yang digunakan Kompas saat itu.

Berbeda dengan Kompas, media massa nasional lainnya, seperti Republika, menulis bahwa meski FIS memiliki Tentara Penyelamat Islam sebagai sayap militernya, namun mereka berkali-kali mengutuk pembantaian terhadap warga sipil tersebut. Artinya, ada pernyataan resmi dari FIS yang membantah keterlibatan mereka dalam aksi kekerasan. Inilah yang tidak dijadikan sebagai perimbangan berita oleh Kompas.

Protes umat Islam yang diwakili oleh Tim Pembela Islam (TPI) kemudian mendapat respon dari petinggi di redaksi Kompas. Wakil Pemimpin Redaksi Kompas, Ninok Leksono menyatakan permintaan maaf di hadapan media massa di antaranya SCTV, ANTV, GATRA, Repulika, Majalah Ummat, dan Forum Keadilan. Ninok mengatakan, Kompas mengakui kesalahannya terkait tajuk tersebut dan meminta maaf pada umat Islam. Kompas juga menon-aktifkan penulis tajuk tersebut yang bernama Rikard Bangun.”Kami tidak bermaksud menyinggung umat Islam, tapi kalau ada yang tersinggung, ya kami minta maaf,” ujar Ninok. Selain permintaan maaf, Kompas juga memuat tajuk rencana pada 20 September yang berjudul, “Kompas Sangat Menghargai Aspirasi dan Perasaan Umat Islam.”

Selain itu pada 29 September 1997, bertempat di Hotel Sahid Jakarta, diadakan pertemuan antara Tim Pembela Islam (TPI) yang terdiri dari Hartono Mardjono, SH, Luthfie Hakim, SH, dan lain-lain. Selanjutnya, masih bertempat di hotel yang sama, pada 3 Oktober 1997, dihadapan Ketua MUI KH. Hasan Bashri, para aktivis Islam yang tergabung dalam KISDI, dan TPI, pemimpin Harian Umum Kompas, Jacob Oetama, menyampaikan permohonan maafnya secara langsung. Dalam pertemuan itu juga disepakati, Kompas akan memuat pernyataan maafnya dalam setengah halaman iklan di medianya dan di dua media massa Islam; Suara Hidayatullah dan Media Dakwah.



Sumber

**| republished by Lentera Kabah
Lentera Kabah

Share this:

Enter your email address to get update from ISLAM TERKINI.

Tidak ada komentar

About / Contact / Privacy Policy / Disclaimer
Copyright © 2015. Fajar Islam - All Rights Reserved
Template Proudly Blogger