Pertanyaan:
Ustadz, jika ada suami-istri, keduanya dari keluarga baik-baik. Setelah menikah beberapa tahun, istrinya minta cerai, hingga diurus di pengadilan, akhirnya suaminya menceraikannya. Kurang lebih 2 bulan, mereka bertemu kembali, dan pergi bersama jauh dari keluarga.
Sampai akhirnya terjadi hubungan intim dan hamil. Si istri sangat bingung dengan status anak ini. Apakah itu hubungan yang sah atau zina? Hingga keluarganya memisahkannya, karena belum ada kejelasan. Semua pada bingung. Mohon pencerahannya jika ada kejadian seperti ini, apa yang harus dilakukan?
Trim’s
Dari: Ana
Jawaban:
Bismillah was shalatu was salamu ‘ala rasulillah, amma ba’du,
Ibnul Qoyim dalam bukunya Miftah Dar As-Sa’adah, 1:129 menyebutkan lebih dari 30 perbandingan keutamaan antara ilmu dan harta. Salah satunya, beliau menyatakan,
العلم يحرس صاحبه وصاحب المال يحرس ماله
Ilmu akan melindungi pemiliknya, sementara pemilik harta, dia sendiri yang melindungi hartanya.
Dan demikianlah realitanya, seorang yang berilmu, dalam setiap gerakan hidupnya akan dipandu dengan aturan yang dia pahami. Dia bisa bergerak sesuai dengan apa yang Allah ridhai. Dengan demikian, dia bisa menjalankan segala aktivitasnya dengan tenang, tanpa diiringi kegalauan.
Berbeda dengan orang yang tidak berilmu, tidak memiliki banyak pengetahuan tentang aturan Allah, hidupnya akan diliputi kebimbangan. Cemas, jangan-jangan saya melanggar, jangan-jangan ibadah saya batal, jangan-jangan tidak sah. Belum lagi ketika ada masalah, seperti ini apa yang harus saya lakukan? Kemana saya harus mencari jawaban? dst. Kita tidak bisa membayangkan, betapa resahnya dan bimbangnya keluarga di atas. Mereka akan dibayangi kebingungan, antara zina dan bukan zina.
Karena itulah, Allah tegaskan bahwa orang yang berilmu akan mendapatkan ketenangan,
أَلَا بِذِكْرِ اللَّهِ تَطْمَئِنُّ الْقُلُوبُ
“Ingatlah, hanya dengan dzikrullah hati ini menjadi tenteram.” (QS. Ar-Ra’du: 28)
Tentang makna dzikrullah ada 2 keterangan ahli tafsir,
a. Makna yang umum kita dengar, dzikrullah artinya mengingat Allah dengan memujinya dan mengucapkan lafal-lafal dzikir lainnya.
b. Dzikrullah: peringatan dari Allah, Alquran dan sunah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Artinya, semua aturan Allah. Karena orang yang memahami, akan bisa bersikap dengan tenang, tidak ragu, karena dipandu aturan Allah.
(simak Zadul Masir, 2:494).
Setidaknya, keterangan ini bisa memberi motivasi kita untuk menghiasi seluruh hidup kita dengan ilmu agama. Berusaha mendekati dan memahami aturan syariat. Setidaknya dalam rangka menghilangkan kebodohan dalam diri kita. Karena semua manusia dilahirkan dari rahim ibunya, tidak tahu apapun sama sekali.
Insya Allah, kita akan bisa merasakan betapa tenangnya hidup dengan aturan syariat. Beribadah tenang, shalat tenang, bahkan ketika lupa di tengah-tengah shalat pun Anda tenang, karena Anda paham teori sujud sahwi. Beda dengan yang tidak tahu teorinya, ketika lupa dalam shalat, dia akan kebingungan, apa yang harus dia lakukan. Kebanyakan, solusi yang dilakukan adalah membatalkan shalatnya.
Selanjutnya, kita fokuskan pada pembahasan untuk kasus di atas.
Ada beberapa pengantar yang bisa dicatat terkait kasus di atas:
Pertama, talak, dilihat dari kemungkinan rujuk dan tidaknya, ada 2:
a. Talak raj’i: talak yang masih memungkinkan untuk rujuk, selama istri masih menjalani masa iddah. Talak yang masih memungkinkan untuk rujuk hanya untuk talak pertama dan kedua. Allah berfirman,
الطَّلَاقُ مَرَّتَانِ
“Talak itu dua kali…” (QS. Al-Baqarah: 229)
Kata para ahli tafsir, talak itu dua kali, maksudnya adalah talak yang masih memungkinkan untuk rujuk. (Tafsir Jalalain, hlm. 235).
b. Talak ba’in: talak yang tidak ada lagi kesempatan untuk rujuk. Talak ba’in ada 2:
· Ba’in sughra: ini terjadi ketika seorang suami mentalak istrinya, pertama atau kedua, dan sampai masa iddah selesai, dia tidak merujuk istrinya.
· Ba’in kubro: talak untuk yang ketiga kalinya.
Kedua, selama menjalani masa iddah untuk talak pertama dan kedua, status mereka masih suami istri. Karena itu, suami boleh melihat aurat istri dan sebaliknya, demikian pula, suami tetap wajib memberi nafkah istrinya yang sedang menjalani masa iddah.
Allah berfirman,
وَبُعُولَتُهُنَّ أَحَقُّ بِرَدِّهِنَّ فِي ذَلِكَ إِنْ أَرَادُوا إِصْلَاحًا
“Suaminya itu lebih berhak untuk rujuk dengan istrinya selama masa iddah itu, jika mereka menginginkan kebaikan.” (QS. Al-Baqarah: 228)
Syaikh Mustofa al-Adawi mengatakan, “Allah Ta’ala menyebut suami yang menceraikan istrinya yang sedang menjalani masa iddah dengan “suaminya” (suami bagi istrinya).” (Jami’ Ahkam an-Nisa, 511)
Ketiga, selama menjalani masa iddah talak pertama dan kedua, bolehkah mereka melakukan hubungan badan?
Sebagian ulama menegaskan, jika seorang suami menceraikan istrinya, talak satu atau talak dua, kemudian dia melakukan hubungan badan, maka itu tidak dianggap zina, artinya statusnya hubungan yang halal, dan hubungan badan yang dia lakukan sekaligus mewakili rujuknya.
Sayyid Sabiq dalam karyanya, Fiqh Sunnah mengatakan:
وتصح المراجعة بالقول. مثل أن يقول: راجعتك، وبالفعل، مثل الجماع، ودواعيه، مثل القبلة، والمباشرة بشهوة.
“Rujuk bisa dilakukan dengan ucapan, seperti, seorang suami mengatakan kepada istrinya: ‘Saya rujuk kepadamu.’ Bisa juga dengan perbuatan, misalnya dengan hubungan badan, atau pengantar hubungan badan, seperti mencium atau mencumbu dengan syahwat.” (Fiqh Sunnah, 2:275).
Inilah yang menjadi pendapat madzhab hambali. Dalam Mausu’ah Fiqhiyah dinyatakan:
تَصِحُّ الرَّجْعَةُ عِنْدَهُمْ بِالْوَطْءِ مُطْلَقًا سَوَاءٌ نَوَى الزَّوْجُ الرَّجْعَةَ أَوْ لَمْ يَنْوِهَا وَإِنْ لَمْ يُشْهِدْ عَلَى ذَلِكَ
Rujuk sah menurut mereka (hambali) dengan hubungan badan secara mutlak. Baik suami berniat untuk rujuk atau tidak niat, meskipun tidak ada saksi dalam hal ini (Mausu’ah Fiqhiyah Kuwaitiyah, 22:111).
Alasan madzhab hambali:
Sesungguhnya masa iddah merupakan penantian untuk berpisah dengan istri yang ditalak, dimana ketika masa iddah selesai, maka terhalang kebolehan untuk rujuk. Karena itu, jika iddah belum selesai dan suami menggauli istrinya di masa ini, maka istri berarti kembali kepadanya. Status hukum ini sama dengan hukum ila’ (suami bersumpah untuk tidak menggauli istri). Jika seorang suami melakukan ila’ terhadap istrinya, kemudian dia menyetubuhi istrinya maka hilang status hukum ila’. Demikian pula untuk talak yang masih ada kesempatan untuk rujuk, jika suami berhubungan dengan istrinya di masa iddah maka istrinya telah kembali kepadanya (Mausu’ah Fiqhiyah Kuwaitiyah, 22:112).
Dengan memahami pengantar di atas, kita bisa mengambil kesimpulan hukum untuk kasus yang ditanyakan. Bahwa jika cerai yang dijatuhkan sang suami baru cerai pertama, atau kedua, dan istri masih menjalani masa iddah (selama 3 kali haid), maka hubungan badan yang terjadi bukan zina, dan anak yang dikandung berhak dinasabkan kepada ayahnya. Dan dengan kejadian ini, mereka dianggap rujuk dan kembali menjadi suami istri.
Sebaliknya, jika cerai yang terjadi adalah cerai ba’in, cerai ketiga atau telah selesai masa iddah maka hubungan yang dilakukan adalah hubungan di luar nikah, dan sang anak statusnya anak hasil zina, yang hanya bisa dinasabkan ke ibunya, karena dia tidak memiliki ayah.
Allahu a’lam
Dijawab oleh Ustadz Ammi Nur Baits
**| republished by Lentera Kabah
Lentera Kabah
Tidak ada komentar